Bukan hal yang naif, bukan pula hal yang konyol di dalamnya, persaingan antara suka dan tidak suka itu sebatas menjadi hal yang wajar di dalam suatu ruang lembaga profit "perusahaan". Yang tidak wajar kini adalah mereka yang tidak menghamba pada kekuatan uang, baik dari bisnis, maupun perusahaan.
Kenyataan yang tidak dapat disangakal oleh semua, termasuk segala bentuk perniagaan zaman. Kesucian terkadang juga masuk dalam hitung-hitungan itu, dia ingin kesucian karena berharap pada pelarian dunia. Numun apa lah daya hidup ini yang tengah membudaya, mau dilawapun terlihat tidak wajar pada akhirnya. Lari seperti tidak mangkin, menghadapi dengan takut pun bagai pecundang.
Tantangan peradaban, tidak lain ini bentuk tantangan manusia kedepan. Filsuf-filsuf masa depan bukanlah mereka yang kaya, terdidik, dan segala macam bentuk embel-embelnya. Adalah mereka kawula-kawula yang menghamba sebagai lantaran penghidupan kepada modal, merupakan filsuf masa depan terhitung saat ini.
Tidak untuk diduga, tidak juga untuk di duga-duga, jika hegemoni dunia sudah ditentukan kuasanya, tentang ekonomi, politik dan sosial budaya, merupakan setitik perkara zaman. Manusia hanya hidup mengukuti zaman itu, dan suara yang kalah pada akhirnya, merupakan suara kebijaksanaan yang tertinggal sebagai bahan suatu pelajaran di masa depan.
Dan kawula lembaga perusahaan, merekalah yang kini tengah kalah. Bukan kalah pada apa yang di deritanya sebagai "rumusa" penjajahan, tidak! Hanya saja mereka tergoda persaingan, ketakutan, bahkan setangah sadar pembelajaran. Dilingkungan yang penuh dengan problematika itu, fisuf masa depan manusia perenungan lahir dari kawula-kawula perusahaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H