Untuk lepas dari ketergantungan merokok diperlukan mengendalikan pikiran dari dalam diri. Saya mengira rokok bukanlah hal yang candu. Tidak ada yang candu di dunia ini, karena semua dapat di hindari asal ada ke mau-an sebagai jalan.
Dampak nyata dari merokok, salah satunya  adalah perokok mampu tenang pikiranya setelah merokok. Ketenangan itu di dapat dari nikotin yang merupakan racun bagi saraf, kata para "penentang rokok" yang masih berkeliaran disana.
Saya pernah membaca artikel mengenai bahaya yang ditimbulkan oleh nikotin itu sendiri, salah satunya merusak sel otak manusia. Mungkin kerusakan sel otak itu membuat tenangnya pikiran perokok.
Jika rokok membuat kecanduan seorang perokok, jelas tidak akan pernah bisa manusia berhenti merokok, jika itu tidak dimulai dari dirinya sendiri dulu untuk berhenti merokok.
Saya dulu juga seorang perokok berat, namun saya mampu hampir kurang lima tahunan terakhir ini kadang bisa merokok, kadang pula tidak tergantung situasi.
Saya kira kebanyakan seorang perokok tidak bisa mengendalikan pikiranya sendiri, itulah sebab mengapa dia tidak bisa berhenti merokok, bahkan menguranginya sedikit sejenak lepas dari kerergantungan rokok.
Pikiran mereka masih terprogram pandangan umum tentang rokok, kalau tidak merokok rasanya asam lidah , saya berpendapat itu merupakan pandangan umum dari seorang perokok saja secara subyektif dan sama sekali tidak obyektif.
Jika perokok punya keyakinan pribadi bahwa; rokok dapat membuat ketenangan sudah terbukti secara ilmiah memang, pasti ketenangan yang di dapatkannya di karenakan pada saat seorang perokok merokok, sel otak sedang dirusak oleh nikotin yang terkandung di dalam rokok, setidaknya itu kata penelitian dalam artikel yang saya baca.
Meskipun kontradiksi antara bisnis rokok dan lainnya sering dikait-kaitkan dalam berbagi opini frontal ini. Terlepas dari kepentingan bisnis atau pun "apa pun itu", saya mengira kebijakan mengenai kenaikan harga rokok untuk menekan jumlah perokok kurang mendasar.
Justru jika kebijakan ini dilakukan akan semakin banyak orang miskin bukan hanya di kota tetapi di desa. Harga yang ditetapkan pemerintah saat inipun punya andil memicu kenaikan angka kemiskinan, jika dilihat dari harga dan pendapatan pekerja yang merokok saat ini.
Banyak perokok yang belum berhenti, dan memilih membeli rokok dari pada memenuhi kebutuhan yang lebih mendasar. Kebanyakan seorang perokok belum mampu mengendalikan pikiranya untuk supaya berhenti merokok dan mementingkan kebutuhan dasar mereka terlebih dahulu sebelum rokok.
Memang dengan kebijakan menaikan harga rokok akan mengurangi konsumsi rokok. Tetapi saya yakin, mereka akan tetap merokok walaupun membeli dengan harga yang tinggi. Tentu karena bukan ketergantungan tetapi upaya menggantungkan diri pada rokok.
Membeli secara eceran paling mungkin dilakukan para perokok. Sedangkan untuk membeli satu batang rokok dibutuhkan biaya yang tinggi, itulah mengapa saya prihatin, naiknya harga rokok akan membuat semakin banyak orang yang miskin secara ekonomi.
Berhenti merokok merupakan kemauan dari dalam diri perokok itu sendiri. Menurut saya kebijakan menaikan harga rokok tidaklah mendasa, Â dan bertendensi akan memicu masalah sosial yang baru yaitu kemiskinan dari harga rokok yang tinggi.
Jika pemerintah berniat menekan jumlah perokok buatlah program pembelajaran bagi masyarakat, pembelajaran yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya merokok, dan dampaknya untuk ekonomi personal.
Membuat panti rehabilitasi bagi perokok dan mempekerjakan psikeater, merupakan salah satu jalan terbaik untuk menekan jumlah perokok itu, yang semakin meninggi karena bebarengan dengan gaya hidup manusia yang membudaya sejak lama.
Merasa membawa banyak kenikmatan itu, rokok bagi banyak manusia merupakan kebebasan, dia bukan saja penyembuh sepi, rokok yang dihisap juga sebagai tanda tanpa terisinya ruang waktu lengah itu, yang ingin dihentikan sejenak dengan santai sembari mulut dikebulkan di ruang pojok sana.
Perkara banyak efek buruk yang disebabkan oleh merokok, namun bagi saya, hanyalah setitik  perkara kebebasan bagi manusia dewasa. Mereka tahu bagaimana mereka harus merokok, mereka juga tahu bagaimana mereka harus berhenti merokok sebagai konsekwesi dampak buruk rokok tersebut.
Tetapi merokok atau tidak, mungkin masalah persepsi saja, yang menghakimi hanyalah orang yang kurang penghakiman. Merokok sebagai gaya hidup mungkin inilah bentuk tren itu, selayakanya gaya hidup itu sendiri, hanya perkara manusia kehabisan tingakah dengan agak sedikit bingung bertingkah.
Dengan konsekwensi, dia berpikir apa yang dapat dilalukan, agar dapat merasakan kesenangan, ya tidak lebih dari itu! Barometer yang agak sempit sebagai orang  yang mecoba sedang menikmati peruntungan dari sikapnya tidak merokok itu yang katanya hemat dan sehat.
Tidak semua manusia merokok itu bodoh, tidak, apa lagi disandingkan dengan membuang uang jelas tidak! seperti membakar uang tersebut, tentu juga tidak!
Merokok sama halnya mengisi waktunya agar tidak jenuh ,sesekali merokok juga sama mengobati dirinya, dan mencoba mengutuk waktu suntuknya sendiri. Oleh sebab itu, banyak orang yang rela membeli rokok meskipun harga rokok terus-terus semakin tinggi, yang membuatnya menjadi miskin.
Memang hidup adalah pilihan, termasuk tetap merokok. Tetapi ketika manusia berpikir ekonomi, saya yakin akan berat untuk terus-terusan  merokok. Seperti penyakit yang disembuhkan oleh uang pergi ke rumah sakit, merokok juga sama, akan berhenti ketika kesadaran ekonomi itu tumbuh pada akhirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H