Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pasca Putusan MK, Haruskah Prabowo Moksa Politik?

21 Juni 2019   13:09 Diperbarui: 21 Juni 2019   13:54 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi dimbil dari: Rencongpost.com

Pembicaraan ini memang berbicara pada dekade tahun 1000-an Masehi, dimana masa kerajaan-kerajan tengah Berjaya. Umumnya politik yang terjadi dalam kerajaan dahulu, sebagai yang tersisih atau kalah sebagai elite, mengharumkan dan membersihkan kembali dharma hidupnya dengan melakukan ritual Moksa.

Moksa adalah sebuah konsep dari spiritualis agama Hindu dan Buddha, yang memiliki artian yaitu melepaskan dari segala ikatan duniawi, serta putaran reinkarnasi kehidupan fana yang terjadi. Istilah "moksa" ini sudah dikenal sejak beratus-ratus tahun lamanya atau sejak zaman kerajaan dahulu, bahkan pra tahun 1000 masehi atau pasca 1000 masehi sebelum kerajaan-kerajaan Islam berdiri.

Tetapi di kerajaan bercorak islampun saya tidak tahu, upaya moksa masih dilakukan atau tidak, tetapi moksa adalah pengetahuan, tentu dalam hal ini, pengetahuan selama masih di pelajari, ia akan tetap menjadi pedoman bagi yang menggunakannya, termasuk tokoh-tokoh elite kerajaan islam dahulu.

Saat itu jika, "Seorang elite politik sudah tua maupun menuju tua, kenyataan  hidup belum menjawab apa, yang menjadi cita-cita luhurnya sebagai manusia, atau belum pernah tercapainya, yang di harapkan, "ia akan menepi dari dunia istilahnya, "menepi untuk menyepi", melakukan ritual moksa.

"Politik", tidak ubahnya kalau kita membicarakan dunia politik jelas, harus terus meregenerasi dirinya sendiri. Tentu lewat tokoh-tokoh muda potensial sebagai penerus semesta wacana dan implemetasi politik suatu negara. Untuk itu adanya politik, politikus masa depan  harus tumbuh dan berkembang.

Apakah tidak etis jika para "politikus veteran" kini lebih baik moksa saja? Moksa dari dunia politik yang semakin ditantang zaman? Untuk melihat dari kejauhan tentang apa, yang akan dilakukan oleh politikus muda masa depan itu? Dan mendharma baktikan diri sebagai guru bangsa atau "negarawan" saja tanpa menjadi pelaku politik didalammnya?

Ya, moksa politik merupakan sejenis laku melepas, dan membebaskan diri dari hingar-bingar dunia politik. Tentu ini bukan saja untuk Prabowo yang harus moksa, tetapi untuk juga para veteran-veteran politik, yang mungkin tidak di perhitungan lagi dalam perhelatan politik masa depan pasca 2019. Veteran politk yang lantang berpolitik 2019 ini seperti Amien Rais, SBY, Megawati. dan "mungkin yang kini merambah diri, terjun dalam dilematik "dunia politis" seperti Kivlan Zen.

"Perlunya dunia politik membenahi dirinya sendiri lewat zaman, ketokohan, dan gagasan-gagasan baru oleh karenanya, orang-orang muda-lah yang harus mengambil kendali politik itu, mengganti mereka yang telah tua dan renta, untuk beristirahat saja di singgasanannya, sebagai guru politik yang muda-muda saat ini menyongsong wacana politik masa depan".

Politik ibarat dunia ketertarikan untuk partisipan politk "rakyat". Semangat, muda, gagasan dan tindak tanduk yang energik setiap para politikusnya menjadi pembicaraan, juga dapat menjadi citra untuk sekedar menarik partisipan "pemilihnya", dalam setiap kontestasi politik yang akan terjadi dimasa yang akan datang.

Tetapi bagaimana dengan kondisi politikus veteran? Memang bukan masalah berpolitik di usia tua, yang juga ikut andil dalam menjabat secara politis, tetapi alangkah baiknya ketika defisit tokoh muda terjadi. Bukankah Indonesia tidak terjadi defisit-defisit tokoh politikus muda saat ini?

