Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bidadari di Mata Pemikir Sunyi

27 Agustus 2019   08:33 Diperbarui: 27 Agustus 2019   08:41 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belaian indah rambutmu, senyuman di wajahmu, melingkar bagai cincin Api yang membara sampai pada tulang rusuk ini. Sekumpulan manusia-manusia, "Bidadari", engakau memang masih manusia atau kekuatan dari langit yang sengaja datang menghampiri. Setiap tulisan, ingin aku buat hanya untukmu, menjemput rasamu, dan belaian angin pagi ini membawa hasrat kita pada kemajuan yang agung, dari kita, dunia, dan harapan perubahan dari dalam diri kita sendiri.

Pengembaraan ini, adakalanya memang harus terlepas. Bukan saja untuk melepas sangkar panahnya, tetapi melepas semua hasrat manusianya tersebut. Tentang hidup menghidupi sebagai pelajaran menjadi manusia, nyanyian sunyi, apakah bermaksud yang terbaca maksudnya? Tentang yang kini menjadi mimpi-mimpi baru, mungkinkah aku akan membiarkan rasa ini untuk hadir kembali?

"Diri-diri, sayap-sayap, bawalah diriku terbang bersama mimpinya. Aku memang si gila, yang terkadang terbawa rasa, yang terkadang tidak ada dasarnya, kosong". Tetapi bagaimana dengan buku "Lahirnya Tragedi" dari Nietzche yang sedang aku baca ini, baru kemarin aku beli di toko buku? Tidak lebih, dari satu manusia adalah satu "seniman" yang perlu menaklukan waktu, bahkan menaklukan Bidadari sebagai bahan berseni itu sendiri, untuk diri dan hidup bersama.

Terlebih jika aku hayati rasa ini, semakin jauh diriku terbang bersama matahari. Terlepas untuk menjadi lepas saja, ia hanya mimpi, pikiran selebihnya hanya fiksi. Bidadari dalam kenyataan rasa yang sunyi, dimana untukmu dan dirimu, aku buat kata-kata ini, yang selanjutnya ingin aku buat bingkai bahwa; Bidadari adalah dasar dari seninya manusia cenderung menjadi pemikir adab ini.

Kopi yang aku minum tadi, racun pikir, membuatku banyak berpikir tentang itu, tentang yang lalu, yang hilang, dan aku seperti ingin terbangkit kembali. Rasa yang merayap, biar saja aku nikmati ini masih sebagai manusia. Tentang segudang pertanyaananku pada dirimu "Bidadari", mungkinkah Bidadari tetap merupakan "Bidadari" dengan segala apapun yang aku "manusia" menjadi sesuatu yang ingin terhayati?

"Aku memang tidak mau terjatuh lagi, pada perasaan yang sesungguhnya kosong tanpa isi. Namun bagaimanapun hidup ini, tetap hanya "nihilisme" rasa yang memulai mengisi rasanya sendiri". Tetapi ungkapan seorang "budhisme" yang sepeluh tahun lalu terdengar, "sejatinya yang kosong itupun isi". Ia tidak memberi, itu juga tidak menerima, hanya saja ungkapan semsetanya adalah jalan untuk mencapai Nirwana, dimana sudah tidak terasa samsara sebagai manusia.

Memang ini seperti akan melepaskan, namun cincin yang terekam, bisa saja adalah ungkapan ketidak bebasan, atau keputus asa-an dari suatu anggapan dalam cinta kemanusiaan. Tidak lebih dari itu, hanya saja kita kosong yang terlahir sebagai perangkai, akan nasib, akan cinta dan akan siapa-siapa kelak yang akan mengantikan wujud kita "manusia" di masa depan.

Terbaring, aku seperti ingin membiarkan saja rasa yang mengganggu alam pikiran ini. Memang nyaman atau tidak nyaman, suka atau tidak suka, inilah jalan yang tetap harus dilalui sebagai manusia di dunia. Sesekali berseni memandangi "Bidadari" yang terlihat sangat manis itu, bersyukurlah sebagai jiwa pemikir, renunganmu merupakan jalan hidupmu yang sejati.

Ungkapan bertanya-tanya, enyalah didalam hati ini saja, rasa yang datang pada akhrinya, aku terima engkau seperti aku menerima diriku sendiri di dalam dunia yang fana ini. Kosong yang sebetulnya isi, dan isi yang sebetulnya kosong. Tiada pikiran, tiada harapan, tiada bentuk, tiada rasa, tiada aroma dan buah-buah pemikiran yang sebenarnya.

Biarlah kau menjadi harapan, kau menjadi jawaban, dan kau menjadi suatu lompatan pada dinamika hidup, yang seorang manusia menjadi "rancu" pada akhirnya dalam menjalaninya. Kesempatan, jika kau bertanya padaku mungkin aku jawab, semua terserah Bidadari-bidadari disana, menerima manusia sebagai kosong atau isi yang dituntut. Tetapi akulah yang kosong tersebut, sebagai roh seni abad 21 ini.

Kesempatan ini, dapatkah akan aku gunakan sebagimana aku ingin terus belajar dengan tingkat intelektualitasku yang sedikit agak dalam, namun berkesan sangat dangkal ini? Sesuatu yang terurai, dimana jejak rambut Bidadari yang tumbuh di atas kepalaku. Mungkinkah kau "Bidadari" ingin juga tumbuh dalam hatiku? Oh, yang kini tengah menjadi kosong untuk isi dan menanti isi untuk kosong kembali sebagai sesuatu yang dihidupkan lalu dimatikan pada akhirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun