Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Deddy Corbuizer, Figur, dan Agama

21 Juni 2019   19:26 Diperbarui: 22 Juni 2019   06:43 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari: SindoNews.com

Jagad hiburan adalah hal-hal yang patut di perbicangkan itu. Jika pembicaraannya mandeg, ia berhenti pula untuk dikenal dari dalam dunia hiburan itu sendiri. Tentu ini termasuk apa yang dilakukan oleh Deddy Corbuzier, presenter acara Hitam Putih, yang ditayangankan malam hari, rutin senin sampai jumat, di layar kaca televisi swasta nasional.

Tentu bagi seorang "multi telent" seperti Deddy Corbuizer jelas, dia tidak ingin popularitas masuk agama terbesar di indonesia. Deddy Corbuzier bukanlah mereka, yang berhijab ada kalanya dibutuhkan, dan tidak berhijab pada saat waktu tidak membutuhkan itu, istilahnya "hijab" untuk kepentingan ekonomi, lepas hijab pula untuk kepentingan ekonomi.

Tetapi saya tidak menyalahkan siapapun, dan apapun motifnya. Saya berpikir tetap,  hijab adalah identitas, seperti pakaian saja "dianjurkan baik". Hijab tidak dapat mengukur kedalaman beragama seseorang, tentu tidak akan pernah bisa.

Perkara yang mengkeritik mereka lepas hijab, hanya mereka tidak mengerti, lebih penting masih bekerja, laku di dunia hiburan dari pada berhijab, tetapi dapur tidak mengebul. Menurut saya itu manusiawi, karena saat ini, kita hidup di dunia, ya hanya-hanya mereka saja, yang bilang bahwa dunia ini tidak penting, padahal ya sangat penting untuk siapapun yang hidup di dunia.

Tidak pentingnya dunia bagi mereka itu pun tetap bermotif, bisa saja karena "ia" tidak mampu berbuat banyak pada hidupnya, lalu lari mencari sesuatu yang menguatkan argumennya bahwa; dunia hanya sementara, namun disana "ia" mengharapkan santunan banyak lewat ceramah (pendapatan uang:gaji), jadi apa yang membedaknnya? Bukankah masih berharap juga pada dunia?

Itupun sama seperti mereka, untuk apa kerja ngoyo-ngoyo, uang tidak dibawa mati, padahal ia hanya tidak bisa mengikuti saja, semangat dari kerja yang ngoyo tersebut. Mereka berkata-kata karena mereka tidak mampu, tidak lebih dari itu. Cukapkan saja semua ungkapan-ungakapan indah dalam tipuan itu. Tetaplah menjadi apa adanya diri, tanpa ungkapan yang membuat orang sinis terhadap kita, yang berbicara padanya.

Suatu ketika, narasi orang akan pembicaraannya, memang dapat di mentahkan, apapun kepentinganya, menurut anggapannya sendiri. Seperti ungkapan yang basi, pada setiap candaan yang mengiringi perjalanan manusia pulang kerja.

"Diantara kuli dan User perusahaan, ketimpangan begitu dalam, ia "user" bisa kaya, dan kuli hanya pas-pasan saja ekonominya". Suatu saat ia pernah berkata dalam candaannya sewaktu pulang kerja, tentu User ini merupakan orang yang telah kecukupan segalanya, dan kuli tidak.  User berkata pada kuli, mau menikah dengan berbeda agama dan kau menjadi kaya?

User itu pasti menjawab dalam pendapatnya "tidak mau". Ia "user" menunggu jawaban kuli, untuk melegakan pertanyaannya tersebut, karena dipikiranya, agama adalah segala-galanya, menjadi miskin pun tak apa asal beragama. Tetapi kuli menjawab dengan membuat kaget dirinya "user", kuli berkata ia tidak masalah menikah, walaupun berbeda agama, asal sama-sama ingin hidup bersama.

Perkara istri yang berbeda agama kaya, itu hanya nilai plusnya saja. Dengan terbata, sungguh tidak memuaskan user, atas "jawaban" dari kuli tersebut. Ia menabahkan bahwa, kuli ini kafir, dan lain sebagainya, yang sudah tidak patut, dan dikatakan olehnya setengah atheis, karena kuli menganggap dan percaya ada tuhan.

Kuli dalam ideologinya memandang, tuhan tidak mebedakan siapapun, tuhan ada didalam apa yang diciptakannya. Jadi pertanyaan si kuli tersebut, apa artinya ia beragama tetapi memandang setengah manusia, pada ciptaan tuhanya itu sendiri, yang diakuinya sebagai yang "esa "(satu). Bukankah kalau seperti itu, ia juga sedang menyangka setengahnya "tuhan" dari apa yang dipercayainya?

Ah, kuli pun seperti apa yang di pikirkannya, mereka termasuk "user", hanya upaya basi dalam mempercayai pendapatnya sendiri, yang sedikit pun tidak masuk dalam akalnya, sebagai manusia hidup di dunia. Memang user itu pernah kaya, dan kuli tidak pernah. Kaya adalah suatu rasa, "cinta terhadap manusia dan tidak membedakannya pun sama, "rasa".

