Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kekolotan Manusia sebagai Abnormal

23 April 2019   19:35 Diperbarui: 24 April 2019   08:37 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin ada yang terlewati. Mengapa manusia sedikit tahu tentang diri dan orang lain? Yang saya coba pahami, manusia tidaklah statis akan keadaannya. Manusia berubah ketika keadaannya terancam. Bisa terancam karena akan dirugikan atau terancam kehilangan peruntungannya. Semua dilakukannya semata untuk membela diri dan segala jenis kepentingan-kepentingannya. Manusia membela setiap peruntungan diri dan penghindaran kepada keadaan terancam yang akan merugikannya, "tentu ini adalah kebenaran".

Berangkat belajar memahami diri saya sendiri, dan setiap segala perubahan sikap-sikap yang ada. Saya akan memulai memahami diri, "saya sebagai manusia dalam konteks pekerjaan". Semua orang tahu bahwa setiap orang butuh pekerjaan untuk menopang segala unsur dari kehidupannya termasuk dari segi penghasilan. Dalam hal ini, berkarya juga dapat diartikan sebagi panggilan hidup manusia. Tidak lebih semua demi kepentinganya dalam menjalani hidup ini.

Didalam sebuah pekerjaan dihadapkan pada tugas untuk apa dia bekerja. Semisal; seorang tukang becak mau tidak mau harus mengayuh becaknya mengantar penumpang kemanapun tempat yang sebelumnya sudah mereka sepakati. Semua orang tahu tugas dan tanggung jawab, Tukang Becak tugasnya yaitu mengantar penumpang sampai tujuan. Yang seharusnya kita amati apakah Tukang Becak itu bisa berubah keadaannya? Saya katakan bisa, karena yang menjadi pertimbangan untuk Tukang Becak itu bekerja bukanlah soal jarak yang keduanya sudah disepakati, bukan pula karna tanggung jawab kerja yang ada. Dari banyak hal itu, ada juga hal-hal yang bisa mempengaruhi perubahan keadaan  Tukang Becak itu sendiri.

Perubahan pertama adalah maukah dia sepakat dengan harga perubahan yang ditentukan antara si tukang becak dan pelanggannya? Saya kira tidak semudah itu sepakat. Yang pasti ada tawaran-tawaran harga dimana dia dapat untung akan pekerjaanya itu. Perubahan kedua adalah perasaan tidak terima dengan tanggung jawab yang ada. Contohnya seperti ini, "baikalah, karena sang tukang becak butuh uang atas jasanya mengantarkan pelangganya, mau tidak mau dia harus mau mengantarkan meskipun dengan upah murah".

Dengan keadaan mau tidak mau itu sang tukang becak akan merasa bahwa dirinya diperlakukan tidak adil, tentu karena dia dibayar tidak sesuai dengan hasil kerja yang dihasilkan. Disinilah perubahan itu dimana dia akan berpikir bagamana jika berganti profesi, atau mungkin dia berubah mengurungkan niat, karena dia sayang akan tenaga untuk kerja yang dihargai sangat murah. Perubahan ketiga adalah setiap manusia selalu berpikir harapan untuk menjadi baik, oleh karena itu jalan apapun ditempuh untuk kebaikan dirinya sendiri.

Tukang Becak bisa berubah kejam dengan tidak secara langsung mengancam pelanggan untuk terima apa yang di inginkan tukang becak itu. Adapun sebaliknya tukang becak bisa menuruti apa kata pelanggan dan mengantarkan demi sebuah tanggung jawab kerja. Dengan berbagai problematika itu, yang ada yaitu muncul kontradiksi dari berbagi pihak antara pelanggan dan sang Tukang Becak. Mereka menyisakan insting dalam membela dan melindungi diri demi kepentingannya masing-masing yang sama-sama ingin diuntungkan. Sipelanggan untung jika membayar murah dan situkang becak jelas mengalami kerugian.

Kini saya pun menyadari setiap orang dapat berubah. Terpasti perubahan seorang manusia bak binatang pemangsa dan yang dimangsa. Saya mengira selama masih manusia tidak ada manusia yang suci karna semua berdalih pada keuntungan dan tidak maunya ada kerugian. Kita semua membela diri masing-masing. Membela diri untuk mempunyai kuasa dan melindungi diri untuk tidak dikuasai.

Masihkah kita percaya buta pada figur penguasa politik yang adil dan peduli rakyat kecil? Atau kita masih percaya pada filsuf-filsuf yang hanya ingin nama besar untuk dirinya sendiri? Mungkinkah kita masih percaya nabi-nabi, dewa-dewa dan sejenisnya yang pada intinya hanya bertujuan untuk di istimewakan umatnya saja? Jika mereka masih berbadan manusia sikap kebinatangannya masih mungkin ada. Apakah kita masih percaya begitu saja pada eksistensi manusia kini?

"Mau untung dan tidak mau rugi itulah manusia". Orang lain bukanlah bukti yang terkuat meskipun sama-sama mengundang kebenaran yang sama. Lihatlah ego diri sendiri , kita pun berpikir demikian bukan? Ingin diuntungkan dan tidak ingin dirugikan? Demi untuk kepentingan kita sendiri. Manusia merupakan setengah dari binatang itu, cobalah menyadari dari diri sendiri.

Tidak pernah ada manusia suci didunia ini. Mereka adalah sama dengan manusia-manusia yang lainnya. Bukankah hidup untuk kepentingan diri kita sendiri? Kita lihat cara manusia setengah binatang berpolitik, beragama dan mencapai surganya. Merka dan kita ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan kita maupun kelompok kita. Realitas memang selalu benar dan saya mempertanyakan kesucian mereka yang diagung-agungkan banyak orang untuk setiap kepentingan-kepentingan. Tidak ada orang suci karena keberpihakan mereka yang tersisa hanyalah seberapa besar keuntungan untuk diri sendiri. Diri manusia berubah karena kepentingannya yang hanya mau diuntungkan dan tidak mau dirugikan.

Ketika hatinya sedang gundah, dia terus mencoba memafaakan dirinya sendiri namun itu sulit baginya untuk memaafkannya. Karena merasa pintar dan yakinnya dia terjebak pada satu penderitaan yang seharusnya bisa ia tidak terima. Beginilah dunia terkadang kau tak perlu percaya siapapun bahkan yang kau anggap baik itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun