Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Cara Mensejahterakan Petani?

22 April 2019   14:35 Diperbarui: 27 April 2019   15:30 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi diambil dari id.techinasia.com/ Petani sedang mengakut padi hasil panen

"Ketika kau minta harga beras murah tetapi ingin petani sejahtera, logikanya dimana? itu tidak akan pernah sampai, terkecuali pemerintah lewat bulog secara konsisten membeli harga gabah tinggi, bukan niscaya beras dapat murah, Petani sejahtera".

Dengan sedikit sesal dan menggerutu "tetangga" bicara pada saya waktu itu. Masa panen adalah masa yang paling ditunggu para petani, bisa saya katakan, jika setiap hari panen, mungkin kesejahteraan akan menjadi milik para petani. Namun sayangnya tidak setiap hari panen. Petani harus menunggu lama untuk memanen tanaman padinya, paling lama empat bulan sampai lima bulan sekali panen.

Waktu untuk panen sendiri yang begitu lama, belum masa pasca panen tanah sawah dikelola, traktor-traktor sudah bersiap menyulap tanah menunggu di jalan raya. Ya, tidak bisa ditanam jika tanah sawah tidak di kelola untuk diolah tanahnya terlebih dahulu. Sembari menunggu tanah siap ditananami, para Petani mempersiapkan bibit-bibit padi. Tentu dengan banyak biaya dan butuh tenaganya lagi untuk mengolahnya kembali.

Dalam masa tanam sendiri, membutuhkan waktu sekitar satu bulan lebih, itu bila traktor-traktor kerjanya tidak tersendat. Memang teknologi traktor sangat membatu petani, saya mengira akan lebih lama lagi ketika itu dilakukan secara manual oleh petani. Tetapi sebagai catatan efesiensi tenaga petani berarti ada nilai harga yang harus dibayarkan oleh petani. Disini meskipun traktor tidak butuh makan, traktor butuh solar dan operatornya butuh juga untuk makan.

Traktor bukanlah barang yang gratis, bahkan jasa traktor bantuan Pemerintah pun petani harus membayarnya. Meskipun traktor pemerintah haragnya lebih murah jasanya, tetapi tidak jauh perbedaannya, selisih sekitar sepuluh hinggi lima ribu rupiah dari sewa jasa traktor dari milik pribadi. Untuk merawat tanamannya saja pra penanaman banyak membutuhkan biaya dan juga tenaga. Pupuk yang harus petani beli, ditambah ketika ia tidak bisa mengerjakannya sendiri dan harus dikerjakan buruh tani, bertambahlah lagi biaya oprasional petani.

Banyaknya biaya yang harus dikeluarkan pasca panen untuk menyongsong musim tanam yang baru, membuat petani sangat menyesal jika harus menjual padinya ketika panen tiba. Harga gabah yang murah menjadi dasarnya, kalau petani butuh uang mau tidak mau harus tetap mereka jual untuk memenuhi biaya tanam baru yang akan tiba. Panen seharusnya dapat membuat mereka "petani" bahagia dengan hasilnya, namun justru malah menambah beban pada rasa yang tidak pernah habis.

Masih untung ketika tidak ada sangkutan hutang pada masa tanam sebelumnya. Jika itu ada hutang, habislah petani. Menjadi logika dasar petani, ketika panen surplus untuk memenuhi kebutuhan makan selama menunggu masa panen kembali, "surplusnya lah yang dijual untuk menutupi biaya oprasional pasca panen". Namun menjadi naas jika masa tanam sebelumnya mempunyai hutang untuk oprasional. Tidak jarang gabah untuk memenuhi kebutuhannya ikut dijual juga. Bukan hal aneh saat ini "bertani tetapi tidak punya gabah".

Berbagai masalah itu, menjadi petani era industry maju memang harus disiasati dengan teliti juga benar-benar dipikiri. Bukan apa, menurut saya profesi bertani merupakan pekerja dengan pendapatan yang tidak setabil, cenderung tidak pasti, dan jangka waktu untuk memperoleh bayaran dari hasil kerjanya paling lama dibanding pegawai lainnya. Terlebih jika harga gabah murah seperti saat ini, kebanyakan hasil kerja keras mereka tidak dibayar. Panen hanya cukup untuk makan dan membiayai tanam padi itu sendiri pada masa berikutnya. Pertanyaannya begini, bagaimana mau sejahtera ketika gabah sebagai bayaran petani dihargai dengan begitu murah?

