Apa tidak terlalu sayang ketika kita dapat lalu dihabiskan untuk jangka waktu itu juga? Sebenarnya jika dilihat mungkinkah kita menjadi sederhana ketika yang dilawan adalah diri kita sendiri? Tidak sesederhana itu, "lebih mudah melawan dunia dari pada melawan dirimu sendiri".
Perlu berjangka untuk melawan diri sendiri. Ada proses belajar yang harus ditempuh setiap pribadi. Melalui perjalanan ini, semua di buat berpikir dengan rasa. Bagaimana jika kelak diri ingin memperhentikan dirinya sendiri untuk tidak terikat dengan sesuatu yang tidak disukainya lagi oleh diri? Banyak keterikatan dengan diri yang selama ini dijalani, jelas: secara langsung adalah beban bagi dan dari diri itu sendiri.
Bukan menjadikan diri sebagai penumpuk hasil dari pendapatan yang lupa dalam menikmati. Namun apa yang tidak berhenti dari diri sendiri? Kebutuhan untuk makan tidak akan berhenti dari dalam tubuh yang hidup. Lalu bagaimana ketika modernitas hidup juga menyandramu dengan kebutuhan yang ingin bersanding denganmu? Bukankah itu sebuah masalah yang akan hadir berikutnya "jika diri ingin diam memanjakan atau menenangkan dirinya sendiri dari setiap kebutuhan-kebutuhan ingin itu"?
Untuk bekal, ketika berhenti dan ketika sudah kau dapat, apa yang akan kau lakukan untuk diri dan tubuhmu? Ubah dan mulailah curiga pada dirimu sendiri. Tidak ada yang sederhana dalam perjalanan cerita bahagia dan derita batin yang terbangun secara individual. Terus terang, hidup dunia hanyalah perkara menyiapkan. Semua dibuat menyiapkan apa yang butuh dari diri ini baik saat ini atau saat yang akan datang.
Sedangkan masa hidup sendiri adalah masa baktimu yang tidak akan bisa engkau ingkari. Belajarlah untuk bagaimana mengatur hidup dan waktumu juga kebutuhan-kebutuhan yang akan kau butuhkan dihari berikutnya. Mungkinkah suatu yang glamor dan memboroskan merupakan bagian dari cara hidup dirimu sendiri? Seperti kata pepatah, ia berkata "Meyederhanakan hidup dengan menahan itu ciri seorang yang rugi, jadi nikmatilah apa yang kau dapat tanpa memperdulikan esok". "Jangan pernah menjadi orang yang takut dengan dunia, rezeki pasti ada yang memberi".
Bukan juga untuk takut tetapi apakah kita akan bergantung kepada yang memberi itu? Ketika sudah diberi dan diri mengolah pemberian akan lebih baik dari pada, diberi dihabiskan dan selalu mengaharap kepada sang pemberi itu sendiri. Yang terjadi selanjutnya adalah "ketika harapanmu kurang, kau meminta lagi, terus meminta dan memohon". Seakan kaulah manusia yang telah diperlakukan dengan tidak adil oleh sang pemberi. Padahal jelas, engkau yang tidak adil dengan apa yang kau dapat untuk .
Memang seperti terlihat tidak menikmati hidup, juga terkesan kau tidak peduli dengan dirimu sendiri untuk bahagia, bisa membeli apapun yang kau suka. Tetapi hidup juga seperti angsuran yang telah ditetapkan waktu. Manusia hidup butuh kredit poin sampai sejauh mana dia bisa bertahan dikala tidak bisa menghasilkan dari kegiatan hidupbya. Itu semata untuk jaminan ketakutannya, "sebagai seorang yang berinsting hidup selamanya sebagai manusia".
Maka dari itu olah-lah yang telah kau dapat untuk kredit poin diwaktu yang akan datang. Perkara mati, "itu hanyalah proses, dan kau akan selamat dari kebutuhanmu sendiri ketika hidup". Jadilah perencana baik bagi sang pemberi dalam hidupmu. Bila kau yakin terhadap sang pemberi, jangalah memberatkan yang memberimu dengan terus meminta, memohon dan menyalahkan. Biarlah ia memberi yang lebih sulit hidupnya dari dirimu, sang pemberi tidak butuh apapun, hanya minta yang di beri tetap berencana agar tidak meminta-meminta lagi.
Oleh karenanya, aku memang harus berhenti dari dalam dimensi kefanaan ini. Aku ingin berhenti pada keinginan-keinginan yang berat untuk aku jangkau. Rasanya sudahlah, aku berdamai saja dengan rasa cukup dalam diri dan hidup ini. Untuk menjadi tenang, tanpa beban dan tanpa banyak keinginan harapan yang memuakan pikiran tentang kehidupan.
Seakan aku tidak lagi menjadi diri sendiri ketika, "aku di buru keinginan". Setiap orang pasti punya rasa ingin, dan itu sangat wajar sebagai manusia. Namun menjadi pertanyaan, apakah keinginan itu memberatkan? atau keinginan itu wajar? Tidak ada yang tahu, hanya diri kita sendiri yang mampu menjawabnya, memang ia benar ingin, atau hanya kebutuhan yang seharusnya kita penuhi?
Banyak keinginan, banyak harapan rasanya hanya akan menambah beban kehidupan. Untuk meniadakan keinginan dalam hidup ini rasanya sudah tidak mungkin. Seseorang yang hidup pasti punya keinginan termasuk juga, "menginginkan tetap hidup itu sendiri". Tinggal pertanyaannya, apakah kita ingin hidup atau butuh hidup? Bukankah kita ingin hidup dan butuh berbahagia menjalaninya? Tanpa pikiran yang memberatkan? Juga menghilangkan nafsu egoisme yang medidihkan hati kita?
Semua bagaimana diri kita membentuk semuanya. Pikiran ada kalanya candu membentuk keinginan-keinginan yang lahir dari luar dirinya sendiri. Menyamarkan apa yang menjadi kebutuhan dari dalam diri sendiri. Juga egoisme yang terkadang berhenti mendadak dalam hati menginginkan diwujudkan tanpa kompromi. Tetapi, ketika kita menjadi diri sendiri, kita tidak terpengaruh dengan semua itu. Kita akan tahu mana sesuatu memang yang benar-benar kita butuhkan bukan kita inginkan.
Semua realitas keberadaan kita adalah kenyataan dari diri kita saat ini. Ternyata, kehidupan hanyalah setitik ilusi pikiran-pikiran ini. Apa yang kita pikirkan merupakan apa yang kita inginkan sekaligus juga apa yang kita butuhkan.
Namun ketika pikiran kita berhenti, itulah "nyata dibalik kata-kata indah pikiran kita". Semua kosong, pikiran tidak lagi membentuk, tidak ada ingin dan tidak ada butuh didalamnya. Rasanya eksistensi kita seakan inginnya hening saja, setiap waktu dalam kehidupan kita!
Memang hingar-bingar diluar sana menggoda diri kita. Harapan kemapanan, kebahagiaan dan penghormatan status kehidupan. Namun dari semua itu, apakah itu hal yang kita butuhkan? Cukupkah nanti ketika sudah kita dapat semua itu?
Terkadang karena egoisme kita melupakan segalanya. Melupakan apa yang sudah kita punya, apa yang harus kita jaga, dan apa yang harus kita bangun bersama untuk kebahagiaan kita selanjutnya. Keinginan yang terlahir dari egomu tidak akan pernah bisa menjaminmu kedepan. Ego hanya sesaat, hanya ketika dia ingin dia harus ditunaikan sebagaimana dia bekerja untuk diri kita.
Ketika keinginan ego terpenuhi, pasti akan terus ada keinginan-keinginan selanjutnya. Karena manusia tidak pernah puas, adakalanya iri melihat diri yang lain, nasib yang lain, pencapaian-pencapaian diri masyur yang lain. Orang yang Bijak pernah berkata, "redamlah keinginan, jika kau ingin bahagia dalam kehidupan". Iya, benar, seorang yang ambisius dengan sikap apa yang di ingininya pasti, "hidupnya akan gemrungsung dan tergesa-gesa".
Bahkan kurangnya kesadaran untuk mengoreksi kembali tentang diri, sekiranya apa yang akan ditujunya dalam menjalani hidup ini? Biasanya seorang ambisius padanganya hanya keatas, "hanya melihat keberhasilan orang lain, tanpa sebelumnya mengukur dirinya sendiri". Ambisius juga mereka yang tidak mau melihat orang-orang yang mempunyai nasib dibawahnya,"orang yang kurang nasibnya bila dibandingkan dengan keadaan hidupnya sendiri".
Maka hiduplah dengan cara bersyukur pada diri kita sendiri, "yang indah", "yang mapan", "yang mempesona", belum tentu membuat rasa nyaman hidup kita. Terkadang kita hanya beradai-andai, ingin segalanya tetapi tidak sadar bahwa; apa yang kita sudah punyai sekarang ini haruslah di jaga, dibangun untuk di indahkan bersama.
Kesengsaraan, kebahagiaan dan kenyamanan dalam hidup, "bukanlah dari diri orang lain". Semua dari dalam diri kita sendiri. Kita menanam pasti kita akan memanennya, "gampangannya untuk kita dan dari kita". Kita kaya, kita cukup dan kita kurang ukuranya ada dalam diri kita sendiri. Banyak orang yang berkelimpahan hidupnya, "harta banyak" namun tetap merasa kurang.
Begitupun dengan yang apa-apanya kurang, namun dia merasa cukup dengan apa yang dia punya. Hidup kaya atau hidup miskin hanya diri kita yang dapat mengukurnya. "Kurang bila kita merasa kurang", "cukup bila kita merasa cukup", "lebih bila kita merasa lebih".
Jalani hidup dengan cara yang baik, belajarlah dan jadilah diri kita yang baik sebagai apapun diri kita hidup di dunia ini. Sebagai manusia, takdir kita sudah digariskan oleh yang maha kuasa, "sang pencipta". Maka dari itu, "berpikirlah yang benar", "berperasaan yang benar", "berkata yang benar", dan "dalam berbuat pun harus  benar".
Yang mencemari orang hidup hanyalah, kebencian, keserakahan, iri hati, fitnah dan juga kebodohan. Bersenantiasalah menjalani hidup sebagai murid kehidupan, juga guru kehidupan bagi diri kita sendiri. Supaya kita paham bahwa: "rasa itu satu, berasal dari sumber yang  sama". Belajar dalam memahami tujuan kehidupan pun sebagai diri kita masing-masing, karena sejatinya semua berasal dari yang satu, dan akan menjadi satu. Dari-Nya, kita pula kembali juga kepadanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI