Mimpi itu seakan tidak pernah hadir kembali. Terus terang disini aku mencoba mengingatnya kembali. Ah, rembulan sampai kapan kau tetap menampakan batang hidungmu? Seperti mimpi esok pagi yang harus aku isi. Tidak berhenti-berhentinya petir itu menyambar, tetapi mengapa hujan tidak kunjung turun? Tadinya petir itu suaranya begitu dekat, namun ia terus menjauh dan nyaris tidak terdengar lagi.
Kini aku ingin bertanya apakah yang sudah tidak sesuwai lagi dalam hidup ini? Terbaring lemah, sepertinya karya sastra hanya menjadi khiasan kini, tanpa perlawanan, tanpa sidiran dan tanpa kata-kata yang patut untuk dipikirkan.
Ya, mengingat masa lalu, tidak pernah ada gunanya, memikirkan masa depan apa lagi? hanya akan membuat gila pada akhirnya. Tetapi sastra ini perlu untuk di isi, perlu juga ada kalanya melihat masa lalu, apa lagi tentang masa depan yang menarik itu? Menarik yang sebetulnya sama sekali tidak menarik.
Apakah kini sudah tiada lawan lagi? Tulisan-tulisan itu, upaya perlawanan dan sejarah turun ke jalan membela kepentingan rakyat. Aku lihat kini, seakan organisasi-organisasi jalanan rakyat sudah tiada lagi. Tentu suara mereka nyaris tidak terdengar lagi seperti petir yang suaranya menghilang.
Menjadi segudang pertanyaan kita, kini rakyat melawan siapa? Lagi-lagi mereka melawan kekuasaan politik yang sah secara konstitusional, "yang kita pilih sendiri". Kini tidak ada lagi sosok yang dilawan itu. Penyair mulai kekeringan karya, sastrawan berkutat dengan dirinya sendiri, tetapi apa lah daya politik bagi seorang seniman saat ini? Tidak ubahnya seperti kata Semaun murid tjokroaminoto, "hanya komedi omong" dan ingin aku tambah lagi, politik menjadi "hura-hura" yang hanya menjadikan "huru-hara".
Ketika politik itu terbangun atas kehendaknya sendiri, mau bilang apa lagi para seniman? Rumput-rumput masih menghijau disana. Memang tidak ada lagi kini di antara siapa melawan siapa. Nyatanya kau dan aku dihadapkan pada kenyataan sendiri yang mulai menikmati semua ini. Mobil-mobil dibakar, rakyat-rakyat tidak berdosa berdarah-darah, ekonomi rakyat sedikit melumpuh.
Ya, sejarah bangsa kita seperti bukan bangsa-bangasa beradab lainnya. Kekuasaan politik sangat dan paling menarik. Orang-orang dari dulu sudah tidak peduli membangun kreativitas, DNA kita adalah melawan pada kekuasaan, titik tanpa koma. Lantas ketika kekuasaan itu terbangun atas kehendak kita, terus kita akan melawan siapa lagi? Kekuasaan politik lalu, dan ke depan, tetap akan menjadi kekuasaan politik orang-orang itu juga.
Kapitalisme? Liberalisme? Komunisme? Atau isme-isme yang lain, sisi teologisme dan demokrasi mungkin? Sama saja, kita melawan bagian dari kita sendiri. Pemikiran berasal dari rakyat, dan kita akan melawan pemikiran itu melalui rakyat? Manakah yang menjadi rakyat kini? Semakin buyar dan berujung dengan abu-abu.
Jika kapitalisme? kini bukankah kita sedang berbulan madu dengannya? Barang-barang mudah di dapat. Kita dapat bekerja meskipun gaji kecil. Ini kelihatan memang sama sekali tidak adil, tetapi kita sadar bahwa; kita punya potensi Kaya asal, mau, semangat dan giat bekerja, lebih krusial lagi "hemat" tanpa berkorban apapun.
Kini kita sedang menikmati kebebasan walaupun norma-norma sebagai bebas harus tetap di terapkan. Bebas bicara bukan berarti bebas ngomong apa keluarnya omongan. Kita bukan lagi diatur berbicara oleh negara, tetapi diatur oleh kepatutan berbicara. Ungkapannya adalah liberal, kita bebas secara pribadi menjadi apa, asal kita mau.