Politikus veteran saya kira juga gagap dalam mengagas ide-ide tentang zaman baru, yang tertinggal dari mereka "poltikus" yang lebih muda-muda dan memahami kebutuhan gagasan setian zamannya? Inilah yang menjadi pertanyaannnya kita semua, pemilih dari setiap kontestasi politik, sudah legowo kah  politikus veteran menepi, mendharma baktikan diri bagi bangsa dan Negara, sebagai guru saja "negarawan"?

Para kader PSI atau Partai Soloderitas Indonesia seperti Thasmara, Greace Natalie atau Gubernur Jakarta "Anis Baswedan", Presiden Jokowi satu periode lagi , AHY, Ahok, Sandiaga Uno, dan lain sebagainya, dengan lebel politikus muda, harus diberikan ruang secara luas dalam berpolitik.

Politikus veteran yang dulunya adalah mereka-mereka yang mendirikan partai politik, harus legowo memberikan kendalinya, kepada politikus yang muda-muda saat ini. Untuk supaya kebaruan wacana semesta baru politik, dalam gagasan, maupun tokoh politik, tercipta di Indonesia masa depan.

Indonesia sendiri adalah negara republik, demokrastis, bukan kekuasaan negara yang kini ada dalam genggaman partai-partai dinasti kepemilikan saham terbesar partai saja. Semua orang yang berkompeten layak menjadi ketua umum partai. Layak pula menjadi Presiden masa depan "jika dia, yang dipilih oleh rakyat".

"Oleh sebab itu, mereka "politikus" yang sudah veteran harus moksa politik, menepi dari dunia politik, sebagai guru saja yang bijak, ketika politikus muda-muda ini kehilangan arah, atau buntu dalam mengartikulasikan politik ke-Indonesiaan, yang secara garis besar diajarkan politikus-politikus masa lalu, sebelum politikus veteran saat ini".

Bagaimanakah dengan Prabowo sebagai Capres dan tokoh veteran yang kemarin ikut dalam kontestasi wacana Pilpres 2019, baik sebagai pendukung paslon, atau maju dalam kontestasi politik? Mereka pun harus legowo, jika panggung-panggung politik di isi oleh mereka para tokoh muda masa depan.

Terhitung pula dengan kekalahan Prabowo dalam Pilpres 2019, yang dua kali ia mencalonkan, dua kali pula ia "gagal" tidak terpilih sebagai Presiden.Seperti yang di ungkapkan Cawapres Prabowo "Sandiaga Uno ", menanggapai gugatan sengketa ke MK pasca Pilpres, dengan dalih kecurangan. Sandi mengatakan, "Gugatan ke "Mahkamah Konstitusi" pasca Pilpres, bukan mempersoalkan pihak yang kalah, dan yang menang, tetapi hukum yang berkeadilan dari negara".

Dalam hal ini, jika Pilpres sama-sama curang, dan juga tidak ada kecurangan dari kedua kubu, lalu pemilu sah, dan diakui negara, praktis Jokowi-Maruf terpilih, dan akan di tetapkan secara mulus sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2019 secara konstitusional.

Memang tidak ada batas untuk mencalonkan diri sebagai Presiden walau sudah veteran bagi Prabowo Subianto memandang pilpres 2024, seperti "Mahathir bin Mohamad" perdana mentri Malaysia yang terpilih umur 92 tahun, skaligaus menjadi pemimpin tertua dunia saat ini.

Tetapi "Prabowo" apakah tidak "pekiwuh" atau mempunyai sikap rikuh pada tokoh muda, dengan egoisnya tetap mencalonkan Presiden tanpa memandang tokoh muda, yang menginginkan panggung bertarung sebagai Capres disana tahun Pilpres 2024 nanti?

Memang, sebagai veteran politik yang bijaksana, Prabowo haruslah moksa dari dunia politik, memberi ruang bagi anak muda "politikus masa" depan disana, yang mulai naik pamornya masuk dalam dunia politik Indonesia saat ini. Pilpers atau pileg 2024 adalah pangungnya politikus muda, dan politikus veteran pensiun duduk manis saja dirumah, sebagai guru politik mereka "politikus muda" termasuk Prabowo Subianto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun