Pengakuan menjadi, walaupun tidak memiliki dasar yang kuat, apakah ia harus terkejar sebagai kita "manusia" lupa pada martabat dirinya sendiri dengan setiap apa yang menjadi dasar kepatutannya? Yang tidak terbayang itu, seperti mereka menebak-nebak harapannya untuk menjadi apa yang mereka ingini, tanpa tahu, sudahkah pantas dan mampukah menginginkan semua itu?
Upaya yang berat, bukan pada apa yang dapat dibantu dalam hal ini, masalah hidup manusia adalah pengakuan, mereka ingin diakui sebagai yang "terbaik" sesuai minat diri.Â
Tetapi pandangan sosial selalu saja membelenggu diri manusia itu sendiri, antara kepantasan dan latar belakang, semua hanyalah tentang bagaimana diri memandangi dirinya sendiri dihadapkan pada dunia sosialnya secara aktual.
Menyangkut tentang banyak orang tafsirkan dalam ere teknologi ini, informasi dapat diterima sebagaimana inginnya. Informasi pendek dan panjang yang ada, tidak ubahnya adalah peran minat dalam setiap aksesnya, akan mana yang di konsumsi, dengan penalaran yang baik, atau sesuai dengan teks, kualitas dari manusia berbicara disana. Tetap, hanya olah pikir yang menentukan segala sesuatu, baik informasi maupun tindakan menjadi manusia.
Sebagai peranan acuan, adakalanya hidup perlu dengan perumpamaan dalam informasinya, maupun doktrin yang harus disampaikan oleh berbagai media dengan kepentingannya.Â
Tentang yang menjadi peran panutan itu, apakah mereka bukan benar-benar konsep yang tidak patut dipertanyakan panutannya? Bahkan sebagai pertapa yang menyepi pun mempertanyakan dirinya sendiri? Tentu tentang berbagai tujuan kesempurnaan yang mereka harus laksanakan untuk pemenuhan hidupnya sebagai yang ingin merasakan lari dari dunia.
Memang yang indah dari hidup adalah konsep, dan konsep itu terlahir dari pemikiran manusia sebagai binatang yang berpikir. Yang indah-indah, tentang tokoh-tokoh diluar sana, rasa-rasanya hanya penafsiran manusia saja yang menganggapnya menjadi sempurna, padahal mungkin saja peran panutannya pun sedang mencari dirinya yang benar "aktual" kala itu. Berbagai ajaran-ajaran yang "suci", apakah jika manusia dengan penderitaannya dan upaya dalam pelariaannya, akan tetap bersih menjadi manusia tanpa noda dalam menjalani hidup ini?
Pertanyaan yang sering muncul, kepercayaan pada, itulah yang mengkotakan hidup manusia di dalamnya. Bingakai yang seharusnya harus rapi, ia tercerai berai oleh ideologi, kepercayaan "agama", bahkan latar belakang budayanya sendiri. Menjadi manusia apakah tidak bisa berpikir manusia? Bukan dipandang setengah manusia karena berbeda "sebagai" manusia?
Inilah pertanyaan itu, pertanyaan mendasar, bagaimana status sosial itu bicara, perbedaan kepercayaan, sangsi untuk berbaur, bahkan menyatu dalam hidup tanpa menganggap "setengah". Namun apakah yang patut dipertanyaakan oleh semua itu? Dasarnya, mungkin semua orang berbeda, ia tidak akan pernah menjadi sama. Dan aku, harus menjadi manusia paling "bebas" disini, setidaknya untuk berpikir sama saja menjadi manusia. Tentu menjadi manusia filosofis, mengambil bijak dalam berekasi sebagai manusia, memandang kemanusiaannya.
Supaya tidak ada sekat itu, lentur dalam menafsirkan menjadi manusia, menghilangkan bahkan mengkosongkan sangsi-sangsi yang membuat fanatik pada isi hidup ini seperti: kepercayaan "agama", ideologi politik, dan budaya-budaya masyarakat populer yang dijadikan identitas bahwa; "manusia berbeda, dan ada yang lebih baik antara satu manusia dengan manusia lainnya". Padahal semua adalah sama, masih "manusia" yang terlahir telanjang, dan mati akan menjadi mayat yang juga ditelanjangi oleh bumi kembali.
***