Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dieng, "Sunrise" dan Kisah Regresi

8 Oktober 2018   19:29 Diperbarui: 16 Maret 2019   19:49 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti regresi mendadak, singkat, sekarang aku datang kembali dengan cara yang sama. Masih tetap Gunung Sindoro dan Sumbing didepanku. Agak samar Gunung Merapi dan Gunung Merbabu menyapaku dikejauhan pandanganku.

Tangan rasanya berat untuk mengetik, dingin seakan menyirap kalbu bergetar sampai tulang sum-sum. Ini benar regresi, ia mendadak datang, dikala aku merasa kembali pada saat itu. Saat dimana motor dari penjuru negri ini berkumpul, berdebat agrumentasi pada pembiyayaan yang harus dibayar panitia waktu itu. Janji dari waktu yang meleset di Lapangan Bukit Sikunir.

Hayal yang sama, ilusi-ilusi yang berbeda, hanya besarnya angin pagi ini kekuatannya merestorasi kenangan masa itu. Udara dingin yang tembus, hanya jaket dari kain, sedikit tipis seperti kabut yang turun pagi ini. Tentang  pohon Cemara  yang tetap hijau. Orang-orang mengambil foto dengan bahagianya.

Ini negri, negrinya para Bathara masa lalu yang masyur, sunyi dan tersembunyi. Tempat menyepi yang khusyuk bagi para pengejar rohani. Candi-Candi yang ada, tanda dari getaran energi ilahi yang berasa, menusuk seperti dinginnya cuaca pagi. Sunrise pagi ini tidak mampu menghangatkan tangan dan tubuh ini. Tangan ini menggigil, berjuang untuk ditulis, aku ceria seperti awan-awan, untuk selancar para tentara langit, indah tidak bisa dibayangkan.

Persahabatan seperti bukit yang berjejer, hanya mengkuti langkah kaki, juga tentang keputusan yang kita ambil bersama. Teman masa lalu yang memulai hidup baru, kami berjuang bersama kala itu. Sama-sama merasa kuwatir pada masa depan kita masing-masing. Namun waktu berlalu, ia dan aku tepat dalam memilih hidup dengan cara baru, cara kita masing-masing, meskipun aku tetap pada rutinitas yang sama dengan kala itu.

Kebanggaanku adalah kebanggaanmu, keberhasilmu keberhasilanku juga. Aku ingin menyusulmu, menyusul menyambut dunia baru. Keluarga kecil yang harus dibangun pada akhirnya, usaha tak kenal lelah berjuang untuk seseorang. Aku menyambut hari ini, Inspirasi yang kau tanam, juga dituangkan dalam realita. Sungguh nasib tidak akan mengenal ia siapa.

Begitu, kekagumanku padamu, setiap dari kita memang selalu ada kesempatan, kesempatan pergi dan bertemu kembali untuk bercerita. Bagaimana setiap dari kita melewati waktu. Namun semua Ini hanyalah cara menanam waktu, tidak beda dengan para petani penanam kentang dilereng Bukit Sikunir. Masing-masing dari kami membawa cara bagaimana memperlakuan hidup sebaik Sunrise pagi hari ini.

Semoga ini bukanlah yang terakhir, kami adalah bagian dari teman yang terpisah waktu, ketika waktu memanggil, kita dapat berbagi tentang kisah masing-masing. Rasanya aku tak kuasa lagi menyambut impian itu, juga membawa diri akan karyaku dimasa depan, seprti karya-karya dalam hidupmu yang sangat hebat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun