"Agama candu bagi masyarakat"; ungkapan Karl Marx dalam Buku Das Kapital karyanya yang fenomenal itu dan berpengaruh pada dunia. Penafsirannya mungkin berbeda jika dilihat dari negara atas nama bangsa "Indonesia" kini menjadi "Politik candu bagi masyarakat". Tentu menjadi pertanyaan serius, bukan saja untuk saya. Tetapi untuk masyarakat yang mengaku "Saya Indonesia, Saya Pancasila" saat ini.
Seakan ingin menepuk jidat sampai menghitam memikirkan fenomena politik mutakhir Indonesia. Sebenarnya apa yang salah dari jalannya politik kita? Cobalah kita renungkan sejenak, terserah, mau dengan minum Kopi, Bir, atau minum Wedang Ronde, "biar panas semakin menjadi panas".Â
Tetapi saya-lah manusia bebas itu, tanpa terikat, tanpa mengikat, apa lagi pada semesta wacana politik saat ini, yang bisa saya katakan dengan mulai terdegradasi baik politikusnya atau yang menaruh simpati padanya.
Kopi mungkin dapat membuatmu sepaneng, tetapi alunan ketenangan dapat membuat lepas dari hingar bingar saat kau tidak menyalakan Televisi. Atau Bir yang sedikit memabokan dirimu agar tidur cepat dan pulas, tidak memikirkan apapun, termasuk issu-issu politik yang terjadi saat ini. Seperti wedang Ronde yang sedang di nikmati para penongkrong Muda bahkan Bapak-Bapak di Desa sana dekat Pos Kamling.
Mereka mengobrol, tertawa, melihat, dan mendengar bukan dirinya saja yang hanya merasakan tanaman padinya di makani Tikus. Tetapi semua Petani merasakan keganasan Tikus memakan tanaman mereka, sampai-sampai pesimis untuk panen Padi kali ini.Â
Benar mungkin kata orang Desa itu, buat apa paham politik, mengikuti isu politik dan membela kepentingan atas nama politik. Kerjaannya disawah ya tetap kesawah, apa kalau yang dipilih dan dibela berkuasa ke sawah mau pakai Dasi kupu-kupu seperti yang nangkring di gedung DPR atau Istana Negara? Tidak kan? Akan ditertawai banyak orang nanti.
Akhir yang akan sama saja, kalau bukan dirinya sendiri yang bertindak menanggulangi hama tikus yang sedang menderanya. Berharap pada Politikus akan datang mendengar keluhan Petani Desa dan menganggapi masalahnya, termasuk memfasilitasi upaya preventif mengurangi hama tikus, itu mungkin sesuatu yang mustahil.Â
Mereka sedang berdandan disana "Jakarta", tetap menggoreng apa yang dapat digoreng sebagai suatu isu menarik simpati siapapun, termasuk warga desa yang sedang kebingungan akan panen atau tidak kali ini.
Berangsur saya memang tidak menampik, candunya politik yang dibarengi dengan isu Suku, Agama dan Ras (sara) memang telah nyata keberadaannya.Â
Saling gotok-gotongan bahwa; dia yang paling benar, layak memimpin, dan berkuasa atas negara menjadi perbicangan publik kali ini. Tetapi sungguh di sayangkan dan saya amat menyayangkan. Masyarakat yang hidup atas usahanya sendiri terkadang juga terbawa akan narasi ini.