Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menulis Lentera Jiwa dalam Realita

1 Mei 2019   19:40 Diperbarui: 1 Mei 2019   20:14 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hati ini rasanya tak ingin bergetar lagi. Sepertinya titik kebekuan baru akan muncul pada akhirnya. Tetapi apalah daya mimpi dari langit ini, maksud sudah di ungkapkan oleh  bumi, hanya saja mungkin "semesta baru bukanlah pelabuahan manusia bebal untuk kali ini".

Mengapa ada tanya dibalik kata? Terburu-buru, terbawa yang lain, seakan hati dan pikiran ini terintimidasi, bertanya dan bertanya lagi, waktunya mungkin akan datang. Semua terlihat misteri, tak terungkap dan cenderung melunak, pikiran seakan dibawa pergi, hati seakan dibawa mati.

Ingin rasanya kegelisahan ini disandarkan, pada kapal-kapal, pada kayu-kayu, pada setiap pertanyaan. Kehadiranya bak api, membakar diri, membakar sukma, membakar singgasana tubuh yang terjera. Seakan meledek, membuat berpikir akan romansa kegelisahan yang abadi, terbaui kedalam alunan nada yang indah, sesuatu yang telah pergi tergapai begitu jauh.

Planet Mars seakan jauh lagi, seperti Astronot yang tegelam lautan kegelapan, sebatang kara, tanpa tujuan. Bumi planet yang aneh, akar angan - angan, akar hujatan, dan akar-akar orang-orang yang berpengharapan. Teriris lagi sayap sayang ini, di mana damai dalam bumi? Bagaimana caranya damai dalam angan, dalam hayal, dan damai dalam refleksi ungkapan perasaan yang agung?

Sukma ini mengeruh, merengek ingin bertapa, siang hari, malam hari dan pagi hari. Tentang yang mengutuk hari-hari mereka, mecoba merubah nasib, mengejar khayal dalam mulia sebelum waktunya. Huh, udara yang seakan tertelan, sesak di dalam dada, nafas panjang ini, tenanglah para jiwa-jiwa yang bingung, tersesat bahkan terjebak pada akarnya sendiri.

Selingan dari nada membuat jiwa menari tanpa beban hati, menghayati, suara-suara nan jauh dari sana. Mereka yang di takdirkan menderita, hidup dalam represi, menghayalkan terbang bak burung-burung dari arah sana. Hari yang tidak akan pernah berakhir, akankah kau mengakhiri dirimu pada setiap takdir-takdirmu?

Tentang pertempuran kala itu, mencari digdaya, mengabaikan manusia. Lirih suara tangis dalam hatinya, terkubur setiap harapan-harapannya, berharap dunia akan lebih baik. Ternyata hanya mimpi-mimpinya yang kalah dengan arogansi, keserakahanya dan kebesaran nama hatinya. Dalam benaknya, mengungguli istana lagit, megah, glamor dan bisa menyihir siapapun yang tertarik didalamnya.

Lagu kedamaian tak berhenti digaungkan, lagi akan gagalnya dua insan, retak, sakit hati, penghianatan yang membekas, membakar luka, dan menuntut dendam. Semua kegelisahan terbentuk jiwa-jiwa yang tak termaafkan, maka itu maafkanlah segenap dengannya, apa adanya, sendiri walaupun dibatas yang sunyi.

Suara panggilan masih terdengar, rengekan kesendirian, wanita-wanita butuh cinta, jiwa pria-pria butuh tempat bersandar, anak-anak butuh tempat mengantungkan kehidupan yang baru, akan dijalaninya. Air janganlah dibiarkan terus dan terus mengering, pangan-pangan yang harus dijaga, sandang papan yang harus dibangun tanpa kepalsuan.

Surga yang didambakan, jadilah nyata dalam realita, dalam kata-kata yang terharapkan, kedamaian bumi, ketenangan jiwa. Kita sambut masa depan mereka orang-orang Suriah, orang Irak dan orang-orang yang gelap matanya pada dunia. Pertempuran politik, pertempuran geng, pertempuran para anggota organisasi masyarakat, sudahilah atas nama cinta dan kasih.

Membuat hati yang hidup tidak bergetar lagi, mati dalam rasa, ubahlah untuk menyambut hidup baru, harapan baru dan upaya-upaya untuk menjadi baru. Persodaraan tanpa henti, tanpa memandang yang lemah dan kuat, seperti harmoni, antara kau dan aku yang bahagia selamanya. Memandang indah anak-anak kita, masa depan mereka, dan senyum-senyum tanpa kegelisahan yang menghadang.

