Tidak ada yang mengalahkan mimpi terkecuali keinginan kesemuannya sendiri. Selayaknya yang sudah terjadi, mimpi ibarat bangunan itu, keberadaanya bisa karena sebuah hantaran usaha yang tidak ada hentinya.
Kerja, dapat uang, dan segudang tenaga untuk usaha. Memang dikepala milenial kini, mereka tidak pernah luput dari gagasan yang hebat, milenial adalah penggagas yang cerdas, sampai-sampai gagasan dasar mereka kebutuhan akan rumah hanya menjadi gagasan yang diusahakan sedikit dari banyak orang.
Gaya hidup yang lebih mudah terfasilitasi, keinginan asal ada uang, semua dapat terjangkau dengan mudahnya karena kemajuan zaman. Kini berbagai pertanyaan itu muncul, antara rumah dan generasi milenial disinyalir tidak dapat membeli rumah yang semakin mahal.
Tetapi apakah benar, disinyalir itu cenderung tidak bisa? Tentu saya membenarkan itu, milenial bukan hanya terancam, tetapi sudah dapat dipastikan tidak akan punya rumah. Jelas disini adalah ungkapan gagasan tentang jika, umpamanya, dan seadainya.
Disesuaikan dengan ekonomi, membeli hanyalah masalah rasio gini, semua hanya hitungan antara pendapatan dan harga barang yang akan dibeli. Tetapi bagaimana cara membeli sesuatu yang membutuhkan waktu lama untuk menabung uang dari hasil kerjanya setiap bulan?
Rumah dan identifikasi kemahalan selalu terasa setiap zamannya. Dahulu penafsiran mahal mungkin bagi seseorang yang sama sekali tidak punya lahan, tidak punya sumber daya alam, yang digunakan seperti kayu dan lain sebagainya, "sebagai" membuat bahan membuat rumah, juga kebutuhan akan tanah yang mungkin belum punya.
Bukankah kini, bagaimana hidup milenial kota maupun desa sama saja, dia tidak banyak mempunyai sumber daya itu jika tidak dirinya sendiri yang mencarinya? Memang masih banyak milenial kaya secara struktural yang diwarisakan oleh orang tuanya baik di desa maupun kota.
Apakah kaya struktural juga jaminan itu sebagai milenial yang berhasil punya rumah untuk sendiri, bahkan menyiapkan untuk generasi yang dilahirkannya seperti apa yang dilakukan oleh orang tuanya? Saya kira tidak semudah kita hanya menerima karena orang yang memberi itu "orang tua" juga pasti dahulu memperjuangkan secara hati-hati, jangan sampai terlena tidak berpikir masa depan anaknya.
Bukankah kini menjadi hal biasa kebanyakan anak "milenial" dibuatkan rumah oleh orang tuanya? Ini bukankah sesuatu yang mengagetkan, gaya hidup, dan upah minimun regional merupakan biang dari kesabaran itu. Bagaimana milenial harus sabar, hemat, dan tidak terprovokasi gaya hidup yang boros untuk mulai menabung.
Gaya hidup "milenial" penghambat punya rumah
Fashionable, nongkrong populer khas anak muda, dan hobi yang tidak produktif adalah sedikit dari banyak gaya hidup penghambat mempunyai rumah itu. Kisaran harga rumah yang paling minim di desa sekitar 200jt dan di kota 500jt-an, membuat jika dipukul umum upah pekerja berdasarkan regional masing sangatlah berat.