Tidak ubahnya pulang kampung tanpa membawa apa-apa asal dapat mudik merupakan suatu upaya membayar kegagalan impiannya untuk berhasil di kota dengan berbagai problematikanya.
Dengan kata sejuta karya yang tergerus itu, keberhasilan orang beruntung di kota memang bukan ukuran kita untuk seperti mereka. Tidak semua perantau dapat beruntung, karena menjadi beruntung tidak mudah, banyak faktor pendukung di belakangnya yang setidaknnya menjadi dasarnya.
Sebagai perantau, mungkin romansa indah terkait dengan penaklukan kota dengan ukuran keberhasilan memang kini sangat tidak relevan. Sekali lagi, bahkan harus aku ulang berkali-kali agar paham.
"Kota bukanlah ukuran keberhasilan itu kini, pesonanya mulai luntur sehingga dapat hidup mencari makan di Desa saja lebih sexy dari gemerlapnya Kota".
Edapkan mimipimu sebagai perantau dengan kadar keberhasilan tinggi. Nyatanya tanah perantauan juga ibarat tanah yang sama dengan desa, kita mencari makan di situ. Jika beruntung, mungkin dapat dikatakan kita sebagai yang berhasil.
Jadi apa bedanya dengan kondisi dari dalam Desa ketika demikian? Berhasil atau tidaknya pun hanya cerita kita sendiri mencari keberuntungan itu. Seperti tidak ingin kebanyakan teori "keberuntungan tidak bergantung pada kota.
Di manapun asal mau berusaha, kita dapat beruntung baik di Desa maupun di Kota. Kembali lagi, pertanyaannya adalah bagimana kita menjemput keberuntungan itu? Mungkin pertanyaan seperti ini yang seharusnya menjadi dasar melangkah ke kota atau tetap tinggal di Desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H