Memang dalam hal ini, saya menganggap tidak ada upaya serius dari pemerintah. Sejujurnya dengan APBN negara yang dihasilkan oleh pajak dari rakyat, dapat untuk mensubsidi petani dengan mensetabilkan harga gabah, bahkan untuk tindakan mensejahterakan petani dengan berbagai akomodasi subsidi, baik pupuk maupun alat produksi . Negara membeli gabah dengan harga mahal dan dijual murah menjadi beras kepada rakyat. Dalam hal ini siapa yang rugi? Itu kan namanya uang rakyat untuk makan rakyat?

Saya sebagai anak petani, menilai, bahwa pemerintah cenderung abai terhadap nasib petani. Menurut saya pemerintah tidak pernah peduli bagaimana petani harus sejahtera. Memang harga gabah dapat mahal tetapi ketika beras mulai langka dipasaran. Disini apakah petani harus menjual gabahnya ketika beras langka agar mereka sejahtera? Bagaimana biaya oprasional masa tanam ketika "modal untuk menanam dari hasil menjual gabah saat panen untuk  masa tanam berikutnya ?

Dengan tidak berimbangnya pemerintah dengan nasib petani, ditambah regulasi bisnis melalui tengkulak-tengkulak dalam jual-beli gabah petani masih dilakukan. Secara teori pasar, tengkulak  dijualnya kepada bulog? Ketetapan harga dari bulog saja belum mensejahterakan petani ditambah harus dikurangi nilai harganya oleh tengkulak? Bagaimana ini? Petani riwayatmu kini, mengapa hanya terus Listrik dan BBM yang disubsidi? Sedangakan engaku petani yang sangat membutuhkan subsidi.

Listrik dan BBM jelas mensubsidi yang sudah mapan secara ekonomi. Mengapa yang rentan miskin seperti petani justru tidak tersubsidi oleh negara? Mungkin beras juga dipolitisir oleh negara, dimana para pemegang kuasa adalah mereka para tengkulak beras dan politikus busuk yang bermain harga beras melalui lembaga bulog.

Ketika produksi gabah dalam negri melimpah, tengkulak/bulog membeli murah pada petani, lalu ditimbun. Stok mulai menipis diakar rumput, ia melepaskan sedikit demi seditik stok berasnya karna harga mulai naik. Begitu beras langka, semakin mahal harganya, mereka impor membeli dengan harga murah di luar negri, lalu dijual mahal di dalam negri dengan dalih mensetabilkan harga beras. "Petani malang nian nasibmu, sulit sekali negri ini mensejahterakanmu".

Cara keluarga petani mensejahterakan dirinya sendiri

Ketergantungan ekonomi petani pada gabah itu sendiri secara tidak langsung membuat ketidakpastian. Harga yang berubah-ubah karena mekanisme pasar membuat mereka "petani" bukan hanya harus pandai melihat pasar tetapi juga diperbanyak bersabar menunggu harga gabah naik.

"Jika Bapakmu seorang petani dan kamu bekerja di sektor industri yang setiap bulan gajian, subsidi-lah ekonominya sementara menunggu harga gabah naik, karena hanya dengan harga gabah tinggi mereka dapat sejahtera"

Mensubsidi "petani" bukan berarti sepenuhnya mencukupi kebutuhannya. Dalam ranah ekonomi keluarga, hanya petani yang hidupnya sangat efisien. Kebanyakan orang desa lainnya, keluarga saya pun terbilang efisen dalam menjangkau kebutuhan sehari-hari. Sayuran mengambil tanaman sendiri, padi juga menanam sendiri, hanya kebutuhan akan bumbu dapur, buah, daging itu yang harus dibeli.

Perkara buah dan daging tidaklah terlalu sering untuk dibeli, sesekali jika ada uang lebih baru membeli. Yang menjadi kebutuhan dasar itu dalam rumah tangga seorang petani adalah bumbu dapur, listrik, air PDAM dan kondangan di Desa. Masih terjaganya tradisi hajatan masyarakat desa sendiri membuat, "untuk kodangan seorang petani harus menyiapkan uang sebagai sumbangan yang sudah menjadi rutinitas setiap tahun secara turun-temurun dalam tatanan masyarakat desa".

Untuk itu jika tidak ada subsidi lebih dahulu dari anggota keluaraga petani, memungkinkan gabah akan terjual habis untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Belum lagi kebutuhan pupuk, biaya jasa traktor, dan tenaga jika sawah tidak terkelola sendiri oleh petani, dimana untuk mengerjakan sawah harus mempekerjakan buruh tani. Menjadi mending ketika dari semuanya digarap tenaga sendiri oleh petani, "biaya oprasional tidak begitu membengkak".

Seperti kebanyak petani di desa lainnya, bapak saya pun seorang petani yang tidak punya lahan. Lahannya sendiri didapat dari mengontrak lahan tergantung kesepakatan berapa lama sewa antara penyewa dan yang menyewakan. Disini kita dapat menyimak, untuk sewa lahannya saja dibutukan biaya yang tidak sedikit, maka dari itu bapak saya lebih suka sewa lahan dalam bentuk "gadai" lahan, "dapat menggarap sawah, uang balik".

"Namun untuk mengadai lahan dibutuhkan biaya yang berkali-kali lipat dari biaya sewa, inilah masalahnya. Juga tidak setiap yang punya lahan mengandaikan lahannya, tergantung ada kebutuhan mendesak, uang dalam jumlah besar. Biasanya yang punya lahan mengadaikan sawahnya karena himpitan biaya sekolah anak yang besar biayanya" mau tidak mau mereka harus menggadaikan sawahnya untuk menutup biaya sekolah anaknnya.

Dengan sikap saya yang rajin meneliti dan berpikir akan nasib diri sendiri maupun keluarga, bisa saya simpulkan bapak saya adalah petani yang terbilang "cerdas". Bukan saya memuji karena beliau bapak saya, tetapi yang saya puji adalah cara beliau bertani. Bapak saya tergolong petani yang kreatif, dari mulai tanam hingga panen beliau kerjakan sendiri. Jika itu dikerjakan orang lain, antara hasil panen dan biaya oprasional tidak akan sinkron, malah dapat merugi.

"Semenjak saya mulai bekerja sebagai kariyawan di salah satu perusahaan swasta Telekomunikasi, karena saya tahu cara beliau bertani, dengan kesadaran saya, rela uang tabungan saya dibuat untuk usaha dalam bidang pertanian".

Bukan apa, karena ekonomi keluarga tumbuh ketika bapak saya menekuni menjadi petani. Sebagai anak, sumbangsi untuk sehatnya ekonomi keluarga sangatlah dibutuhkan, ditambah saya masih lajang, belum butuh begitu banyak biaya untuk hidup.  Mungkin bapak saya berbakat menjadi petani, ada grafik meningkat secara ekonomi meskipun tumpuan ekonomi dari hasil bertani.

Sering dijumpai ketika tetangga banyak gagal panen, setidaknya bapak saya dapat balik modal. Tentu ini tidak lepas dari uletnya bapak saya menekuni profesi petani itu sendiri, mungkin bertani sudah menjadi bagian jiwanya dan misi hidupnya. Hampir setiap hari bapak saya ke sawah atau kebonnya mengurusi lahan, mungkin ia menganggap bahwa kebon dan sawah merupakan kantor kerjanya, sama seperti para pegawai menganggap kantor kerjanya sendiri.

Sisi kreatif "bapak" bukan hanya dibuktikan pada bakatnya saja sebagai petani, namun cara beliau bersiasat bagaimana mempertahankan gabah sampai harganya naik pun patut di acungi jempol. Masalah ekonomi petani adalah dihadapkan pada kebutuhan sehari-hari, listrik, kondangan dan air PDAM. Dalam hal ini saya memang tidak lepas terhadap bagaimana lajunya ekonomi keluarga, tetapi suntikan investasi saya hanya sebatas untuk membeli pupuk, jasa traktor dan kebutuhan besar sawah lainnya.

Untuk hidup sehari-hari cara kreatif bapak saja sebagai petani adalah menanam sayuran seperti Genjer di selah-selah tanaman padi, di pinggir bahkan mengembil berapa meter dari bagian lahan sawah. Tujuannya ketika tanaman itu siap untuk dikonsumsi, bapak saya jual, dan hasilnya dapat menambal kebutuhan ekonomi sehari-hari. Dalam saya berinvestasi untuk kebutuhan sawah, tentu ada hitung-hitungannya, bapak saya adalah penghitung yang baik, diluar kepala berapa jumlah uang saya yang di edapkan dalam oprasional usahanya.

Sebagai bagian dari keluarga, saya memang tidak peduli berapa keuntungan dari saya berinvestasi dalam bisnis pertanian bapak saya. Selayaknya ide sosialisme dalam keluarga yang kami bangun, uang saya bisa utuh, bapak saya tetap produktif, itu saja sudah menjadi aset yang berharga dalam upaya mensejahterakan keluarga kami. Saya percaya bapak saya, jika ada laba pun tetap dinikmati bersama, seperti untuk memperbaiki rumah, membeli barang kebutuhan rumah tangga, tetap semua dinikmati untuk kemaslahatan hidup bersama dalam keluarga.

Meskipun keluarga petani," kita tidak membatasi semesta berpikir kami". Semboyan keluarga kami "ekonomi harus maju bersama" untuk itu mensiasati dalam jalannya ekonomi keluarga menjadi penting bagi kami. Hidup saling bahu-membahu untuk mengisi postnya dan menjalankan funginya masing-masing dalam keluarga.

Saya menilai sistem solislisme kolektif masyarakat umum maupun kalangan petani sebagai tandingan sistem kapitalisme yang dijalakan Indonesia sebagai sistem ekonomi negara saat ini memang sulit diwujudkan. Tetapi dalam realitanya masih memungkinkan jika sistem ini dibangun dari ranah ekonomi keluarga. Terbukti dengan sebegitu banyak problematika yang di jalani petani oleh gagapnya sistem kapitalis yang tidak mampu maupun belum mampu mensejahterakan petani. Dengan berbagai bantuan subsidi dari ranah keluarga sendiri dapat menjawab berbagai tantangan tersebut "bertarung dengan sistem kapitalisme".

Saya yakin jika sistem sosialis dari ranah keluarga sukses dijalankan, saya mengira bukan hanya petani yang dapat sejahtera. Semua profesi dapat sejahtera dengan berbagai tantangan ekonominya. Dalam hal ini memang yang sedang saya jalankan bersama keluarga saya adalah "membahas dalam konteks menjadi petani".

Singkatnya, "jika sistem sosialisme kuat dari dalam keluarga petani, dimana saling bahu-membahu mensubsidi kebutuhan ekonomi antar anggota keluarga guna mempertahankan hasil produksi sampai harga gabah tinggi dipasar, saya kira keluarga petani dapat sejahtera". Memperkuat ekonomi keluarga petani bukan hanya dapat mengakomodasi setiap biaya ketika masa tanam tiba.

Lebih jauh dari itu, ketika dari ranah produksi petani "gabah" kuat dalam setiap pengotrolannya oleh petani, dimana tidak secara prematur dijual ke pasar, tengkulak maupun bulog ketika masa panen tiba, saya kira petani akan berdaulat dalam mengotrol harga gabah.

Petani yang berdaulat mengotrol produksi gabah ke pasaran secara tidak langsung akan menciptakan harganya sendiri. Kita tahu dalam jalannya ekonomi, "setiap dari kebanyakan barang harga pasti turun, ketika kekurangan barang, harga akan naik". Disinilah pentingnya kontrol petani dalam memasarkan gabahnya, karena ketika kontrol ada pada petani, sudah bisa dipastikan harga menjadi ketentuan petani. Ketika petani berdaulat, sejahtera bukan hal yang mustahil bagi para petani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun