Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Fenomena Jatuh Cinta pada Pandangan Politik

1 Februari 2019   14:44 Diperbarui: 1 Februari 2019   15:46 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : Ilustrasi (Edi Wahyono/detikcom)

Tahun politik merupakan tahun dimana kejelasan orang-orang ganjil dikemukakan secara gambalang. Tidak peduli itu dari desa terpencil atau orang-orang metropolitan. Mereka berlomba menjadi suksesor yang belum tentu kenal dengan para suksesinya. Mereka mengenal calon hanya sebatas nama, retorika dari sudut media dan jargon-jargon kampanye yang mulai di-propaganda-kan.

Atas dasar itu saya menyebut fenomena tahun politik merupakan suatu fenomena dimana dengan mudahnya orang menjadi cinta dan jatuh cinta secara dalam. Mengapa saya sebut dalam? Karena cinta mereka ditunjukan dalam bentuk, gerak dan propagada-isme. 

Dengan rela mereka menjadi relawan-relawan walaupun tidak dibayar. Kata-kata yang menyeruak darinya tanpa pamrih, pengakuannya luar biasa, ikhlas lahir batin. Tetapi pengakuan itu seperti patut dipertanyakan kembali. Apakah itu benar atau ada motif dibelakangnya?

Tetapi jika saya analisa, kata-kata tersebut tidaklah murni. Tetap se-ikhlas-ikhlasnya seseorang tidak ada yang ikhlas banget. Apalagi berada dalam jaman masyarakat muktahir ini. Setiap orang punya dasar pamrih yang tidak dapat diingkari sebagai manusia. 

Para suci-pun tetap pamrih adanya dengan ingin mempunyi jiwa yang bersih. Jadi akuilah jika kepamrihan itu nyata adanya dan tidak usah terus dan menerus mengikarinya. Setiap manusia melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu

Dari dalam semesta wacana politik-pun merupakan sebuah kepamrihan para relawan dan segala macam bentuk dukungan-dukungannya.  

Kepentingan, argumentasi politik dan cinta atas dasar politik

Sebut saja Dakim namanya. Setiap hari di dalam pikiranya adalah momentum pilpres. Terus ditunggunya hari pemilihan umum itu datang. Lini masa media sosialnya dipenuhi dengan postingan-postingan bernada provokatif dimana kecondongan menyukai calon tertentu. Sialnya adalah ia hanya membagi opini orang lain diberanda media sosialnya. 

Sekiranya artikel apa yang bisa untuk menjatuhkan calon lain angkut. Tetapi saya tidak tahu itu terbagi untuk kali keberapa sampai pada beranda Dakim. Saya rasa berbagi artikel pada lini masa media sosial seperti jarring laba-laba yang jika diruntut dari awal seperti membentuk sarang yang sangat luas.

Dalam demokrasi sah saja menyuarakan apa yang ingin disuarakan. Bukankah lebih disayangkan jika apa yang disuarakan tidak dengan sesuatu yang unik dan menarik? Mungkin dengan karya seni dalam bentuk gambar atau karya sastra muktahir? Namun jelas, lebih sulit membuat karya sendiri dari pada tinggal klik terus mengahsilkan suara dari dalam beranda orang lain yang satu pemikiran. 

Jika keadaan ini terus belanjut Indonesia akan kehilangan semesta kreatifnya dimana mentalitas intelektualnya hanya sebatas bagi membagi tanpa menggali dari intelektualitasnya sendiri.

sumber gambar : Ilustrasi (Edi Wahyono/detikcom)
sumber gambar : Ilustrasi (Edi Wahyono/detikcom)
Dengan prinsip bagi membagi dimedia sosial membuat sangat ketara, ia berpihak calon yang mana. Saya cukup acuh terhada fenomena itu tetapi mengganjal dalam batin jika bagian-bagian tersebut menjadi bahan argumentatif dimedia sosial yang sebenarnya tidak perlu kita lakukan. Saya kira argumen kita haruslah cukup sampai disini dengan kata-kata yang selama ini mudah terlontar. 

