Terlepas bagaimana banyak orang memulainya, aku seperti akan menghela napas yang panjang. Memandang langit sendiri ada kalanya menyenangkan. Namun rasanya belum cukup mendung, menjawab ketidakpastian ini. Apakah keadaan ini akan selamanya? Jungkir lalu terbalik, sendiri, dan krumunan, bersama ataupun sendiri.
Sebagai seorang nihilis, memang ini tidak penting. Mungkin kata mengakhiri jika tiada guna akan menjadi penting akhirnya. Tetapi, nihil bukan berarti menjadikan ideologi pada kehidupan itu kosong. Ember yang kosong-pun harus di isi dengan air, tentu agar ia berguna, bahkan hanya untuk sekedar mencuci piring esok pagi di pelataran rumah sana.Â
Permulaan ini memang tidak menyadarkan, seperti bermimpi lalu menjadi besar saja. Secuil gelisah-pun begitu saja berlalu. Hanya saja, kehidupan yang berawal dari tanggal lahir ini harus diakhiri dengan hari kematian kala ia akan datang. Tetangga yang tidak di sangka pergi pada ketiadaan, kemarin lusa masih aku lihat menyapu halaman depan pintu. Kabar duka yang datang membuat pertanyaan, se-nihil itukah kita berpikir diri yang lain jika akan memandang diri kita sendiri?
Tak ada yang aneh, bahkan membuat gelisah itu biasa. Antara kematian, aku jadi ingin bertanya, bagaimana mati tanpa seorang pendamping hidup? Pernikahan yang tidak berlangsung pada kehidupannya? Apalagi dengan anak yang ditinggalkannya? Itu tidak akan pernah terjadi? Apakah masih bisa seorang manusia itu terkenang sebagai mana ia dilahirkan sebagai manusia?
Jika budaya menyambangi makam dengan bunga, kemenyan, dan wewangian hilang diwaktu akan membangun hajat, masih mungkin sanak-sodara untuk mengenangnya? Foto yang dapat merekam kenangan, masih mungkinkah untuk disimpan ketika meraih gambar dimudahkan teknologi saat ini? Pertanyaan kedepan lalu muncul, kelajangan yang terekam indah lintas kehidupan ini, begitu masyur!
Dalam budaya mungkin tidak ada namanya kelanggengan total. Seperti era keemasan budaya Jawa yang terkikis budaya Arab kini. Dimana alat musik  Gendingan diganti Rebana. Tetapi sejelek-jeleknya bunyi Rebana, karena itu budaya yang diagungkan oleh masyarakat mutakhir, mau apa? Dan akan berkata apa? Langgeng tidaknya budaya tergantung dari bagaimana itu dijadikan keyakinan.
Kita bisa lihat bagaimana manusia Bali menjalankan budaya sekaligus beragama? Diujung sana, Â budaya manusia rimba yang hidup dengan alam mulai dicekoki doktrin keyakinan beragama? Di belahan bumi barat, budaya baru memaksa mereka meninggalkan agama? Semua hanyalah perkara manusia itu berpikir, mempertahankan hidupnya dari derasnya arus kehidupan yang perlu diseimbangkan oleh alam dan dirinya sendiri.Â
Masyarakat Bali mungkin berpikir, "jika mereka tidak melestarikan budaya tradisionalnya yang menjadi nilai daya tarik wisatawan, pariwisatanya tidak akan maju". Daya tarik wisata mandeg, dan akan banyak orang kehilangan penghasilan tambahan dari pariwisata. Orang Eropa dengan budaya barunya yang semakin deras tidak akan menemukan suatu etnik yang orisinil, jika budaya Bali berubah sama dengannya menjadi yang "katanya modern". Tidak lebih masyarakat hanya mencari bagian yang hilang dari budayanya sendiri untuk terus memulai kehidupannya.Â
Sama halnya keyakinan dari timur tengah, akan hilang tanpa budaya yang mengiringinya, atau bisa juga terkikis ajarannya karena budaya lokal bila dipadukan mengancam. Patut saja, jika budaya lokal cenderung dihilangkan untuk melestarikan budaya impor yang sejalan dengan nilai keyakinan yang diyakini sebagian besar masyarakat Jawa kini.
