Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memandang Pesimisme dan Optimisme

21 April 2019   10:18 Diperbarui: 28 April 2019   00:33 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi diambil dari simplegathering.wordpress.com

Tidak salah menjadi orang yang pesimis, hanya saja pandangan umum mengatakannya berbeda. Saya terkadang berpikir apakah mereka yang selalu optimis tidak punya rasa pesimis? Apakah karna pesimis itu buruk, sehingga ia munafik terhadap kepesimisan dirinya sendiri? Terkadang realitas memang ambigu tidak bisa membedakan antara persepsi umum dan persepsi reaksi fenomena nyata. Semua dikotakkan atas nama yang baik dan yang buruk.

Segala sesuatu mempunyai dasar termasuk sikap pesimisme. Menjamurnya sikap pesimis karna kehidupan berperadaban cepat sekali berubah. Standart-standar yang diterapkan oleh hidup semakin kedepan semakin tinggi. Tetapi ekspektasi pada hasil semakin buruk dan memupus sikap manusia itu sendiri terhadap realitas. Sepertinya memang benar adanya merayakan realitas dengan Euforia pesimisme memang perlu.

Manusia masa kini tidak bisa terhidar dari standart-standart yang tinggi. Masalah yang banyak menimpa para manusia kini yaitu dia pun belum mampu distandartkan oleh pendahulunya itu yang hidup asal dapat makan sudah cukup. Sangat sulit manusia kini bisa menstandartkan kehidupan dirinya. Pilihan yang tepat memilih suatu keadaan yang pesimis karna tidak ada pilihan baik, selain ketika optimisme tidak bisa merubah standart-standart keadaan menjadi lebih baik lagi.

Diluar sana banyak motivator memotivasi untuk optimis, tetapi apakah dia tahu makna optimisme ditengah kesulitan menaikan standart hidup yang bermain dalam ruang anggapan? Saya merasa terkadang optimisme yang mereka agaungkan hanya akan membuat muak manusia menerima kenyataan. Tidak ubahnya mereka adalah kumpulan orang yang hanya mampu berbicara dengan dalih mendapatkan apa yang dia mau melalui dana berbagai sponsor atau mereka para pembeli jasa motivator.

Saat ini merupakan peradaban dengan standart menipu, saya pun dengan sendirinya berpendapat, penipu-penipu itulah yang menggaungkan optimisme ditengah keterpurukan kita pada kenyataan yang semakin semu ini. Mereka banyak bicara tetapi nantinya diambilah keuntungan untuk dirinya sendiri memeras orang-orang mencoba optimistic dengan berbagai atribut dan barang produksi jualan mereka.

Setandar ganda ini membuat manusia gila akan kelanjutan dirinya sendiri "tetap pesimis atau berubah optimis". Menggapai standart hidup yang mana, ketika dia hidup tidak pernah berada pada standart menurut persepsinya? Sangat lucu bukan manusia berjalan optimis melupakan standart hidupnya yang sudah terjadi dan nyata? Kini para manusia optimistik semakin terasing dengan mencoba menaikan standart melalui keturunannya pada ide-ide motivator.

Saya menailai semakin manusia optimistik, semakin manusia lupa menerapkan standart-standart kenyataan itu. Lihatlah standart yang mana yang kini mereka perjuangkan dalam hidup mereka. Tidak lebih memperjuangkan yang bukan standart hidupnya sendiri. Rata-rata mereka mengharapkan kilauan emas ditumpukan sampah disamping tempat tidurnya.

Hari ini memang tidak akan berlaku besok, begitupun sebaliknya. Dunia sudah terlalu cepat berubah. Manusia harus berlari cepat dalam mengapai standart layak hidup di dunia ide-idenya. Muak dengan "optimism" tentang ekspektasi standar hidup yang tinggi boleh saja, namun pesimismepun bisa menjadi alternatif ketika semua terlalu sulit untuk digapai bersama kenyataan yang ambigu. Bertahan hidup memang sulit tetapi menyerah bukanlah pilihan, meskipun harus dengan sikap pesimis hidup tetplah harus dijalani mengalir bagai sampah yang berterbangan ketika angina putting beliung datang.

Disini "dunia" memang layaknya sebuah kompetisi hidup manusia itu sendiri. Semua orang mau menangnya sendiri kemudian menerapkan standart-standart hidupnya yang tinggi tanpa cacat sedikitpun. Keinginan semua orang kini hanya, mereka tidak mau tertandingi oleh manusia-manusia lainnya. Tanpa merendahkan apapun dan siapapun, semua tergiring membentuk standartnya sendiri. Standart tinggi dan rendahnya hidup manusia hanya akan menjadi problematika hidup yang tidak akan berkesudahan dikemudian hari.

Besok mansia sudah tidak percaya manusia lagi itulah yang terjadi. Dari masing-masingnya akan saling hancur-menghancurkan tanpa kompromi lebih dalam. Mereka yang punya standart rendah tertikam orang-orang yang tak mau standartnya disejajarkan dengan yang mempunyai standart tinggi. Konsep pembangunan manusia sama rata sama rasa pun terabai oleh kejamnya standart manusia era perniagaan maju.

Saya merasa seperti tidak ada era egalitarian dalam hidup. Sikap dasar manusia memang mebedakan dirinya dengan standart-standart sosial kebanyakan. Kini realitas yang ada merupakan sebagian dari golongan penindas dan tertindas. Kerangka sosial dibangun dengan pembagian kerja yang tidak berkeadilan. Kelas dibedakan, sebagai majukan atau pembantu dalam hidup.

Yang standarnya dibawah sulit merangkak ke atas. Sesekalinya merangkak dijatuhkan dengan daya beli yang tinggi. Ditengah mencari tempat yang aman dalam bersandar dengan tetap mempertahankan kelasnya, ia terus diserang subversi dari kelas sosial. Formulasi kelas "menengah" tetap berhitung menekan angka pengeluaran untuk tetap bertahan di kelasnya. Kelas "atas" ungkang-ungkang kaki dengan sedikit pancalan terhadap kelas-kelas dibawahnya untuk tidak bisa menyainginya. Mereka yang diatas menggelembungkan pundi-pundi ekonomi untuk semakin sulit tertandingi. Kelas "rendah" kehidupan mencoba mengais posisi mapan sebagai pelayan yang tidak bias tersaingi oleh mereka kelas rendah penganggur mencoba menjadi pelayan bagi mereka kelas diatasnya.

Tidak ada yang lebih menyedihkan selain terbawa perasaan. Setiap kali rasa itu tergugah selalu diahiasi pertarungan yang semu. Dia tidak ada tetapi persepsi yang mengada-adakan dia. Seperti ini memang terbalik, logika membalik-balikan konsep kesemuan. Bermain diruang anggapan memang membuat gila. Apalagi angapan itu berbanding terbalik dari realitas yang sebenarnya. Dunia memang ada dua hal antara realitas asli dan realitas bayangan. Tetapi banyak orang membaolak-balikan keadaan ini yang bayangan diaslikan yang asli di bayangkan.

Memang didunia ini tidak ada guru yang pasti, motivator di luar sana adalah gurauan yang nyata sebagai penghibur kelas. bahkan tidak ada satu orangpun pantas dijadikan guru motivasi itu terkecuali dirinya sendiri. Setiap orang adalah pembelajar, dia setiap hari selalu mengajari dirinya sendiri. Jadi guru bagi manusia adalah dirinya sendiri yang sedikit dapat menadi pesmis itu. Seharusnya manusia setiap hari berusaha bagaimana tidak terasing oleh dirinya sendiri. Tidak banyak yang tahu bahwa kehampaan pada diri merupakan tanda diri ingin mengenali dirinya.

Modernisasi jaman membuat banyak wahana manusia untuk lari dari dirinya. Tidak ada rujukan pasti disetiap jaman bagaimana beradaptasi dengannya. Hiduplah dengan cara kita, rasa kita dan kenyamanan kita. Keyakinan adalah buah dari sesuatu yang sebenarnya tidak diketahui namun seolah kita mengetahui dan membenarkan itu. Tetapi lagi-lagi rasa dan keyakinan merupakan kontradiksi. Orang tergila-gila dengan keyakinanya akan buta, orang terbawa oleh rasanya akan berkutat pada bayanganya sendiri.

Menjalankan hidup ibarat bermain dadu, bilangan apa yang diingini terkadang berbeda dengan apa yang diminati. Sesekalilah kau tertawai dirimu sendiri, bertarung dengan dirimu sendiri, dan kalahkan sifat manusiamu itu, mungkin itu akan lebih baik. Hidup seperti telah mempunyai keseimbangannya sendiri, pesimis dan optimis adalah ruang bermain yang semu bagi manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun