Kita boleh berkaca pada Orde Baru yang sangat totaliter berkuasa saat itu. Kebebasan pers dibrangus, menakut-nakuti warga negara dengan penembakan misterius dan membantai kekuatan politik yang bersebrangan dengan ideologinya.
Saya kira ituluah bagaimana kepetingan berbicara. Subversi adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Untuk menjadi kelompok yang kuat memang harus menidas yang kelompok lemah. Semuanya adalah konsekwensi dari modernnya sifat hewan yang berpikir.
Upaya pengekangan baru-baru ini di Indonesia memang belum terllihat seperti Tiongkok. Tetapi memungkinkan menjadi seperti Tiongkok dimasa yang akan datang. Kelompok Agama Uighur menjadi isu yang santer beredar di media-media dunia khususnya dari dunia religious yang sama.
Komunisme secara politik disana masih kuat, begitupun kekuatan politik agama yang semakin kuat juga di Indonesia. Didalam bangsa manapun kekuatan kelompok dengan berbagai afiliasi ideologinya tetap mengancam hak hidup masyarakat sipil majemuk.
Bukan saja ingin berkuasa penuh secara politis, tetapi upaya penyeragaman agar masyarakat menjadi patuh. 'Kita bisa mengakaji bagaimana Indonesia majemuk tetapi mengagas wisata halal di Bali misalnnya". Tidak lain interpretasi saya adalah wacana tersebut merupakan upaya menseragamkan dengan "kelompok mayoritas berkuasa" saat ini.
Ketika "masyarakat" patuh mereka  menjadi langgeng dalam berkuasa. Maka dari itu mereka menutup ide-ide yang bermuatan politis lahir dari golongan lain. Bahkan wacana-wacana mempengaruhi intelektulitas seseorang agar tidak menjadi merdeka, tetap ikut tunduk atas nama perintah otoritas menjadi oprasi terselebung yang harus sukses.
Logikanya, seorang yang tuduk akan sangat mudah di intervensi kehidupan privatnya, itulah yang terjadi pada masyarakat Indonesia mutakhir. Dimana mereka sedikit agak loyal terhadap tradisi yang justru menjurus pada pengekangan kebebasan sebagai manusia.
Saya mengira upaya Partai Komunis di Tiongkok mengawasi penuh komunitas berbasis Agama Uighur tujuannya agar ruang berpolitik komunitas selain Komunisme tertutup. Begitupun dengan kekuatan berbasis Agama yang terus tambah semakin kuat di Indonesia.
Tujuan mereka sama "hanya afiliasi konten ideologinya yang berbeda". Adanya pembatasan-pembatasan itu, dan aturan irasional Masyarakat Teknologi "demokratis" menjadi tanda yang nyata bahwa; mereka ingin melanggengkan kuasa atas politik menjerumus kepatuhan warga Negara seperti apa yang mereka inginkan.
Di Tiongkok pemerintah anti sekali dengan paham isme-isme berbasis agama, disisi lain Indonesia-pun sangat anti dengan Komunisme, dimana menurut mereka komunisme berbasis"atheisme". Penyitaan buku-buku kiri, intimidasi berbagai kelompok yang mengacam kuasa, saya yakin kerap terjadi di kedua negara ini.
Tetapi menjadi pertanyaan saya, apakah di Tiongkok juga sama seperti Indonesia mebatasi ruang gerak masyarakat? Kita sama-sama tahu abad 21 adalah transisi dunia menjadi Masyarakat Teknologi. Dimana tidak akan ada identitas yang memisahkan Manusia, mengambil kata populer kini " cebong dan kampret tidak selamanya berseteru" di maya bahkan di nyata".