Keberadaan, sedikit banyak membuat aku tak lagi takut pada penghakiman. Ketika banyak orang mengungkapkan, mereka pun tidak tahu kepastian, apakah penghakiman dalam bayangan mereka ketika kelak berada dalam "ada" dan ketiadaan dunia akan benar menjadi kenyataan?
Bukan aku keras pada pengertian seseorang, tapi semua tentang apa yang mereka ungkapkan sangatlah absrud. Ketika diciptakan hanya untuk disiksa karena ketidak patuhan menuruti ajaran.
Menghakimi tanpa sebab musabab. Hanya ketakutan tanpa benar-benar dihayatkan, cenderung menyalahkan, menjadi perasa yang paling benar.
Mungkin benar, dalam hidup, manusia dihadapkan pada masalah dirinya dan alam disekitarnya. Ketika semua diperlakukan baik akan menjadi baik pula disaat yang sama.
Tidak peduli pembalasan ketika dia mati, karena hukum sebab dan akibat terjadi diwaktu yang sama, tanpa kecuali, siapa pun.
Ajaran jika dihayati dan dipikir secara matang mungkin tidak ada yang salah. Tujuan semua orang adalah hidup untuk kebaikan, tetapi kualitas baik dalam pengertiannya tidaklah sama, tergantung bagaimana penafsirannya masing-masing.
Banyak dari mereka menganggap baik untuk dirinya sendiri, untuk egonya, untuk memuaskan kehendaknya. Disinilah kualitas dari seseorang dipertanyakan, sudahkah konsep kebaikan dalam pikirannya selaras dengan kebaikan menurut semestanya?
Mungkin kita dan mereka sama mengidealkan yang khayal, dan akan selalu menjadi khayal pada akhirnya. Menurut mereka yang baik adalah melakukan kebaikan yang besar, tetapi bukankah itu sesuatu yang dapat keliru juga pada akhirnya?
Bukankah seseorang yang sudah besar seperti Raja hanya melakukan hal-hal kecil dalam rasanya, tidak mau melihat ketidak adil-an yang terjadi di dalam negaranya sendiri?
Dari masing-masing kita memang harus peduli pada apa yang menjadi tanggung jawab kita. Setiap orang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, itulah bagian kebaikan yang besar tersebut.
Hidup tidak mengandalkan orang lain, bergantung kepada orang lain, juga merepotkan orang lain. Ketika mereka melupakan kontemplasi yang terucap. Doa yang menyadarkan dirinya, harapannya, pada kebaikannya, mereka hilang bagikan terasing dirinya sendiri karena ketergantungannya.
Dia bagaikan kesadaran yang tidak bisa menyadari dirinya sendiri. Tentang bagaimana impiannya menjadi seorang yang baik untuk dirinya, keluarganya, dan lingkungannya. Semua akan bias pada akhirnya.
Kehendak alami kebaikan manusia hanyalah kehendak untuk melanjutkan hidup, dan menghidupi mereka yang akan datang di waktu berikutnya. Menjadi bertanggung jawab merupakan suatu cahaya dalam kebaikan itu sendiri setiap dari diri manusia.
Kehidupan memang melelahkan seperti kita lelah pada diri kita sendiri. Trauma yang berkepanjangan, tidak percaya akan kekuatan diri, dan semua hal yang membuat kita jatuh meratapi nasib diri.
Mau tidak mau, manusia haruslah menjalani ini semua. Bukan untuk apa-apa, semua ini hanyalah cara bagaimana Tuhan mengajari kita untuk tumbuh, berkesadaran, dan mencintai diri kita sendiri sebagaimana adanya tanpa keluhan yang menghakimi.
Ketika doa-doa terucap, bukan kita lemah sebagai manusia, melainkan agar kita sadar menyadarkan diri dengan doa. Hidup seperti perjalanan yang tidak terketahui, Tuhan melepaskan begitu saja kita semua disini, untuk belajar, untuk mengetahui, dan untuk menjadi kepanjangan tangannya.
Kau tidak akan bisa mencintai yang lain ketika kau tidak pernah bisa mencintai dirimu sendiri. Manusia diturunkan untuk cinta dan untuk kasih kepada siapa pun. Sebagaimana Tuhan mengasihi sesuatu yang diciptakannya, membebaskan dia bersama prilakunya.
Tetapi Tuhan pun tetap sayang padanya "yang diciptakannya" dengan karma yang diterimanya. Supaya manusia belajar, untuk menjadi citra, Tuhan yang maha kuasa, maha pengasih, dan maha penyayang.
Jadi sampai kapan, kita merasa tidak terima dengan diri kita? Mencari-cari sesuatu yang bisa menyembuhkan diri kita dengan tergesa-gesa? Kita semua merupakan penyembuh terbaik untuk diri kita sendiri, memaafkan diri kita sendiri, dan menjadi guru untuk diri kita sendiri.
Sekalut-kalutnya kita hidup, seputus-putus asanya menjalaninya, dan seberat-beratnya beban yang kita tanggung, tetap "Tuhan" tidak membiarkan kita, tuhan selalu ada bersama diri kita.
Semua ini terjadi bukan kita harus mencari apa yang bisa membuat nyaman diri kita untuk bersandar. Justru ketika kau mengejar sesuatu itu, untuk mengutuhkan dirimu, dan  kau berharap banyak dari diri yang lain, seterusnya kau akan terus kehilangan dirimu, kehilangan jati diri sejati yang sudah ada di dalam dirimu sendiri sebelumnya.
Hidup tidak lebih hanyalah untuk berdamai dengan diri sendiri. Mencintai nasib yang sudah kita tentukan sendiri, menjalani apa yang menjadi jalan hidup kita sendiri. Supaya kita dapat membangun hal-hal kecil yang bisa kita bangun, melakukannya dengan hati, yang selalu berucap syukur, dan agar hati tidak iri dengan nasib yang lain.
Terpenting dari hidup ini, jangan sampai kehilangan harapan! Jika memang semesta sudah mendukung kita untuk menjadi manusia yang mulia, semesta akan memberikan, dan mengarahkan kemana lagi kita harus berjalan.
Sebagai mana kesabaran diajarkan pada kita, sabar bahwa; Tuhan sudah merencanakannya, untuk kita dan hidup kita. Semoga Tuhan selalu memberi semangat pikiran kita, menguatkan hati kita, dan mengiklaskan kita dalam menjalani kehidupan ini.
Hujan masih akan turun, begitu pun dengan sinar matahari yang ditunggu. Kini kita sadar, kita sudah lahir, sudah jauh pula kita berjalan, menyerah rasanya sudah tidak mungkin.Â
Suka dan duka, memang harus dirasa, dipelajari, dan dihayati sebagaimana dia berpotensi datang setiap saat dalam hidup kita. Hidup harus percaya bahwa "Tuhan" akan selalu mencintai kita tanpa syarat apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H