Perlunya keseimbangan hidup sebagai manusia
Berbicara sebagai manusia, sama halnya kita membicarakan peradaban, memang tidak bisa kita "manusia ini sangkal". Saya sendiri berpendapat, peradaban merupakan suatu corak bagaimana laku atau tingkah manusia hidup di dalamnya, dimana itu sebagai identitasnya yang mewakili hidupnya.
Seringkali dikala manusia menyadari ada sesuatu yang menyimpang dari rasionya, katakanlah tingkah laku, orentasi kesenangan, dan sesuatu yang  dapat membuat dirinya sendiri mengalami penderitaan, selalu dan selalu akan mengundang pertanyaan bagi manusia lain yang berpikir secara rasional. Jika telah terjadi, dimana orang lain mengalami penderitaan, akan mucul pertanyaan apakah mereka tidak mencoba rasional terlebih dahulu, ketika akan berbuat sesuatu sekalipun itu menguntungkan?
Inilah saya kira pentinganya mengenal manusia atau "diri" kita sendiri dari pemikiran-pemikiran Plato. Belajar pengetahuan berarti belajar logika, dimana ungkapan konsep pemikiran Plato tentang logistikon yang mencoba dijabarkan oleh Plato, dimana logika untuk menimbang prilaku manusia antara kebaikan dan keburukan yang dapat mereka lakukan dan mereka terima konsekwensinya.
Seperti suatu contoh ketika hidup manusia dipenuhi dengan sikap-sikap buruk yang dapat membuat dia sengasara membawa hidupnya sendiri. Epithumia sebagai suatu tindakan primitif sebagai manusia, dimana ia tidak dapat mengendalikan diri dari nafsu-nafsu primitifnya tentang kebutuhan bawah perut seperti Makan, Minum dan Sex.
Saya mengira sebagai manusia jika tidak dapat mengendalikan diri dengan akal budi, mereka akan terus dan terobsesi oleh kebutuhan bawah perut "Epithumia" sendiri, sehingga mereka dapat kehilangan substansi dari pentingnnya pengendalian diri, agar tidak jatuh terlalu dalam dalam penderitaan akan egoismenya sendiri; peri hal tentang pemenuhan kebutuhan bawah perut manusia.
Misalnya untuk kebutuhan makan dan minum yang tidak di control dapat terjadi obesitas, yang akhirnya akan merugikan diri sendiri karena penyakit yang akan diterima tubuh manusia itu sendiri. Begitu pula dengan Sex yang mereka terus kejar. Ketika mereka terus berhasrat untuk memenuhi itu, adakalanya ia sendiri akan menjadi budak Sex bagi dirinya sendiri, yang seharusnya Sex ditempatkan di tempat yang tinggi. Akhirnya "sex" hanya dijadikan permainan dengan dirinya sendiri, yang berdampak  melahirkan seorang anak dan mental dirinya belum kuat atau siap menjadi orang tua.
Baca juga: Benang Merah Ideologi Kiri Antara Plato, St Agustinus, dan Machiaveli
Begitu pula dengan kebutuhan akan nama, rasa cinta dan pengakuan, dikala mereka "manusia yang mempunyai sikap dominan akan  Thumos, disanalah akan terjadi narasi sikap narsisme. Di mana sikap tersebut dipandang aneh dan mengundang reaksi orang lain jika sama-sama dibenturkan dalam peranan atas Thumos tersebut.
Rasa ingin dicintai secara berlebihan dan ketika tidak dicintai merasa dunia seakan hancur, ego akan kuasa yang tidak dapat terbendung akhirnya, membuat suatu konflik social dan lain sebagainya, yang dapat merugikan diri manusia tentang pengakuannya sebagai manusia secara berlebihan yang bersumber dari dirinya sendiri.
Oleh sebab itu pencaharian akan pengetahuan dan kebijaksanaan yang di gagas oleh Plato sebagai manusia, menjadi dasar konsep hidup manusia. Akal budi dalam hal menjadi manusia menurut saya sangat penting, karena hanya akal budi atau "logistikon" yang mampu mengendalikan sikap-sikap manusia baik Epithumia maupun  Thumos.