Mungkin karena User itu sudah kaya, dan bosan merasakan kekayaannya, sehingga ia tidak mau kaya  menikah dengan orang yang berbeda agamannya, "jika membuatnya kaya". Berbeda dengan kul,i yang semua di pandang atas nama rasa, apa yang belum dirasakannya, jika sudah dirasakannya dalam kenyataannya, seperti kekayaan dan cinta terhadap manusia, adalah anugranya "tuhan yang maha esa".

Begitupan juga saya memandang Deddy Corbuzier seperti kuli itu, ia sudah kaya, sudah poluler, tidak kurang-kurang mencari akal dalam kerja mencari uang. Jika tidak di pakai di hiburan kovensional, ia adalah youtuber sukses itu, jika mau, ia dapat mengeruk uang juga disana lewat karya kreatifnya.

Deddy Corbuzier pindah agama dengan rasa

Yang melebih-lebihkan hanyalah mereka, yang menganggap bahwa; agamanya adalah yang paling benar, paling bagus, dan paling dicintai tuhan, akan di beri surga. Mungkin jika Deddy Corbuzier tidak berpindah agama ke agama mayoritas, sambutanya tidak semeriah ini di media.

Tentu mediapun seperti saya, ingin hidup melalui tulisan, yang akan dibaca lalu mendapatkan laba. Sama seperti saya berharap mendapat laba dari tulisan, untuk menopang kebutuhan hidup saya. Memang manusia dalam memandang dunia, semua tidak bisa "ia" hindari, bahkan menajiskan, yang ketika manusia butuh mempertahankan hidupnya, najis, dosa, apapun akan tetap di pakainya dan dilakukannya.

Manusia, rasanya, jangalah seperti pepesan kosong komedi omong. Terlihat mendengar apa yang menyamai dirinya girang, tanpa tahu kepentingannya orang, yang menyamai dirinya itu. Deddy Combuzier berpindah agama adalah fenomena dengan kepentinganya.

Perkara Deddy Corbuzier berpikir dengan rasa berpindah agama, walaupun dengan tangkapan sejuta kamera dan berita, apakah kita dapat merasakannya? Saya kira menjadi biasa, ada rasa yang ingin sama pada manusia, untuk bersama kebanyakan manusia lain. Begitupun Deddy Corbuzier ingin beragama, "jika ia terasing oleh mayoritasnya". Dedi hanya ingin merasa bagaimana beragama rasa mayoritas, seperti saya dulu ingin masuk agama mayoritas di Bali karena tinggal di Bali.

Alasannya tentu adalah rasa yang tidak terasa, berada di pinggiran mayoritas, namun tidak bisa merayakan beragama secara mayoritas dalam kebersamaan atas nama mayoritas juga. Jelas, jika ini suatu kebenaran itu, manusiawi, karena faktor beragama adalah faktor manusia. Agama merupakan kemanusiaan, seperti ajarannya untuk saling menyayangi, dan mengasihi sebagai cermin bertuhan.

Atau bisa saja Deddy Corbuzier pun ingin merasa dengan beragama mayoritas sebagai motif yang lain. Tentu bukan polularitas, bukan materi, atau bukan lain-lainnya, yang terpikirkan itu. Kecerdasan bagi seorang Deddy Corbuzier, seperti dalam artikel kemarin saya baca di kompasiana, judulnya antara "Albert Enstain dan Deddy Corbuzier" pasca mengucap kata diakui sebagai bagian agama yang lain dari agama sebelumnya.

Apa artinya pengakuan bagi kecerdasan, tentu tidak berarti apa-apa. Semesta perbicangannya akan dirinya " Deddy Corbuzier " yang pindah agama, mungkin hanya orang narsis saja yang mentinggi-tinggikannya. Saya kira pengetahuan Deddy telah banyak, mungkin beragama tanpa memandang setara manusia, dan mensetengah-setengahkannya bukan tujuannya, mengakui sebagai kebaruan hidupnya melalui "agama" baru menurut mereka.

Atau Deddy Corbuzier bisa saja berpikir dengan rasanya, akan bagaimana kejinya mayoritas memandang setengan manusia, bila dari bagiannya, tetapi berpaling karena faktor manusia. Mungkin bisa jadi benar sama, antara narasi kuli dan user itu, bersama sorot kamera dan wartawan, mengucapkan kata pengakuan, agar terakui banyak orang.

Manusia selalu penasaran, apa yang tidak dirasakannya, ia pun ingin merasakannya. Tokoh sekaliber pemikir Deddy Corbuzier seperti konten-konten yang tersaji di akun youtubenya. Jika pindah beragama untuk dirinya sendiri, tidak perlu ia mengundang, bahkan membawakan pengakuan di depan umum acara televisinya, layar kamera wartawan, usztad yang pakai kaca mata, dalam bangunan acaran pengakuannya.

Deddy Combuzier mungkin merasa, "ia" ingin merasa, apa yang hilang dari hidupnya. Narasi dari kuli dan user itu, bisa juga jawabannya, merasa dengan rasa, "ia" hidup harus berjodoh dengan yang lain, harus melindungi nama, yang lain tersebut, atas dasar rasa hidup, bersama yang sudah dinantikannya. Saya kira Deddy Corbuzier tidak ingin seheboh itu, pindah agama untuk popularitasnya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun