Perjuangan-perjuangan yang dinilai mengaktualisasi dirinya kian sulit. Sulitnya bukan karna dia tidak mampu dalam menjadi dirinya sendiri. Realitasnya kini adalah bagaimana keadaan eksternal mendukung dirinya. Dalam hal ini relasi-relasi eksternal dinilai sangat perlu dan bahkan substansil. Ketentuan-kenentuan dalam semsta muktahir dinilai dari relasi.
Keadaan sekarang ini berdasarkan dia anak siapa? Bagaimana fasilitas mendukung dirinya. Jika anak ingin menjadi sarana-nya-lah yang berbicara banyak padanya. Akan menjadi kenyataan apa yang diinginkan jika keadaan eksternal siap dalam hal sebagai sarana tampungannya.Â
Saya ambil contoh jika anggota dari relasinya adalah orang yang bermodal juga mempunyai relasi yang mempuni pada setiap elmen-elmen dalam bidangnya potensi menjadi sangat lebar. Seorang anak jurnalis jika cita-citanya menjadi jurnalis akan lebih dimudahkan. Bagaimana budaya menitip relasi menjadi dimungkinkan untuk terwujudnya keinginan dari anak itu sendiri.
Kondisi ini jelas berbeda dengan seseorang yang sama sekali kurang. Disamping kurang modal juga kurang akan relasi didalamnya. Kemungkinan yang terjadi hanyalah ketumpulan pada imajinasinya. Sangat tidak mungkin ia menyandarkan apa yang dicitakannya kepada ranah-ranah eksternal dalam hidupnya.Â
Mereka harus bertarung sebagai manusia murni dengan potensi yang minim. Dan tidak harus mengharap lebih, bertahan sebagai manusia dengan kadar yang lumayan dapat bertahan hidup tidak menyusahkan tatanan sosial menjadi prestasi terbaik dalam hidupnya.
Jadi wacana-wacana sastra atau seni-seni lain haruslah berimbang pada realitas. Suatu karya yang dibenarkan secara buta akan menimbulkan kebutaan juga kepada yang percaya. Tidak jarang itu dijadikan ajang indoktrinasi yang wajib. Inilah dilema muktahir, dimana mereka yang tidak cukup punya dan mampu akan sangat potensial jatuh pada kefrustasian hidup yang seharusnya bisa dihindari.Â
Memang menjadi menghindar adalah mereka yang dapat berpikir sederhana dan tidak mewah dalam hal membangkitkan fiksionalnya dalam kehidupannya. Tetapi apakah menjadi mungkin mudah jika kompleksitas keinginan dan harapan itu menjadi sangat arogan dijaman muktahir ini?
Karna itu karya postif belum tentu menjadi nilai-nilai postif. Karya bisa saja menggugah fiksional pikiran sang konsemennya. Sehingga ketika sudah menjadi keyakinannya kemudian patah dan tidak terwujud menyalahkan dirinya sendiri adalah sesuatu yang mungkin.Â
Untuk itu harus ada antitesis dari karya positif yang terus masif. Bahkan tidak jarang sudah menguasai semseta karya pemangunan-pembangunan pribadi secara instan.
Seharusnya karya-karya realis itu muncul dengan berbagai macam antitesisnya. Dimana topik ke-frustasi-an hidup manusia diangkat sebagaimana adanya dan tidak cenderung tertutupi dahulu pada area fiksionalnya. Â Karna akan berbahaya jika semua sudah menjadi keyakian dari manusia-manusia pengonsumsi itu. Mereka akan mudah terjun bebas dalam mempersepsikan sesuatu belum terjadi tetapi harapannya melampaui pikiranya sendiri. Harapan yang indah tetapi belum tentu indah hasilnya.
Memang setiap karya merupakan ke-bias-an yang umum. Pro dan kontra menjadi hal yang lumrah, tetapi dalam semsta sastra ini menjadi suatu yang sehat dan akan menghidupkan kesuastraaan itu sendiri.Â