Sanggul yang tidak lagi elegan bagi orang Jawa memaksa sanggul kehilangan estetikanya. Bahkan sanggul yang dijadikan kehormatan dalam acara pernikahan, kini diganti dengan kain untuk menutupi rambut, kalau bisa hanya terlihat matanya saja. Alasanya adalah untuk supaya menseragamkan atas nama keyakinan dogma aurat yang tidak etis dengan budaya baru itu "moderitas".
Seperti kehilangan keindahan yang diturunkan oleh leluhurnya sendiri. Orang Rimba-pun mengalami nasib yang sama seperti orang Jawa. Jika mereka tetap mengikuti apa yang dilakukan leluhurnya, mereka terdiskriminasi oleh moderitas. Hilangnya akan pengakuan eksistensial kehidupan moderen mutakhir.
Bahkan cita-cita untuk diakui sebagai warga negara tergadai tanpa administrasi jika, manusia rimba tetap melestarikan adat dan budaya leluhurnya. Tidak diakui oleh negara berarti bencana bagi mereka yang ingin akses pendidikan, dan kesehatan yang disedikan oleh negara.
Bukan mereka tidak mau melestarikan budaya leluhurnya. Kebengisan orang-orang atas nama investasi perniagaan adalah biang mereka terpinggirkan oleh budaya luar yang mendewakan uang. Hutan tempat yang mereka tinggali disulap menjadi perkebunan lahan bisnis segelintir orang.Â
Jika mereka, "manusia rimba" tidak membangun kebaruan dari kehilangan, mereka akan punah termakan moderintas. Untuk itu demi menjadi modern dengan Kartu Tanda Penduduk agar diakui negara. Apapun caranya, mereka tempuh dengan mendatangkan budaya baru. Termasuk terbuka pada cikal bakal pengisian kolom agama yang dianjurkan pemerintah.
Dalam hal ini, Aku memang tidak ingin menjadi atas nama aktivis siapa, membela siapa. Kehidupan yang berlangsung kini sangat rancu untuk diperjuangkan, bahkan di perdebatkan pada pemikiran publik yang mulai terdegradasi.Â
Kini menjadi identitas pada modern-nya Indonesia sangat menetukan. Mau seperti apakah mereka mengisi kehidupannya? Biarlah mereka mengisi atas nama kebebasannya sendiri.Â
Meskipun kebebasan mereka patut untuk dipertanyakan, tetapi "apatislah atas nama Nihilisme yang patut di ikuti abad ini". Jangan bila dilihat seperti manusia yang terkurangi kecerdasaanya ketika membela. Sebagai contoh; mereka yang membela atas nama keyakinan politik. Intelektual mereka terkikis menjadi separo. Sedikit banyak mereka hanya mengupayakan keyakinan sandaran pada pandangan politik yang akhirnya akan sama saja.Â
Tetap keuntungan ada pada mereka elit-elit kekuasaan politik yang duduk diatas sana. Manusia yang kecil dengan pembelaan-pembelaannya akan tetap tidak diperhatikan. Mereka "rakyat" hanya dijadikan bahan jalan mereka elit untuk berkuasa.
Maka dari itu, menjadi Nihilis kontemporer itu apatis tetapi kritis. Tanpa peduli adalah jalan yang harus nihilis tempuh. Ketika mereka membutuhkan kejelian intelektual untuk menjalani kehidupan, upaya mencerdaskan diri pasti akan terjadi di hari yang akan datang.Â
Janganlah ragu, kekeritisan pada kehidupan akan melahirkan karya yang terkenang. Meskipun kau dikoyak kesepian, akan ada yang terkenang, meskipun sanak- sodaramu tak lagi memanggil namamu, tetapi "kau dapat menjadi abadi".
Arthur Schopenhauer dan  Friedrich Wilhelm Nietzsche seorang kritis dalam sepi. Kesangsiannya akan kehidupan menjadi jalan hidup alternative baru, yang akan dikaji sepanjang masa. Termasuk semesta berpikir muktahir yang rumit. Tidak untuk meniru mereka, setiap orang dapat hidup dengan kebebasan yang mereka akan ciptakan dalam kehidupannya. Menulis dan menjadi karya sebagai nihilis mutakhir abad 21.