Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kesunyian Hidup Seorang Pemikir

2 Mei 2019   15:54 Diperbarui: 4 Mei 2019   18:02 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang tidak bisa disangka hati lelaki, sekeras apapun tetap akan jatuh juga kaerna wanita. Mungkinkah aku tetap menjadi pemalu yang menyiakan kesempatan? Rasanya kali ini adalah yang terbaik, kesempatan datang tanpa diduga meskipun gagasan sebelumnya telah sampai ke sana . Namun lagi-lagi aku adalah sibebal yang tak tahu arahnya. Juga tidak tahu cara mengawalinya.

Romansa ini rasanya sayang untuk dilewatkan, namun dapatkah aku memanfaatkannya? Oh sibebal yang tetap gelisah! Hidupku memang keras, aku mengawalinya sejak dini. Tetapi aku sadar didalam kekerasan akan terkesan kelembutan, bahkan segudang kelemahan-kelemahan yang harus diterima.

Aku lemah dihadapan romansa kehidupan yang penuh dengan derita dan bahagia. Bahkan rasanya aku tidak berpihak pada keduanya. Sendiri merana mengais-ngais belas kasih imajinasi dalam diri. Mau tidak mau, segelas air romansa kehidupan harus aku telan. Membuat sesuatu yang baru haruslah dilakukan. Entah mau bagaimana akhirnya? berani atau tidak berani? gagal atau berhasil? hancur atau terbangun?

Malas, bahkan tidak peduli romansa untuk dimulai. Seakan menjadi kutukan baru dalam hidupku. Terheran-heranya adalah di dalam hatiku pun menginginkan romansa yang indah, bahagia dan penuh harapan.

Setan rasanya ingin aku kutuk masa jayanya dikehidupanku, kau gelap dan selalu menjadi kegelapan. Akan aku tengok matahari untuk memulai yang baru dengan sadar-sesadar-sadarnya demi romansa kehidupanku. Hay, Kau yang terang bersinar lah didalam sianarnu menerangi hatiku. Aku tunggu di persimpangan jalanku menentukan hidupku. Oh, kau yang terang seakan ingin ku tulis dengan pena cinta di kehidupanku.

Aku begitu heran, bahkan di usiaku yang mau mengajak dua puluh lima tahun aku masih tersesat. Malam ini aku merasa tidak melihat bintang kembali. Yang aku lihat adalah gumpalan awan kecil hitam membentuk persegi panjang. Setahuku malam ini aku harus tidur lebih pagi lagi, persetan dengan besok pagi. Tetap saja rutinitasku memanggil kembali seakan tidak pernah selsai.

Terkadang disetiap malam menuju pagi, pertanyaan ini datang. Dimanakah aku akan menentukan masa depanku? Bagaimanakah pelabuhan terbaik untuk ku ? Setiap pertanyaan ini datang menggelisahkan aku tentu saja.

Bulan apakah kau mendengar ku? Kulihat kau mengkilap bagaikan emas permata, akankah kau kapal yang bisa aku tumpangi untuk sama-sama mengarungi hidup ini? Ternyata kembali aku berpikir, apakah bulan juga sama sepertiku sedang gelisah malam ini? Ya ampun kita seperti saudara yang tidak saling mengenali sebelumnya.

Semakin hari rambutku semakin mengeriting, wajahku semakin pucat pasi. Bahkan hampir setiap hari aku mengutuk hari. Dimanakah tempat yang nyaman itu? Tunjukan lah dimana? Jika aku bertanya pada orang-orang apakah jawabnya? Rasanya orang-orang itu bingung juga menjawabnya. Ah, yang tidak bertepi ini dimanakah kebenarannya? Kau sungguh sial yang beruntung.

Aku terlelap di kamarku yang panas. Sesekali menyalakan kipas angin yang agak mengangguk. Tidak nyaman sekali angin ini, aku berhentikan kipas itu dan badanku panas lagi. Apa mau dikata malam pun tak konsisten dengan kesejukannya. Di sebelah terdengar orang sedang mencuci piringnya. Hmm, apa itu juga upaya manusia mengutuk hari? Oh, rasanya kebenaran semakin nyata saja jika seperti itu.

Saat malam hari ini terasa panas, gagasanku seakan hilang sedari kemarin. Hariku adalah sejengkal kerjaku. Mencari uang, membelanjakan barang, dan mengumpulkan uang lagi seperti itu terus. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun