Terasa indah memang, tentang apa yang kita capai, apa yang kita tahu dan seberapa jauh kita melangkahkan kaki. Kata seorang pengembara hidup adalah mencari tujuan karna itu kita tidak pernah mempunyai tujuan. Nihil dalam nada, sepi dalam kata, hidup itu milik kita.
Tidak ada hidup yang lebih indah selain mengikuti langkah kaki, bagaimana hati ini ingin berbicara, dan juga pikiran ini akan menyapa setiap saatnya. Bagikan awan yang diterangkan kelabu, menyinari tanpa ia menduganya. Saat dirasakan ia begitu absrud saat dikenang melampaui yang katanya rasional itu sendiri.
Tentang kenangan yang terkenang, berkesan bagaikan bingkai angin surga menyirat hati. Sepertinya langkah kaki ini tidak begitu saja padam, ia candu kalau ia digunakan sebagaimana gunanya. Melihat bukit-bukit yang indah, melihat pasir-pasir yang hijau, bahkan untuk melihat karang-karang yang teredam lautan. Semua indah dalam kata, semua indah dalam makna.
Lautan ditelusuri sepertinya air tidak akan pernah surut, begitupun jika manusia terus mengeksplorasi dirinya sendiri. Keindahan bukanlah merka yang menganggap dirinya yang terindah melainkan rasa yang dapat diolah seolah semua indah jika dirasa dan dicipta. Memang benar hidup hanyalah sejalan petualang bagi orang-orang yang mau berpetualang.
Menikmati udara malam, lepas, menghilang dengan pulas, merintis pada dingin, menyerah pada bukit yang curam. Perjuangan melawan ombak, mabok dalam kapal, memancing dan dapat ikan. Rasanya kemahalan seakan terbayar oleh kebahagiaan yang terekam. Tentang tempat yang pertama kali dikunjungi, orang-orang yang baru ramah terhadap yang lain dan juga udara menyirat kelabu.
Seakan waktu itu tak pernah lepas, terekam dengan baik, tanpa cacat, hanya sedikit-sedikit kenangan kecil menggalaukan hati yang tidak sadar sudah terlewati. Reparasi yang menggelisahkan hati, antara ada dan tidak, jauh atau dekat, mahal atau murah. Perjalanan adalah pertanyaan yang hadir diwaktu itu juga, mengelisahkan bagikan perut yang tidak akan diisi besok pagi.
Warna-warni tenda, segelas bir yang menghangatkan badan, tentang mereka yang bernyanyi lepas sore itu. Bukit yang hijau, ikan pari yang menunjukan dirinya. Bagikan waktu yang terbelah dua, antara kini dan kenangan. Regresi mendadak, rasa yang terlepas, tentang mereka juga yang diinginkan untuk kembali, waktu kembali, juga kebahagiaan yang selalu dirindukan bersama lagi.
Membuat berbicara kepada malam, bintang-bintang bahkan dengan sedikit hujan. Debu yang berterbangan melukiskan kenangan, kebengisan siang ketika diarungi dengan letih. Ketika bahasa isyarat tiba, sekan bermaksud tetapi tidak membekas maksud itu. Terbangun, sedikit bertanya, bagaimana mengekspresikan kedunguan bahasa tubuh itu.Â
Menjadi tidak terncana, tiba-tiba menghilang, hanya sapa bye-bye diakhir kata. Terbayang wajahnya, hay kau yang asing dari sana, bagaimana denganmu kali ini, masih ingatkah pada pulau kecil dimana anak itu sebagai GPSnya. Sekutik-sekutik yang berbeda, melewati rumput-rumput, tanah yang kering, tumbuhan yang berguguran.
Kenangan sepertinya akan menjadi ingatan abadi dalam kata. Entah bagaimana kita akan mengulanginya, akankah kita terketahui bak gading gajah yang mungkin bisa abadi. Teruntuk itu, kita tak akan terlihat seolah sudah menjadi lalu, berlalu dan terus berlalu. Kenangan pantas dilupakan, pantas juga dimasukan relung jiwa terdalam, sedalam lautan diselatan pantai nusa penida.
Waktu sudah berlalu begitu jauh, tidak mungkin aku mengenang nostalgia yang tidak akan habis. Seyoganya aku harus mengenang yang dari waktu-waktunya bisa aku ikuti. Bagimana ia meminta ditemani kelautan bermain air, naik kuda dari bahan plastik yang beraneka suara. Memanggil aku seakan akulah yang menjadi temannya. Tentang tangisannya, rengekannya dan keingintahuannya.