Kata "Bapak" dan "Ibu' bagi Jawa sendiri merujuk pada mitologi yang tidak tertulis dari narasi menjadi Manusia Jawa itu sendiri. Keluarga saya dari nenek memang masih memegang tradisi Kejawen. Itu dibuktikan dari setiap hari-hari tertentu sesajen selalu dibuat, misal hari Selasa Kliwon maupun Jumat Kliwon.
Bapak saya memang tidak seperti nenek saya yang kental akan budaya kejawen-nya. Namun dari setiap tradisi kejawen-nya sendiri masih dilakukan. Masih dengan Bunga dan Kemenyan ketika ziarah ke makam leluhur. Melakukan slametan ketika akan memulai membangun hajat dan mengungkapkan rasa syukur akan nikmat kehidupan. Terkait syukuran sendiri, ada teman yang bertanya kepada saya waktu diskusi beberapa hari lalu. Karena setiap pertanyaan dari teman saya mejurus pada kehidupan sosial manusia, saya-pun menjawab dengan pengertian kebudayaan.
Pertanyaan yang menarik, mengapa ketika orang berduka masyarakat Jawa tetap melakukan syukuran? Menurut saya mengapa tetap melakukan syukuran itu karena bagi masyarakat Jawa suka maupun duka harus tetap disyukuri. Kehidupan tidak akan memisahkan antara suka dan duka makhluk hidupnya. Bagi Manusia Jawa ini merupakan hukum Alam dari kehidupan itu sendiri. Tentu upaya Manusia Jawa mensiasatinya dengan syukuran adalah untuk supaya kejiwaan tetap positif dan berharap mengundang energi yang postif pula dari kehidupan itu sendiri.
Mitologi Jawa dan Pilpres
Budaya kejawen memang tidak lepas dari budaya mistiknya yang tinggi. Untuk itu titah Orang Tua menjadi sangat penting. Bapak saya di samping masih menjaga budaya Kejawen, ide-ide atau pemikiran kehidupannya sedikit banyak dipengaruhi budaya Kejawen. Ungkapan bapak saya tentang Jawa bagian timur adalah "Bapak" dan barat itu "Ibu" tentu banyak arti yang mendasarinya. Selayaknya "Bapak" ia adalah pemimpin rumah tangga, begitupun "Ibu" yang melahirkan kehidupan.
Pemahaman Bapak saya, mungkin pemahaman ini di ajarkan secara turun temurun oleh leluhurnya di bagian barat Jawa khususnya Mancanegara Kulon. Memandang manusia Jawa bagian Timur sebagai keturunan Raja-Raja Jawa. Oleh karena itu pemimpin (Raja) berasal dari Timur. Begitupun jika akan mencari ilmu, kita tahu, Yogajakarta adalah pusat pendidikan dan kebudayaan di Jawa. Belum dengan daerah timur Jawa yang terkenal kemajuan intelektual dan agamanya pada masa itu, dimana bangunan candi-candi megah banyak terdapat disana.
Mungkin karena pertimbangan ini, leluhur Mancanegara Kulon menganggap "bapak" Jawa bagian Timur itu. Memang masuk akal, pusat peradaban Jawa sendiri, dari Ibu Kota, Keraton dan sebagainya berada di bagian timur Jawa. Kita bisa menilik, banyak-kah candi ditemukan di Mancanegara Kulon? sangat jarang! Mancanegara Kulon merupakan sebutan bagi wilayah barat Jawa meliputi Keresidenan Banyumas.
Sebutan "Ibu" bagi wilayah Mancanegara Kulon-pun sangatlah rasional. Tanah yang subur di wilayah Kulon menjadikan bahwa Kulon adalah tempat untuk mecari kebutuhan hidup. Tidak heran jika; ketika orang Mancanegara Kulon akan mencari kepintaran ia ke arah Timur soan "Bapak". Begitupun ketika orang dari Timur akan mencari penghidupan kebutuhan hidup mesti soan "Ibu".
Bukan rahasia umum jika Presiden ke 2 Indonesia Soeharto sering bersemedi di Kawasan Gunung Selok, Cilacap. Tentang apa tujuannya, saya bukan ahli spiritual, jadi biarlah para ahli yang menafsirkan sendiri. Tentu jika saya boleh berpendapat selaku Manusia Jawa yang tajam intuisinya "tidak lebih Presiden RI ke 2 itu hanya meminta restu atau wejangan melalui kontemplasi untuk menggali energi Ibu kehidupan, bagaimana memimpin Negara"
"Gampanganya begini merujuk pada realitas hidup kini, kalau mau kuliah kita ke Yogakarta disana banyak Kampus, ketika kita bekerja, kita ke barat "Jakarta atau Bandung" disana banyak pekerjaan"
Bagaimana korelasi antara Pilpres dan mitologi Jawa? Tentu ini menariknya pilpres 2014 dan 2019. Dimana kedua calon tersebut merupakan keturunan Jawa. Tetapi yang membedakannya adalah, kita tahu Jokowi dari Solo, juga Prabowo ada trah dari Banyumas atau Mancanegara Kulon melalaui Bapaknya "Soemitro Djojohadikoesoemo". Menurut mitologi Bapak saya "Jokowi tetap Presiden".