Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Susah Sinyal, Perlukah Satu Desa, Satu Menara BTS?

15 Juni 2019   16:20 Diperbarui: 24 Juni 2019   15:51 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketimpangan sinyal telekomunikasi antara di desa dan kota sangat tajam. Ini tidak hanya membuat iri, sebab harga yang dibayarkan untuk membeli kuota sendiri sama dengan yang tinggal di kota. Tetapi kualitas layanan sinyal di desa saya sungguh buruk dan amat buruk.

Speed test untuk mengukur kecepatannya sendiri paling berkisar 1 sampai 1,5 Mbps untuk unggah dan unduhnya, itu juga sudah di belakang rumah "kebun' yang relatif terbuka tanpa halangan bangunan maupun pohon yang disinyalir dapat menganggu distribusi sinyal. Sedangkan jika di rumah sendiri justru blank spot, sama sekali tidak dapat terpakai layanan data internetnya.

Tentu fenomena blank spot di dalam rumah tidak hanya satu provider telekomunikasi saja, tetapi hampir semua layanan telekomunikasi mengalami hal serupa jika digunakan di dalam rumah. 

Saya memang tidak menyalahkan, mungkin pertimbangan bisnis yang menjadi alasan mengapa dari sinyal 2G, sampai kini yang akan memandang 5G, kualitas layanan telekomunikasi tidak semakin baik di desa saya.

Mungkin karena letak desa saya yang tidak starategis dan bukan jalar utama trans antar kota. Oleh karena itu, operator seluler agak enggan investasi BTS-nya di daerah desa saya. Tetapi boleh jika kita mau analisis perhitungan bisnis satu desa satu menara BTS ukurannya desa saya yang tidak minim-minim sangat penduduknya.

Sebelumnya pengenalan terlebih dulu untuk yang belum tahu singkatan dari BTS, sebenarnya itu apa? yang pasti bukan grup musik Korea yang kini sedang terkenal itu. Berbeda, BTS ini merupakan satu dari banyak perangkat infrastruktur telekomunikasi, penunjang sinyal smartphone kalian.

BTS singkatan dari Base Transceiver Station, adalah sebuah infrastruktur telekomunikasi yang memfasilitasi komunikasi nirkabel antara piranti komunikasi dan jaringan operator. Piranti komunikasi penerima sinyal BTS bisa telepon, telepon seluler, jaringan nirkabel sementara operator jaringan yaitu GSM, CDMA, atau platform TDMA.

BTS mengirimkan dan menerima sinyal radio ke perangkat mobile dan mengkonversi sinyal-sinyal tersebut menjadi sinyal digital untuk selanjutnya dikirim ke terminal lainnya untuk proses sirkulasi pesan atau data. 

Nama lain dari BTS adalah Base Station (BS), Radio Base Station (RBS), atau node B (eNB). Hingga saat ini masyarakat belum bisa membedakan antara perangkat BTS dan menara BTS padahal menara BTS bukanlah BTS itu sendiri. Mereka berbeda dimana menara BTS hanya tempat, dan BTSnya adalah alatnya.

Ilustrasi: enginer BTS sedang Troubleshoot BTS| Dokumentasi pribadi
Ilustrasi: enginer BTS sedang Troubleshoot BTS| Dokumentasi pribadi
Kita kembali pada pembahasan bisnis satu desa satu BTS tersebut. Memang tidak semua orang di desa paham dengan baik pemakaian atau konsumsi layanan telekomunikasi. Tetapi dalam hal ini, bukankah bisnis berorentasi pada masa depan? Inilah yang harus dilakukan oleh penyedia layanan telekomunikasi seluler, dimana kesiapan masyarakat teknologi masa depan harus disiasati, jika tidak ingin kalah bersaing dengan layanan data internet jaringan optik yang sedang gencar ekspansi.

Saya kira konsumsi aktif layanan telekomunikasi di desa saya pinggiran Kabupaten Cilacap mencapai setengah penduduknya bahkan lebih. Jika penduduk desa sekitar 4000 jumlah penduduk dan aktif sebagai konsumen katakanlah 2000 saja, berapa pendapatan provider telekomunikasi setiap bulannya?

Rata-rata konsumsi data seluler kini berbentuk paket data dengan harga 50 ribu per bulan, berarti 50 ribu kali 2000 ribu berapa? Sudah 100 juta hasilnya. Namun inilah teorinya dalam menguatkan argumen menambah menara BTS satu desa satu di Pulau Jawa, khususnya yang banyak penduduknya seperti desa saya Karang Rena, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap

Ilustrasi letak Desa Karangrena| Via Google Map/Screeshoot dokumentasi pribadi
Ilustrasi letak Desa Karangrena| Via Google Map/Screeshoot dokumentasi pribadi
Setidaknya kalau hitung-hitungan bisnis tersebut tidak masuk? Upaya menjaga pelanggan dengan layanan terbaik dan mencapai keadilan sinyal satu desa satu menara BTS pun tidak mubazir. Akan banyak manfaat yang akan diterima oleh provider telekomunikasi seluler itu sendiri, termasuk menambah dan menguatkan pelanggan eksisting supaya tidak pindah ke operator lain.

Bukankah jika layanan bagus, kebutuhan data sendiri akan melonjak tinggi karena tren manusia dan teknologi yang kini tidak dapat dipisahkan? Jika terus di dalam rumah sendiri saja terjadi blank spot, jelas itu akan mengurangi konsumsi data? Terlebih jika pergerakan layanan telekomunikasi berbasis optik sudah merambah ke desa, bukankah layanan telekomunikasi seluler akan semakin ditinggalkan karena kualitas layanannya yang buruk?

Dari dalam keluarga sendiri terhitung, keluarga milenial yang melek teknologi semakin bertambah. Saya yakin semua anggota keluarga milenial adalah pengkonsumsi data, baik anak untuk menonton youtube, atau orang tua yang aktif di media sosial seperti facebook dan twiter yang sangat membantu relasi mereka.

Ditambah layanan telekomunikasi kini adalah jasa penggerak ekonomi terbesar setelah transportasi. Semua orang dalam kegiatan apapun butuh teknologi, termasuk akses data didalamnya untuk setiap akomodasi relasi bisnisnya. Terlebih untuk para pekerja kreatif kini seperti blogger atau pun youtuber desa yang semakin meningkat jumlahnya.

Masa hanya untuk upload file saja ke sistem database komputer harus ke kota terlebih dahulu mencari sinyal? 

Cerita "Kirman" sebagai youtuber asli desa saya mungkin dapat menjadi pertimbangan. Sinyal yang buruk kualitasnya membuat ia enggan untuk tinggal di desa padahal ia betah di desa. Tentu alasan dalam hal ini adalah kualitas layanan sinyal telekomunikasi itu sendiri yang mengambat untuk upload karyanya sebagai youtuber.

Seharusnya dari dalam wacana revolusi industri 4.0 sendiri, semua pihak harus menaruh perhatian lebih akan akses data menunjang kebutuhan masyarakat digital. Kasarnya, Bayi baru satu tahun mainannya saja smartphone saat ini. 

Masyarakat mampu beli smartphone yang canggih-canggih, masa sinyal saja sebagi motor utama sebuah smartphone susah? Untuk apa mereka beli smartphone kalau seperti itu? Buat banting-bantingan anak? Tidak kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun