Yang tidak tertanam lagi, akankah aku hanya akan menjadi penganggum lagi untuk ke beberapa kalinya? Disini aku ingin bertanya kembali, si bebal ini tengah menjadi diriku lagi, ia aneh, terkekang, bahkan seperti inferior yang terus menjadi dirinya sendiri.
Tidak lebihnya ini hanya menjadi sesuatu yang menggoda, mata yang tidak dapat membohongi, aku malam ini bersama lamunan yang sama pada waktu itu, merajut dunia agak lebih "sinis" dari pada rasa yang bergejolak sebagai bahan mempertimbangkan antara aku dan sesuatu yang ada diluar diriku.
Kembali, aku hanya manusia, "manusia" yang butuh tambahan energi di dalamnya. Entah, mengapa jemariku seperti ingin menulisnya, seperti tidak ada batu untuk di ketuk. Oh, manusia setengah bebal yang sedang mengerutu ini, kopi pahit itu, memeranakan diri yang ingin tertidur lelap malam ini. Efek yang berjangka, ada kalanya rindu berintim pada rasa, sebagai kebanyakan manusia dalam rumah tangga sana, di dalam ruang obrolannya.
Suara kaleng yang terdengar dari layang-layang membentuk pesawat terbang diatas sana. Semakin larut malam ini, semakin aku ingin tenang, sembari membayangkan sisa-sisa wajahmu yang membuat "absurd" tetapi terasa itu. Ingin meraih namun aku tidak tahu, si kaku yang mecoba terus dengan dirinya sendiri. Akankah ini menjadi berkah semeseta yang agung seperti Pulau Jawa dengan Candi Borobudurnya sebagai karya warisan kebudayaan yang sangat monumental?
"Kini aku bertanya lagi, bagaimana memetik Bidadari diatas langit, sedangkan aku kini masih berada di bumi"? Pertanyaan yang menggantung, mungkinkah Bidadari dapat turun sebagaimana misi yang terselubung, ingin juga menari bersamaku dengan musik keabadian dunia mutakhir yang ganjil?
Seperti yang tidak terjawab sebelumnya, ada pepatah berkata, "Bidadari tidak akan mendekatimu jika kamu sendiri tidak mendekatinya". Namun dengan apa aku harus mendekati tak kala aku adalah seorang yang setiap hari bergelut dengan pemikiran-pemikiran, yang tidak sepantasnya orang kebanyakan piikir saat ini?
Jiwa yang terpangil, rengkuhlah diriku dengan tuanya kejiwaan "Bidadari" yang aku pandang. Dia "Bidadari" itu bukan saja indah, tetapi adalah pengelihatan dibalik makna yang tersurat dalam lamunan pengelihatan diriku sebagai manusia bebal abad 21, yang terlalu banyak berpikir tanpa ingin lebih membumi bersama jiwa-jiwa muda yang bermain-main dan menari tanpa memaknai dirinya sendiri terlebih dahulu.
Namun apa hendak dikata pada makhluk bumi ini, ia saja masih bertanya dengan dirinya, adakah kesucian yang masih tersisa pada setiap jiwa manusia? Yang tidak melupakan doa-doa, aku seperti menjadi manusia yang terkesan dengannya. Bukan aku tidak mampu lagi untuk berdoa, hanya saja, aku tetap bergelut dengan perenungan dan pemikiran yang "jelas" mengobati rasaku sebagai seorang pemikir yang sunyi.
Malam yang menunggu rasa kantuk tiba, hari yang sudah tidak dingin lagi, rupa-rupa, aku telah menjadi rupa-rupa manusia baru yang kuno, tidak semudah berbaur dengan anak-anak jiwa dalam permainannya, mungkinkah hidup dapat menjadi biasa saja pada akhirnya? Terlalu lelah menanti, mungkin aku harus tetap berdiri tegak, sesekali ikut dalam permainan memandang dunia yang tidak lebih indah dari wajahmu "Bidadari".
Pengelihatan yang tidak dapat ternilai, senyum yang kau hantarkan bagai cahaya di dalam gelap, lamunan, aku masih terbaring disana. Menunggu dan menunggu manis wajahmu "Bidadari" berjiwa tua yang terasa, membuat tertawa, ada kalanya senyum kecil tanpa menggoda, dingin merajut asa yang terlanjur sebagai diri yang masih sendiri.
"Aku kini menunggu esok pagi, akankah aku menjadi biasa lagi? Tanpa ada harapan hati yang menyelimuti? Bidadari, mungkinkah engkau lebih baik tidak dikenali"? Pertanyaan ini menganggu, tentang berpikir, merasa, dan lain-lain sebagainya yang masih menyangkut rasa dan manusia, tertinggal, bahkan penafsiran ini bagai Bintang yang ingin terus dinyalakan seperti lilin, sebagai hantaran-hantaran setiap harapan dan doa manusia disana.