Merantau pada abad 21 ini seperti indah dalam kekhawatiran itu yang berjubel dalam semesta pikirannya. Ibarat bunuh diri jika merantau tanpa sertifikat pendidikan tinggi, keahlian, atau sanak-sodara siap dalam setiap akomodasi baik tempat tinggal, atau kebutuhan akan akses kerja di sana "dalam Kota".Â
Aku kira inilah yang bukan ajang, dari setiap ajang permainanan kesuksesan itu di tanah rantau. Semua butuh modal terlebih dahulu, seperti cerita babad alas penduduk Desa yang bermukim satu kompleks wilayah suatu Kota. Karena ada sesepuh disana membutuhkan banyak tenaga dari Desa, kemudian mereka beranak pinak disana lalu menjadi kampung keduannya.
Hanya membawa diri tanpa bekal dari desa, aku kira yang menyaiakan kenyataan dalam impian itu. Kompetisi kota, perlunya relasi, dan bait-bait perekrutan kerja yang menuntut itu membuat "membawa diri tanpa bekal merantau mengadu nasib pada kerasnya kota hanya akan menjadi pesakitan impian keberhasilan indah kisah merantau ke Kota bagi manusia Desa".
Kota bagi manusia Desa bukanlah suatu genggaman yang menjamin mudah diraih sekejap mata. Meskipun narasi indah itu akan kesuksesan manusia Desa di Kota masih berkobar hingga saat ini, apakah mereka itu yang tidak membekali dirinya hanya modal nekad semata?
"Aku kira, tidak segampang itu anak muda! Keadaan terus berganti sama seperti pabrik-pabrik industri yang mulai hijrah ke desa-desa dengan tujuan mengurangi biaya tinggi produksi dalam kota".
Ada begitu banyak faktor lain merambah berhasil di kota. Impian kota bagai kolam keruh yang mengundang banyak Ikan di sana. Tetapi kenyataan itu begitu dengan mirisnya terdengar bahwa, kota kini hanya taman bermain sembari mencari makan bukan pencari impian kekayaan bagi manusia desa.
Saat ini tidak lebih hasil berkelana di kota hanya dapat untuk mencukupi kebutuhan makan hidup sehari-hari. Sewa tempat tinggal harga membawa rupa, apa lagi dengan membelinya disana, menjadi sesuatu yang berat ketika permintaan lebih sedikit dari ketersediaan hunian.
Tetapi tidaklah menjadi salah "engkau" yang terbuai dengan narasi beruntung mereka yang "beruntung" itu di Kota. Aku juga mengira, jika kau yang beruntung, kau dapat tidak hanya bisa makan di kota.
Pulang Ke Desa dengan nama besar akan pula kau dapat dari lelahnya perjuanganmu di kota. Ini bukan sesuatu yang mustahil seperti meteor yang dapat jatuh ke bumi, semua mungkin saja.
Tetapi, lihat dan lihatlah mereka yang pulang ke desa membawa sekedarnya, hanya bingkisan dari kantor sebagai bawaannya. Bukankah itu yang dapat menghalau impianmu yang besar-besar itu? Untuk berharap pada tanah rantau yang hanya akan membuatmu menjadi perantau tanggung, dengan asal bisa mudik ke Desa meskipun tidak membawa apa-apa?
Seperti keberuntungan yang memilih manusia memang, ada kalanya berhasil harus diraih sebagai barometernya jauh-jauh dari Desa. Tetapi lihatlah para perantau tanggung itu sekali lagi, adalah upaya mengutuk kerasnya menjadi kaum perantau kota.