Siangnya mereka merayap sebagai ribuan serdadu semut di antara cabang-cabang menuju rumah-rumahan di belakang rumah, semut-semut yang mampu menyerang sangat cepat dan tak terduga.
Sekarang mereka adalah pohon itu, yang menjadi rumah kepompong, serdadu semut, dan rumah-rumahan;
rumah yang terus-menerus haus akan dada bumi yang mengalir, manis;
rumah yang hidup akrab dengan hujan, yang di dadanya kesejukan merebahkan diri;
rumah yang memakai sarang burung di rambut;
rumah yang memandang Tuhan sepanjang hari, mengangkat tangan rantingnya yang berdaun untuk berdoa;
rumah yang akan roboh oleh tangan-tangan seperti punyaku, seolah empunya.
Puisi dibuat oleh diri bodoh sepertiku, tapi hanya Tuhan yang bisa membuat pohon -- rumah bagi puisi terindah yang pernah kulihat.