Berpikirlah dan bersuara secara kreatif agar menjadi pembelajaran intelektual public dengan rapi. Buatlah suatu konten yang kreatif dalam menyuarakan apa yang ingin disuarakan tanpa jelas menyinggung relawan atau paslon lain. 

Lebih baik membuat karya yang dapat membuat kita berpikir dari pada membuat kita saling menyerang sisi psikologis dari masing-masingnya. Sejatinya penyerangan secara psikologis akan membuat dendam-pun dari dalam kejiwaannya sendiri.

Oleh karna itu, tahun politik adalah fenomena cinta yang dalam itu sendiri. Ia bekerja tanpa nalar, hanya kepentingan, sesekali tentunya kepuasaan akan meluapkan energy kebencian terhadap lawan politik yang tidak disukainya. Tetapi dimana ada untung disitu ada rugi. Saya yakin relawan kelas teri tidak akan untung-untung banget dalam hal ini. 

Tetap yang untung besar adalah mereka para relawan besar dekat dengan calon penguasa itu sendiri. Relawan kelas teri hanya untung dalam rasa dan pikirannya saja. Calonnya dapat memenangkan pemilu dan tetap jika harapan para relawan tidak terpenuhi setelah jadi, cinta merekapun terjamin untuk menjadi benci dan ancang-ancang menyebrang kepada calon lain.

Dalam politik sebrang-menyerbang pendukung sangatlah lumrah terjadi. Kita lihat perpolitikan kelas desa atau nasional. Mereka mengalami hal yang sama. Antara datang dan pergi pendukung. Cinta berubah menjadi benci-lah alasannya. Cinta karna adanya harapan baru bagi pendukung. Sedangakan benci sendiri karna kepentingan yang tidak terealisasi sebelumnya.

Politik abad ini, seperti menyaksikan orang jatuh cinta ada pada momentum pemilihan umum. Tidak peduli itu calon kepala desa ataupun calon presiden sekalipun. Karna calon-calon itu mengandung makna cinta yang dalam bagi para pemilihnya atau simpatisannya. Tanpa kenal mereka akan menyukainya secara misterius. Hanya doktrin harapan yang mungkin terlintas dalam benaknya dan itu sudah membuat jatuh cinta. Mereka percaya pada cinta politik untuk menguntungkan kehidupannya.

Bagi saya cinta atas dasar politik adalah cinta yang tergolong unik, mengapa? Karna perbedaan yang mencolok sekali dengan cinta antar manusia, laki-laki dan perempuan. Seyogyanya cinta antar manusia harus dipupuk dengan sisi emosional yang kuat antara keduanya. Sehingga dapat terjadi sinergi dimana tujuan akhir dari mereka adalah untuk hidup bersama mengharapkan selamanya. 

Untuk itu berbeda dari cinta politik yang hanya mencintai dari kepentingan-kepentingannya dengan hanya cukup beberapa tahun masa jabatan saja. Tidak ada cinta dalam keabadian dalam kamus politik. Semua seperti janji dan karangan-karangan keuntungan yang mempunyai nilai.

Jadi cinta politik hanyalah cinta yang sementara. Ia dapat berubah sesuai dengan kepentingnya. Saya mengira menjadi pendukung boleh saja tetapi tinggalkan namanya fanatik dan saling beradu argumentatif. Karna semua itu hanya akan membuat tegang kehidupan kita yang sudah sepakat ini untuk ber-bangsa dan ber-negara. 

Toh tetap saja yang menikmati kue kekuasaan tetaplah golongan dari mereka-merka saja belum tentu melibatkan kita. Peperangan dalam bentuk apapun hanya akan mengoyak kenyamanan batin manusia. Bahkan bukan saja batin tetapi kerugian pada rasa kemanusian itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun