Akhir-akhir ini saya seperti kehilangan roh menulis kritik sastra indah dan bermakna. Sebagai penggiat sastra, memang belum terakui, tetapi karya sastra yang telah saya sajikan menjadi bukti tersebut. Keformalan yang menjadi bias sumber dari khawatiran, ketidak pastian hidup menjadi cara bahwa; saya harus mencari sesuatu yang pasti dalam hidup ini.
Manusia hidup tidak lepas dari kebutuhan, mereka butuh setiap apa yang menjadi akomodasi hidupnya sendiri. Rupiah pada akhirnya yang harus mereka kejar, dan lain sebagainya yang dapat membuat secara pasti hidup mereka. Untuk itu, berpasrah pada nasib suatu bentuk kerja formal harus mereka jalani.
Seperti saya yang mengejar kepastian pendapatan pada hari kerja formal, setiap pagi dan sore harus berangkat dan pulang dari kantor. Namun inilah kepastian yang harus saya lakukan, tentu demi terus teraksesnya kebutuhan, dan terbangunnya perasaan yang tenang, mempunyai uang dijaman yang serba uang ini.
Meskipun kesibukan terus memanggil, saya dan karya sastra seperti tengah menjadi saudara yang saling merindukan. Sikap dalam perenungan, mencoba menyuarakan hal yang banyak tidak mereka pikirkan, terkadang dia "suara" memang sembunyi di dalam diri, saya harus menanggkapnya di hari ketika libur tiba seperti sabtu-minggu ini, yang menjadi ajang santai di rumah dengan sedikit eksplorasi perenungan yang terpanggil. Â
Saya kira ini akan berjalan, kata puitis diganti dengan isu-isu realitas yang sebenarnya tidak berguna. Pada akhirnya, semua hanyalah nihilisme yang saling mempengaruhi tanpa saling mengilhami.Â
Sastra hiburan, akhirnya merintis pemikiran, bukan dari karya sastra itu sendiri, tetapi dari dalam dirinya, yang menginginkan perubahan itu melewati rasa keingin tahu-an lewat pembacaan karya sastra.
Tentu sesuatu akan membuat saya pun resah dan sedikit bingung, mengapa diri saya akhir-akhir ini terbawa arus permainan manusia-manusia tidak bermakna itu yang mengatasnamakan eksistensi Negara? Yang tidak bermakna, mereka yang mengedepankan retorika berpolitik dari pada kerja nyata menyambung karya, tentang apa yang menjadi perenungan mereka terhadap warga Negara, bukan dirinya sendiri.
Banyak saat ini warga negara bingung, mereka bingung bukan karena retorika yang di mainkan para penguasa melalui sudut-sudut media yang tertulis, maupun tergambar rapi disana sudut televisi. Kebanyakan warga Negara bingung ketika masa depannya tidak lagi dapat di raba, dan di terawang sebagaimana adanya, seperti ingin memandang cerah diri sendiri.
Mungkin hanya cemas, setiap hari warga merasakan kecemasan yang sama. Bagaimana harga kebutuhan dasar dihari depan? Apakah anak-anak bisa sekolah tinggi ketika biaya sekolah semakin tidak terjangkau? Upah hasil kerja tiap tahun naik tetapi kecemasan selalu datang apakah barang dan jasa ikut naik?
Mereka warga negara cemas terhadap dampak inflasi dari perubahan pengupahan itu. Upah naik pasti dibarengi dengan kebutuhan hidup yang juga naik. Setiap pagi warga bertanya, apakah harga listrik akan naik lagi? Bagaimana dengan Bahan Bakar Minyak ? Hasil dari upah kerja pas-pasan, bisakah punya rumah impian untuk keluarga?
Dengan segudang pertanyaam setiap harinya, kebanyakan kini mereka warga negara terdiam di dalam lamunannya. Dimana peran negara yang mempunyai visi memakmurkan warga negara? Jika hidup bersama dengan berpijak di tanah air yang sama, dapat meringankan beban hidup karena dipikul bersama-sama, mengapa kemudahan itu tanpa kekhawatiran belum pernah terjadi?
Katanya negara ini kaya, tetapi dimana kekayaannya? Jika ke kaya-an Negara hanya retorika, mengapa dibilang kaya sementara warga negaranya belum semua sejahtera? Sebenarnya apa peran negara bagi warga negara? Saya sebagai warga negara merasa, negara tidak punya dampak apa-apa untuk eksistensi lebih baik "manusia" sebagai warga negara.
Warga negara sedikit banyaknya sadar, setiap tahun pajak harus dibayar. Tetapi warga negara tidak begitu tahu kemana pajak itu disalurkan. Baiklah untuk pembangunan, untuk penyelengaraan kenegaraan, dan lain sebagainya.
Bukankah juga perlu dipertanyakan dimana pajak untuk kemakmuran ekonomi bersama? Negara jugakan berperan mengatur warga negara berpenghasilan tinggi, membantu warga berpenghasilan rendah untuk pemerataan kemakmuran sesama warga negara.
Sepertinya kenyataan kemakmuran itu terbalik, justru yang berpenghasilan rendah membantu yang berpenghasilan tinggi. Lihatlah mereka para manusia-manusia penyelengara negara yang berpenghasilan tinggi. Hidupnya menuntut sejahtera dari Negara, bahkan korupsi yang semakin merajalela.
Mereka penyelengara negara tidak sedikitpun merasa iba pada warga negara perenghasilan rendah, yang tetap membayar pajak walau berat demi untuk kesejahteraan penyelenggara negara dan lain sebagainya, "atas nama Negara", parahnya ketika mereka memperalat Negara untuk kemakmuran mereka.
Kenyataan hidup sebagai warga negara memang harus berjuang sendiri, mengatur hidunya sendiri, dan berbelanja dengan kemampuannya sendiri. Janji-janji, visi kenegaraan seakan mandul oleh mereka para penguasa atas nama negara.
Sangat sedikit bantuan dari negara, bahkan Negara pun tidak mampu membuat warga negara nyaman dengan masa depannya tanpa merasa ada kekhawatiran. Undang-undang bernegara mencapai kemakmuran bersama seperti utopia, santer di dengungkan, palsu dirasakan warga negara.
Kebersamaan disatukan oleh negara seperti bukan jawaban meringankan beban hidup yang ada. Kemakmuran yang dijanjikan Negara pun terasa hampa. Air, tanah, dan hasil bumi lainnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti tulisan belaka.
Ketika eksistensi negara sudah tidak mempunyai makna, apakah salah warga negara mempertanyakan negaranya? Sudah berganti visikah eksistensi negara? Negara hari ini bak alat untuk menjajah warga Negara saja, dimana keuntungan sepenuhnya digunakan untuk kesejahteraan para penguasa Negara bukan atas nama kesejahteraan rakyat suatu negara.
Mungkin inilah zamannya "kritik sastra", meskipun akan menjadi kekosongan belaka, namun ini dapat dijadikan suatu hiburan semata. Ketidak pastian yang tidak tersampaikan, kekhawatiran yang terus dipendam, rasanya, berupaya sama-sama tahu akan semua yang terjadi di alam kebatinanan manusia untuk ditulis begitu mengilhami bahwa; mungkin perasaan atau pemikiran yang manusia sedang rasakan ini, banyak juga yang merasakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H