Kita dapat membayangkan apapun, mebayangkan keindahan, kebaikan bahkan keburukan yang akan ia kehendaki. Begitu juga ketika kita membicarakan ide-ide. Tidak ada ide yang kecil, semua ide besar, bahkan semua adalah kebaikan untuk sang pencetus ide itu sendiri.

Bayangan tentang apapun memang baik, bayangan juga memenuhi harapan kita yang akan datang. Begitupun tentang Ide-ide dimunculkan untuk tahu bagaimana cara kita menjemput harapan itu. Namun terkadang ketika bayangan dan ide itu menyeruak dalam batin kita, seakan kita lupa pada apa yang harus dirasakan saat ini, apa yang dibutuhkan saat ini dan apa yang bisa dibangun dari saat ini.

Membayangkan dan menciptakan ide jauh ke masa depan membutuhkan energi yang besar. Terkadang energi yang besar itu juga memberatkan diri kita. Habisnya waktu untuk berpikir, untuk membayangkan dan untuk menciptakan pengharapan-pengharapan baru yang masih tanda tanya. Lagi-lagi semua ini akan menjadikan diri tetap berkutat pada diri sendiri.

Nantinya ketika bayangan dan ide bekerja melampaui dirinya, hasrat kita terbawa jauh kedepan, ego kitapun juga menginginkan untuk melampaui. Keadaan inilah yang membuat kita tidak pernah selsai dengan diri kita sendiri. Selamanya hanya akan ada rasa ingin dan ingin yang tidak akan pernah selsai. Jika hal itu disadari seakan kita jauh dari hidup pada saat ini. Saat dimana kita sadar akan waktu kita, keadaan kita dan kesadaran kita.

Kita akan kehilangan saat-saat berarti kita seperti kenyamanan dan kebahagiaan yang bisa kita ciptakan saat ini. Juga memunculkan ide yang jernih, membayangangkan hal-hal yang diprioritaskan untuk jangka dekat tanpa terkatung-katung egoisme masa depan juga masa lalu. Kadang jika dipikir lebih tenang, menyelasikan masa lalu lebih penting ketimbang berpikir lebih jauh kedepan. Dengan catatan kita punya masa lalu yang menganjal dan membayangi langkah kita saat ini.

Menjalani hidup memang berwarna-warni, banyak pilihan jalan. Entah mau seperti apa hidup kita tergantung bagaimana maunya kita. Berkutat dimasa lalu, saat ini, juga masa depan. Kecemasan, kuwatir dan takut mungkin sudah bawaan sifat dari insting kemanusiaan sejak leluhur kita. Wajar kuwatir pada nasib masa depan nanti, menakuti hasil apa yang diperbuat dari perbuatan masa lalu, maupun cemas terhadap hasrat-hasrat terpendam saat ini. Tetapi bagaimanapun hidup, kita adalah kontrol bagi hidup kita sendiri. Keputusan mau seperti apa kita, ada pada diri kita sendiri.

Meskipun jika dirasa-rasa terjebak dalam masa manapun itu pahit. Bahkan tidak sedikit harus dengan penderitaan dan ilusi menjalaninya. Tetapi jika semua disyukuri lebih dalam dan dinikmati prosesnya semua terjadi secara tidak sadar. Kita merasa tiba-tiba sudah sampai sejauh ini. Rasanya hidup adalah kesempurnaan yang indah apa adanya. Dan kehidupan selamanya akan seperti menarik lagi, dunia tempat kita tinggal merupakan tempat belajar dan bertumbuh setiap makluk-mahkluknya, antara kita, dia dan mereka.

Tetapi ada apa dengan pilihan? Rasanya memang tidak lagi masuk akal tentang mereka yang betah akan segala penderitaannya. Terpikir apa yang mengelabui sehingga mereka betah akan hal yang tetap dideritanya? Apakah ia tertutup akal sehatnya? Bagikan teka-teki pada siang hari, benderang, terlihat, tetapi tetap dilakukan.

Tidak jarang sang penderita sebelumnya sudah ditentang, bahkan diacam untuk mengamankan penderitaanya oleh orang-orang disekitarnya. Namun ia bebal seperti tertutup awan, tetap dilakukan dan tetap pula menderita. Yang menjadi teka-teki memang selalu tidak masuk akal. Tetap bertahan meskipun hidup dengan pesakitan.

Aku memang tidak berperan tetapi semua hal tentang penderitaan mengandung sejumlah perhatian. Bagaimana sang penderita tetap mempertahankannya? Sekali lagi tidak masuk dalam akal. Sepertinya penderita seperti dikutuk alam, alam dunianya sendiri. Yang pasti tak akan bisa dinalar bahkan dipelajari dan tidak bisa pula terkatakan.

Mungkin dalam hal ini aku akan mengutip petuah lama dimana akan sengsara jika tidak nurut dengan orang tua. Memang semua tidak akan bisa terbantah, tetapi ketika hal membutuhan suatu hal untuk berbicara. Ketika ketiadaan orang dekat hadir seperti merana didalam dunianya sendiri. Manusia adalah makluk yang butuh orang lain yang tanpa perlu menjelasakan. Ketika hubungan saling membutuhkan Ia dilawan akan menguap bagai es yang meleleh ditelan gelap.

Setidaknya semua hanyalah pelajaran bagi yang mau belajar. Dunia seperti sempit, beban rasanya ada didalam dada namun terkadang orang yang dekat selalu meringankan dada. Kini malam ini akhirnya datang, Aku menulis diatas jembatan dan dibawah terangnya bulan. Oh yang ada didalam derita cukuplah penderitaan ada karna kita menyadarinya dia ada, bisa dihindari, dihayati bahkan dinikmati ketika ia memang nikmat.

Tidak selamanya awan akan terus kelabu, cahaya pasti akan datang. Setidaknya jika memang surga terlalu jauh untuk ditempuh keberadaannya, harapan haruslah selalu ada. Berharap bahagia, dan berharap lagi kedamaian menyertai hidup kita. Untuk suatu gairah dan semangat menjalani semua aral dan rintangan keberadaan kita, untuk kita dan demi kita.

Orang terdekat adalah pelita, bahkan sanggup meringankan beban derita, ketika susah mereka selalu ada merangsang tangungjawab karna merekapun bercerita hanya orang terdekatlah yang mereka punya. Terkadang orang lain juga menjadi derita tetapi orang lainpun dapat mengubur derita.

Dititik ini aku tumbuh, menerjang apa yang seharusnya kuterjang. Lara memang, namun kau lihat bagaimana tentang orang-orang yang tidak kuat jiwanya. Mereka bukan diri mereka bahkan lepas dari apa yang mereka sadari.

Musim kemarau ini mebuat udara lebih dingin, tetapi apakah ia merubahmu cukup sejengakal dari saat ini? Yang tergoda jiwanya, apakah kau sadar akan dirimu? Ini akan sulit bahkan jikalau apa yang kau harapakan tak secuilpun nyata dalam kehidupanmu.

Rasanya cukuplah kau bermain dengan dirimu, harapanmu, dan kenyataanmu. Orang-orang diluar sana memang ada kalanya menertawakanmu, tetapi apakah kau cukup kuat akan hal ini? Tersisih memang tidak akan enak dalam kenyataan ini, tetapi kesadaranmu akan membawa ada hidup yang lain. Sungguh miris terasa teralienasi oleh hidupmu sendiri.

Kekuatanmu kini diuji untuk teruji, seberapa hebatkah hati dan rasamu sendiri? Akankah kau kuat? Atau bahkan kau menjadi kalah dan lemas terlunglai oleh kenyataan? Ini hanyalah kata tetapi kata-kata bukakah doa juga? Kenyataan rasanya sulit kau telaah sendiri, menulis itu perlu untuk mencurahkan rasamu.

Aku memang tak peduli tentang bagaimana aku menulis. Mungkin aku mencoba menjadi sibebal yang berteori, menulis untuk terapi jiwa, di mana jiwa memang perlu dikelola agar dia bekerja sesui dengan misinya, menjadi kuat bahkan teruji oleh kehidupan.

Suasana hati yang berubah-ubah perlu untuk diketahui, jika tulisan bisa mengubah suasana hati, mengapa masih bertanya pada kenyataan yang berbeda? Bukankah kenyataan akan terus ada seperti adanya keberadaan? Ya, sudah terlalu lama kita berharap kenyataan untuk menjadi milik kita.

Berpikirlah semua akan berlalu, berangsur hilang tanpa kata, tanpa makna. Hiduplah dengan caramu, menjadi apa kamu yang sebenarnya. Jika semua harus berbeda dengan harapanmu, anggap kau sedang tersesat dalam goamu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun