Tak perlu membaca tulisan ini dengan begitu rumit. Aku hanya menenangkan pikiranku sejenak malam ini. Aku mengunggu sesuatu yang belum datang tetapi sudah tertunggu. Seperti orang akan naik Haji kini, mendaftarnya 15 tahun lalu  tapi belum dipanggil-panggil oleh penyelenggara Haji. Mungkinkah aku harus bertanya satu per satu dari jiwa milyaran penghuni planet ini? Bukankah ini malah akan menjadi lebih absrud lagi dalam memandang cinta? Antara aku dan pikiraku, aku merasa, aku menjadi begitu liar, imajinasi ini, ah, absrud sekali pikiranku.
Pikiran tenanglah engkau ada dalam kendaliku kini "jangan pernah merasa sepi". Ini akan indah, menunggu waktu seperti embun yang hanya akan datang diwaktu pagi. Gunung-Gunung masih berjejer. Bukit-bukit masih memanjang sepenjang Himalaya di India. Lautan masih sering pasang, ada gelombang tinggi di lautan Pasifik. Bersenandunglah pikiranku, katakan kalau kau ingin istirahat. Akan aku berikan sebotol Bir diwarung pojok sana setelah terima gaji nanti. Agar kau lupa walau hanya sejenak memandang dan menunggu cinta.
Dalam buaian alam pikiran menunggu, ku seperti hayal yang terbang, tak sedikitpun aku mengerti pada akhirnya, saat aku sadar realita saat ini. Sepertinya khayal ini begitu jauh, ia tak terduga oleh siapapun termasuk kesadaran diriku. Mengapa aku melakukan ini, dalam khayal, merasa kuwatir pada apa yang akan didapat beberapa waktu kedepan, dalam benakku pentingnya hari depan. Sebenarnya aku hidup untuk apa? untuk siapa? mengapa aku melakukan ini semua? tak tergambar jelas? hanya rasa yang bicara? Aku harus melakukan itu?
Hidup bak melampaui jaman, terkadang menyerah pada pendapat yang abstrak, menggali susuatu yang belum ada. Tidak nyata, suara yang tersirat, bayangan ada dalam imajinasi, terasa, terasa, bagai pinang yang terbelah dua.
Dalamnya isi hati memang haruslah dibuka, keperluan kita untuk berada memang harus diputar- dibalikan bak permata sebagai senjata agar terjadi sinkronisasi antara kebutuhan prioriti dan non priority rasa manusia. Apakah aku akan menjadi sangsi pada akhirnya memandang cinta? Tetapi rasanya aku membutuhkan energi yang harus terlepas. Kembali pada pekanya sura hati adalah kebutuhan, dipilih-dipilih kemudian diputusakan mana yang harus dilarung dalam ketiadaan agar masih tercipta harapan untuk esok maupun lusa, "selamanya".
Tulang ini kecil bak pakan Anjing yang sudah tidak dinginkan lagi, berpikir dan berpikir lagi agar tulang ini tetap ada juga dapat terus menyala "selamanya". Yang kecil akan habis jika tak disisihkan. Entah kapan suara-suara ini akan terbunuh pada akhirnya. Seperti dalam gua yang gelap, seakan yakin ada cahaya yang menuntunnya kembali ke arah pulang. Hanya peran, "peran yang tidak bisa direlakan kenyataannya". Menjadi khayal, seakan itu yang nyata, biarlah hilang, hilang dalam rasa yang menyelinap dalam relung kalbu.
Keadaan seperti menyangga beban, beban pada apa yang dinamakan keabstrakan hari depan memandang apapun termasuk kebutuhan cinta. Nikmati dengan sembrono, di ikuti bak rel kereta yang tidak akan habis di makan onta-onta dari timur tengah.Tentang keabsrudan, biarlah ia berjalan sebagaimana ia ingin berjalan. Dibuat bertanya, mengapa tak hidup saat ini saja, dengan tidak adanya seseorang pun yang tertarik padaku. Tetapi mengapa cahaya selalu ada, dalam khayal masa depan harus "lebih baik dari ini"? Meskipun tetap tidak diinginkan kenyataannya tetapi kebutuhan menyangkalnya.
Tebakan rasaku sepertinya bidadari akan datang pada waktunya, meskipun saat ini adalah bebal adanya. Bersiap menyiapakan apa yang bisa aku siapakan, aku tunggu engkau Bidadari yang khayal dalam kenyataanku. Meskipun idaman hanyalah ilusi, setidaknya aku ingin menjadi ketika "kau terima apa adanya aku dan keberadaanku". Aku bisa sehebat awan, aku bisa setegar bumi, aku bisa menjadi awal dari segala bentuk khayalan-khayalan tingkat tinggimu itu.
Berbaringlah kau yang tertunggu, dimanakah cahaya kilaumu? Bidadari penyelamat rohani. Pantaskah kau ditunggu seperti pantasnya khayal-khayalku yang menjadi kompas dalam hidupku? Mungkinkah akan nyata dalam mimpi buram ini? Tersenyumlah seperti engkau melupakan sisi egoismu, bidadari masa depanku! Bermain cinta pada wanita dalam kesendirian sangatlah memilukan. Aku ibarat dibuat dilema oleh konsep dan angan-angan diriku sendiri. Sebenernya cinta sangatlah buruk terhadap orang yang hidupnya sendiri. Bermain cinta yang baik haruslah hidup bersama melakasanakan cinta yang ada bersama.
Malam menyendiri bermain imajinasi. Besok seakan lupa dan bagaimana harus mempernyatakan imajinasi itu. Rasa malu memulai tampak lebih tidak nyata dibanding imajinasi sendiri. Aku seperti kemakan konsep dan imajinasiku sendiri. Ini tidaklah mudah, aku benci sekali cinta dalam kesendirian ini. Kian hari perasaan seperti membunuhku saja. Bukan tak mampu untuk menyelami cinta di realitas aslinya. Tetapi logika terkadang tidak sampai, bagaimana memulainya? Kesendirian memang ibarat neraka namun mengundang cinta ketika sendiripun bak di dalam neraka.
Perasaan memang liar, mencari apa saja termasuk kuasa dan gemerlapnya nama. Namun yang harus dimengerti adalah kebaikan tidak selamanya baik, dan buruk bisa saja menjadi baik. Banyak kisah pilu diluar sana berawal dari konsep realitas yang baik. Sudah aku mengerti; bahwa yang baik-baik akhirnya berujung buruk pada akhirnya menjadi tontonan biasa dalam drama realita. Bisa jadi yang buruk seperti kesendirian pun akan baik pada akhirnya. Setan tidak akan berada didalam keadaan yang buruk dan malaikat tidak akan berada didalam keadaan yang baik.