Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Karyawan, Belajarlah pada Manusia Pengangguran

8 Mei 2019   11:26 Diperbarui: 9 Mei 2019   13:24 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber; pixabay.com, illustrations/tekanankerja kantor membuat stres

"Manusia pekerja, menjadi manusia pengangguran itu sangat perlu, untuk tahu rasanya menjadi manusia paling bebas sedunia"

Hal yang paling tidak membebaskan adalah keterikatan manusia dengan pekerjaan di abad 21 ini. Terlebih kita bekerja untuk orang lain dan hasilnya dibayarkan melalui orang lain. Rasa-rasanya kita bekerja itu harus sesempurna mungkin, tanpa cacat sedikit pun. Tetapi sebagai karyawan yang dibayar untuk bekerja, seakan kita tidak bisa berbuat apa-apa dengan kasus semacam itu. Sepertinya karyawan diciptakan untuk patuh dan sempurna sebagai manusia pekerja.

Merujuk pada penelitian-penelitian yang ditulis di media-media masa tentang, pekerjaan yang dilakukan generasi milenial diteliti cukup akurat. Mungkin karena usia saya masuk dalam generasi itu, jadi saya memperhatikan lebih tentang hal-hal yang berkaitan dengan generasi milenial. Salah satu penelitian mengungkapkan bahwa generasi milenial tidak bahagia dengan pekerjaannya? Saya juga salah satu dari orang yang tidak bahagia dengan pekerjaan  saya saat ini.

Untuk mempertanyakan masalah saya sebagai karyawan, tentu yang tidak bahagia dengan pekerjaannya, saya pun membuat survay kecil terhadap rekan-rekan seperjuangan saya. 

Dari satu hingga sepuluh, rata-rata juga sama seperti saya, "tidak suka atau tidak bahagia dengan pekerjaannya". Alasan mereka beragam dari yang gaji kecil hingga tanggung jawab yang besar minim apresiasi. Kebanyakan dari mereka sudah mulai ancang-ancang akan keluar dari perusahaan kalau ada pekerjaan yang lebih baik, atau membangun usaha sendiri. Rata-rata dari mereka ingin pekerjaan yang lebih baik, dan menjamin masa tuanya.

Jika ditelaah lebih dalam memang kelihatannya miris. Ketika pekerjaan sulit di dapat, justru kebanyakan yang kerja tidak bahagia dengan pekerjaannya. Dunia sepertinya akan terbalik, "terbalik karena kerasnya tahan rasa kehidupan manusia pekerja" melanjutkan eksistensi hidup dengan perihnya kerja berserta tanggung jawabnya.

Saya terkadang juga berpikir, salah satu upaya bereksistensi hidup manusia adalah bekerja. Saya juga sadar pekerjaan pun mengganggu kebebasan eksistensi kita. Terkadang sayapun bertanya bagaimana menyeimbangkan itu? Apakah hidup manusia modern harus seperti ini? Ya sudahlah, sepertinya mungkin dunia diciptakan untuk begini membuat sengsara para kelas pekerja.

Menjadi karyawan sepertinya memang minim harapan. Bahkan ketenangan jarang sekali didapatkan. Saya mengira setiap level manajemen mengalami hal yang sama. Dunia kerja tidak ada gaji besar, "tanggung jawab kecil". Semakin besar gaji akan semakin besar pula tangung jawabnya. Bahkan rata-rata orang bergaji besar, jika sebagai karyawan setiap waktunya adalah bekerja.

Mungkin pilihan bekerja sebagai karyawan adalah suatu nasib yang harus dibayar. Tetapi bukan tidak mungkin nasib itu dapat diubah. Rasa beratnya untuk berubah, ketika hasil dari bekerja kita habis untuk kesenangan mengobati ketidakbahagiaan kita sebagai pekerja. 

Kalau sudah seperti itu, mungkin akan menjadi karyawan selamanya? Kemungkinan karena ia tidak punya pilihan lain dari hasil uang yang dikumpulkan untuk merubah nasibnya, seperti berwirausaha yang harus dengan modal.

Pengorbanan untuk perubahan sepertinya memang perih seperih karyawan berjuang menggalang modal untuk berdikari. Sebagai karyawan memang harus pantang bilang akan indah pada waktunya. Waktu pun tidak akan bisa menjamin para karyawan-karyawan lebih baik hidupnya. Kedepan ekonomi semakin bebas, modal adalah hal utama dalam perjalanan ekonomi.

Jika tidak pandai sebagai karyawan yang punya penghasilan memberdayakan untuk jadi modal, sudah pasti kita karyawan akan kalah secara ekonomi dimasa depan. Tetapi, jangan ada ungkapan kalah, manusia adalah kebebasan dari dirinya sendiri. Ia dapat memilih apapun untuk dirinya senidiri termasuk berhenti untuk bekerja sebagai karyawan

Jika bosan jadi karyawan, belajarlah pada manusia pengangguran
Rasanya memang tepat lagu leyeh-leyeh yang dinyanyikan oleh Arum Khotifah WS untuk mendefinisikan pengangguran. Salah satu lirik lagu terebut menerangkan bahwa; "pengangguran adalah seseorang yang tidak kebagian pekerjaan". Kemudian kegiatan seorang pengangguran di isi dengan bersantai-santai seakan menikmati kehidupan.

Saya tidak sependapat jika, pengangguran hanya di definisikan tidak kebagian pekerjaan saja. Ada banyak sebab dimana seseorang memilih menjadi pengangguran. Salah satu yang terkuat mungkin benar, "tidak kebagiaannya pekerjaan". Namun kita tidak boleh mengesampingkan alasan-alasan lain dari seseorang yang menganggur.

Umumnya selain dari tidak kebagiaannya pekerjaan, manusia pengangguran juga di dasari oleh beberapa sebab seperti, pekerjaan yang dikerjakaan tidak cocok lalu kemudian memilih untuk menganggur lebih dulu, atau mugkin karena seorang pekerja lelah dengan setiap beban yang disebabkan oleh pekerjaannya. Dan yang mungkin paling logis adalah menganggur untuk menunggu pekerjaan baru dengan harapan baru. Tetapi apapun itu, menjadi manusia penganggur juga ibarat manusia pekerja memperbaiki mental untuk semangat dalam mencari kerja kembali.

Banyak orang menganggap manusia pengangguran merupakan suatu hal yang negatif. Mungkin kalau sudah berumah tangga yang, sehari-harinya memerlukan uang untuk mencukupi setiap kebutuhan-kebutuhannya, kata negatif merupakan hal yang tepat. Karena banyak keadaan merugikan yang ditimbulkan, bukan hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga pada orang lain. 

Menjadi tidak tepat, ketika seorang yang belum mendesak membutuhkan uang seperti "lajang" disandangkan dengan berbagai konotasi negatif dari status manusia pengangguran itu.

Memang manusia yang memiliki pekerjaan lebih baik dari pada seseorang yang menganggur. Tetapi dimana baiknya ketika kita dihadapkan pada masalah hidup yang pelik ditimbulkan dari pekerjaannya itu? Apakah kita harus terus bertahan dengan ketidakcocokan kerja yang bisa membuat diri kita semakin setres? Mungkinkah menjadi tepat bila, kita lelah bekerja tetapi nyatanya tidak bisa menjawab setiap kebutuhan-kebutuhan yang ada, disebabkan oleh menjadi karyawan dengan gaji dari kerja yang kecil?

Saya-pun dahulu berpikir, seseorang yang bekerja itu merupakan manusia mandiri, tetapi apakah mandiri juga harus berani menjadikan dirinya tersiksa dan tidak bahagia? Jika bekerja adalah kebutuhan, apakah ketenangan lepas dari beban kerja itu bukan kebutuhan?

Belajar dari manusia pengangguran, bukan berarti kita bersantai-santai tanpa berpikir bagaimana caranya bisa makan. Keadaan menganggur adalah waktu yang tepat untuk istirahatnya jiwa seorang manusia pekerja. Kebutuhan untuk makan merupakan kebutuhan yang harus dicari setiap orang. Tetapi apakah sebegitu tersiksanya seseorang mencari makan itu?

Apa mungkin kita menjadi cinta dengan apa yang membuat kita benci yaitu, "pekerjaan yang mengekang waktu dan kebebasan kita"? Menjadi manusia pengangguran adalah hal yang perlu untuk menghargai diri. 

Jika memang mencari makan harus melewati segala problematika kerja yang ada, seperti tidak adanya kebebasan, bukankah kita bebas menentukan diri kita sendiri dalam hidup ini? Kita harus bebas menetukan kapan waktunya untuk bekerja sebagai karyawan dan kapan waktunya beristirahat sebagai pengangguran.

Manusia modern merupakan manusia yang tidak bebas karena pekerjaannya, "itulah tesis pendapat menurut saya sebagai kariyawan atau manusia pekerja". Berapa jam yang dibutuhkan waktu kerja dalam seminggu? Setahun? Atau seumur hidup? Banyak waktu yang terbuang untuk itu, dari sekian banyak waktu itu, apakah kita menikmatinya?

Belajarlah tentang arti kebebasan dari manusia pengangguran yang tidak memiliki ikatan kerja waktu tertentu. Kehidupan memang pilihan, tetapi pilihan semua orang adalah bisa selamat hidupnya, tidak susah dan merasakan kesulitan. Lihatlah orang-orang bergerumun disana, sedang apa mereka menerka-nerka dengan seriusnya nasib hidupnya? Bekerja sebagai kariyawan kok gali lobang tutup lobang? Ya, belajarlah sedikit dari manusia pengangguran, agar keseimbangan hidup dapat ditentutkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun