Perasaan sangat layak untuk dibunuh tetapi mengapa ia terus hidup dan berubah-ubah? Rasanya setiap kali merasa ada korban rasa lain yang harus dibayar. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari pada rasa ini. Aku ingin berlau, dan benar-benar ingin berlalu. Usik dan terusik hidupku seperti terusik rasa yang tidak berkesudahaan.
Harus seperti apa perlawananku ini? Memang benar orang lain adalah neraka. Mereka menyusahkan orang-orang yang merana dalam batinnya. Aku raba dan terus aku raba rasa ini. Sedikit-sedikit menyembuhkan dengan menulis. Apakah gerangan disana tertawa melihatku ini? Dimana hay kau yang adil, yang kuasa dan yang berbelas kasih? Tidak mau kah kau sentuh diriku dengan kelembutanmu? hay kau yang katanya penyayang?
Mungkin aku harus merenung lagi, harus tenang lagi dan harus mampu melupakan lagi. Saat-saatku busuk, ternoda bahkan kasian. Tetapi aku sama sekali tidak mau dikasihani. Kini aku berjuang, bukan hanya mencari nasi, tetapi juga mencari tenang dalam hidup ini. Mereka adalah kesemuan, palsu dan terlihat indah namun buruk. Ya sudahlah, "aku harus lebih menikmati lagi sebagai aku".
Melelahkannya rasa ini sepertinya ingin mati dalam rasa. Aku seperti si sakit jiwa tetapi belajar selalu waras. Oh, rasa yang membunuhku, aku pun ingin menikam dan membunuh engkau kembali. Tenang dan menenangkan, kalut, "tetap akan menjadi kekalutan".
Aku ingin tidur malam ini lebih cepat demi membunuh rasaku sendiri. Jiwaku seperti tidak berarti lagi. Hidup dipenuhi rasa sakit merana di dalam batin, namun pancaran akan sadar pengetahuan ini menyelamatkanku. Akan ada cahaya di dalam gelap itu, mencari tenang memang sulit, sesulit menyembunyikan perasaan diri sendiri.
Tidak ada ungkapan pasti dari rasa itu. Dia rasa, "mempunyai cara sendiri menyiksa dan membahagiakan dirinya sendiri". Yang sehat adalah mereka yang terus tenang tanpa beban rasa di dada dan hatinya. Namun tidak mudah membebaskan itu, kau harus pergi jauh-jauh melampaui bayanganmu sendiri. Menyepi di dalam hingar-bingar gemerlapnya hidup.
Yang terpasti adalah mati, jodoh pun dengan kematian. Hidup ini seperti menunggu mati, "mati untuk tenang melanjutkan hidup baru lagi". Tidak akan ada alasan untuk menyarah, di dalam keadaan ini.Â
Tidak ada pula alasan untuk tidak melawan kehidupan ini. Setan dan malaikat adalah kotoran imajinasi yang palsu. Lambat laun pretensi mereka hilang menjadi kita dan diri kita sendiri. Hidup bersama rasa memang meilukan seperti pilunya kekalutan yang ada didalam diri ini.
Jika aku bisa terbang? akan aku terbangkan diri ini. Jika aku bisa mematikan diri? aku akan mempercepat mati demi hidup baru itu. Hidup ini melelahkan, tetapi apa yang harus kau perbuat? kau sudah mengetahuinya. Sepertinya untuk membunuh hidup bukan kau untuk mengakhiri nyawamu tetapi, "kau harus membunuh imajinasi dan setiap angan-anganmu sendiri yang secara tidak sadar mematikan dirimu sendiri dengan buayan romansa superioritas palsu".
Disore ini aku seperti angin, terbawa, riuh dan mengalir di dalam ketidaktahuan. Aku masih terdiam bahkan berkali-kali berdiam. Aku merasa aku harus melakukan sesuatu. Ya, keputusan yang harus aku tuju, "antara singgah dan terus bergerak melaju".
Bau dupa ini sesekali menenangkan hatiku. Rasanya harus dengan apa lagi menjadi tenang dan bersemangat menjalani hari? Oh, kedaimaian, aku menunggumu disetiap waktu, di sini aku masih terjebak dengan anganku, "angan-angan yang menggelisahkan aku". Aku sadar bahwa hidup adalah kepamrihan yang harus dijalani. Aku pun mengira, menjalani hidup tanpa pamrih itu hanya omong kosong belaka.