Mohon tunggu...
Komar Udin
Komar Udin Mohon Tunggu... Lainnya - Wiraswasta

Membaca, sederhana , politik

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Andai Anies Menang Pilpres, Ga Bahaya Ta?

15 September 2023   19:00 Diperbarui: 15 September 2023   19:08 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

                                                                                                                                            Oleh : Komarudin

Pro kontra pasangan duet Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar makin ramai,terlebih lagi dimedia sosial atau medsos, makin hari makin ramai saja,bukan cuma ikut mewarnai tetapi mendominasi isu politik dijagad tanah air Indonesia tercinta. Dari yang samar-samar sampai yang terang benderang, dari kelas tongkrongan warung kopi kaki lima sampai dikelas elit politik atau para politisi dan pengamat, baik berupa dukungan maupun penolakan saling bersautan satu dengan lainnya. Tetapi pada tulisan kali ini penulis hendak menitik beratkan pada alasan penolakan dan kekhawatiran sebagian masyarakat atas duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.

Adapun alasan mendasar dari penolakan adalah karena Anies dianggap punya rekam jejak yang tidak bagus, utamanya saat pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu,sehingga Anies sampai diberi stempel "bapak politik Identitas". Walaupun kejadiannya sudah enam tahun berlalu, tapi luka politik itu  masih terasa hingga saat ini. Sementara itu PKB partai dimana Gus Muhaimin berlabuh dikenal sebagai partai politik yang didirikan oleh Nahdlatul Ulama alias NU mewarisi pandangan dan sikap moderat, toleran, tidak kekirim tidak juga kekanan, dimana ideologi kanan inilah yang justru dianggap menjadi karakter politik Anies dan pendukungnya selama ini.

PKB dianggap sudah keluar dari pakem,melenceng dari relnya,sehingga diragukan ke NUannya, bahkan diragukan pula kesetiaannya pada Pancasila karena berkolaborasi dengan  Anies  Baswedan yang mantan Gubernur DKI Jakarta dan dalam pandangan publik yang bersangkutan menjadi Gubernur DKI Jakarta memainkan politik agama yaitu memanfaatkan agama utk kepentinagan politik praktis semata. Belum lagi Anies Baswedan juga dikelilingi oleh para pendukungnya mantan organisasi yang telah dibubarkan pemerintah Jokowi yaitu FPI dan HTI pengusung Khilafah yang dianggap membahayakan pancasila.

Tapi tunggu dulu,coba kita ingat kebelakang sejenak. Banyak orang lupa sejarah masa lalu yaitu saat Kabinet Soekarno yang anggotanya terdiri dari kelompok Nasional dan Komunis, ada salah satu tokoh Nahdlatul ulama atau NU masuk dalam kabinet tersebut sehingga kabinetnya bernama Kabinet Nasakom singkatan Nasionalis, agama dan komunis yang sering disebut juga dengan sebutan kabinet Tiga kaki.

Tokoh yang dimaksud adalah kiyai Wahab Hasbullah. Respon masyarakat saat itu juga luar biasa tajamnya, sampai-sampai oleh kelompok Masyumi Kiyai Wahab Hasbullah dituduh gila jabatan, penghianat Islam,antek PKI sehingga kalau saja kepala beliau dibelah isinya tidak lain dan tidak bukan yaitu palu arit.

Banyak masyarakat saat itu salah menafsirkan langkah politik kiyai Wahab Hasbullah. Mereka terlalu hitam putih dalam menilai langkah politik seseorang, kalau dekat dengan komunis maka jadi komunis minimal mata-mata komunis.padahal pada dua kekuatan politik saat itu yaitu Nasionalis dan Komunis, justru disitulah pentingnya kaum atau kelompok  yang konsen Agama perlu melibatkan diri  menjadi penyeimbang dari dua kekuatan lainnya,sehingga kabinet bentukan Soekarno saat itu berjalan sesuai rel perjuangnnya utk bangsa yg baru saja merdeka.

Tentu saja kejadiannya tidak sama persis walaupun konteksnya sama-sama politik, bukan pula hendak menyetarakan figur kedua tokoh tersebut walaupun sama-sama kader NU,tetapi dengan memahami sejarah masa lalu kita tau kalau bangsa ini punya preseden yang baik dan kita bisa menyisakan sebagian saja pemikiran kita utk berpikir lebih jernih ,tidak melulu didominasi oleh ketakutan dan pasimisme yang berlebihan andai saja pasangan Anis - Muhaimin atau Amin memenangkan pilpres 2024, dimana sebagian masyarakat menghawatirkan Indonesia menjadi negara Khilafah menggantikan Pancasila .

Ketakutan seperti ini sebenarnya tidaklah perlu karena Pasangan Anies -Muhiamin atau  AMIN  sesungguhnya koalisi Nasdem dan PKB yang berarti Koalisi Nasionalis- Religius. Kalaupun suatu hari  PKS ikut bergabung dalam koalisi ini, maka akan memperkaya  dialektika politik kebangsaan dan hal tersebut sangat lumrah pada negara Demokrasi seperti Indonesia. Ada dua Kutub paham kebangsaan yang terasa berbeda antara Nasdem yang segaris dengan pemahaman politik kebangsaan dengan PKB , dengan PKS dilain pihak dengan kecenderungan paham politik khilafahnya.

Dilain pihak PKB sebagai partai yang didirikan oleh Nahdlatul Ulama atau NU,pasti tidak akan sendirian dalam berjuang mempertahankan politik kebangsaannya, terlepas apakah NU itu sendiri mendukung atau tidak  pencawapresan  Gus Muhaimin, karena  bisa dibilang NUlah ormas yang paling kental komitmen kebangsaannya, sehingga utk urusan yang satu ini NU siap pasang badan demi pancasila sebagai dasar negara, NKRI yang berkarakter Bhineka tinggal ika dan UUD 1945 dengan bandrol harga mati alias tidak bisa ditawar-tawar lagi ,sehingga pasti tidak mungkin membiarkan pihak yang ingin mengganti pancasila dengan  ideologi apapun dengan presidennya siapapun.

Disisi lain ketum  Nasdem Suryo Paloh tidak mungkin memberi cek kosong kepada Anies. Selain sebagai ketua Umum Nasdem Suryo paloh juga seorang pengusaha sukses. Paloh sangat sadar dengan kondisifnya tatanan kebangsaan yang selama ini , turut mengantarkannya menjadi pengusaha sukses.karenanya bergantinya Pancasila menjadi khilafah adalah satu hal yang pasti dihindari olehnya dan hal tersebut pasti sudah selesai diantara Suryo paloh dan Anies Baswedan yang menurut hemat penulis sebenarnya juga punya concern yang sama, terlepas dari persoalan politik identitas yang sempat merajai pilkada DKI Jakarta  2017 lalu dan Anies menikmati itu sebagai pemenang pilkada brutal tersebut.

Tentu Anies tidak bisa memilih siapa atau dari kelompok mana saja yang harus memilihnya, toh pada dasarnya semua suara punya nilai yang sama dimata undang2, baik dari yang pancasilais maupun yang anti pancasila,dari kelompok paham kiri,tengah maupun kanan yaitu bersipat dan bernilai One man one vot ,satu orang satu suara. 

Dikalangan sebagian warga Nahdliyin secara berkelakar mengistilahkan nilai dari suara atau coblosan seorang kiyai sama dengan suara coblosan seorang  santri, bahkan lebih berani mereka berseloroh suara /coblosan kiyai sama dengan coblosan pelacur yaitu sama-sama satu suara dan buat seorang calon pemimpin yang bertarung ,yang penting adalah kemenangan dari manapun asal muasal pemilihnya,karena kemenangan adalah satu-satunya pintu masuk menjadi penguasa alias orang nomor satu di Republik ini.

 Anies yang  dikenal sebagai figur ambisius tentu saja kalau menang dan jadi presiden 2024-2029  ingin kekuasaannya berlanjut keperiode berikutnya ,maka untuk itu dia harus baik-baik dengan seluruh anak bangsa, kalau tidak maka alih-alih ingin menerapkan Khilafah malah jatuh ditengah jalan karena diinficment oleh MPR dengan alasan makar terhadap pancasila. 

Jangankan mengganti pancasila dengan khilafah,membatalkan IKN sebagai ibu kota barupun Anis-Muhaimin tidak akan berani melakukannya, bukan karena sudah ada UU yang memayungi IKN sehingga jalannya terlalu jauh panjang dan berliku, apalagi kalau partai pendukung pemrintahnnya kalah banyak dengan oposisi , tapi karena Anies-Muhaimin sebenarnya memahami latar belakang alasan pindahnya ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

Adapun kalau selama ini ada pihak-pihak yang gigih menolak,sebenarnya lebih karena ketidakpahaman saja,selain itu ada faktor kecemburuan,karena bisa dibilang IKN adalah bukan cuma prestasi terbesar dari seorang presiden Jokowi lebih dari itu IKN adalah lagesi paling bersejarah yang akan selalu diingat rakyat Indonesia, apalagi gedung IKN akan jadi Icon baru dari pusat pemerintah negara Republik Indonesia yang dampaknya menaikan pamor seorang Jokowi sebagai pemimpin visioner, cakap dan pemberani, yang mampu merealisasikan cita-cita lama presiden pertama Indonesia bung Karno. Pengakuan tersebut bukan cuma dari dalam negeri, tetapi juga  dari dunia Internasional. 

padahal kalau kita teliti lebih jauh pemindahan ibu kota punya tingkat kerumitan yang jauh melebihi proyek mercusuar lain yang pernh dibangun oleh pemerintahan Jokowi, apakah itu jalan, jembatan, embung,danau ,terminal, pasar ,bandara dan lainnya, belum lagi biaya pembangunannya yang super pantastis.

Tidak sampai disitu, pindahnya ibu kota secara otomatis juga memindahkan orangnya ,yang selama ini enjoy  ada pada zona zaman harus pindah, beradaptasi dengan lingkungan dan suasana baru Pada tempat yang baru. Pindahnya manusianya  sebagai sdm  yang akan bekerja 'mengoprasikan' ,mengelola IKN Sebagai pusat kegiatan ibu kota negara Republik Indonesia dengan tuntutan etos kerja yang baru pula dan bukan cuma menempati lokasi baru tapi juga membangun budaya dan peradaban  baru untuk Indonesia yang lbih baik dan hal itu semua terjadi hanya dizaman presiden Indonesia yang ketujuh yaitu  Jokowi.

Lalu timbul pertanyaan untuk apa Anies mengusung isu perubahan ?, apa yang dirubah kalau pada akhirnya Pancasila tetap menjadi dasar negara, ibu kota tetap pindah, bahkan Hti dan Fpi tidak bisa dihidupkan kembali ?

Tagline perubahan adalah hasil kemampuan Anies dan Nasdem menangkap atau lebih tetaplah mengkapitalisasi  aspirasi dari sebagian masyarakat Indonesia. Mereka yang merasa tidak puas dengan kinerja Presiden Jokowi - Kiyai Ma'ruf Amin menginginkan hal yang berbeda dari apa yang mereka saksikan selama ini. Mungkin sebagian diantaranya menginkan perubahan dasar negara, dikembalikannya ormas Hti dan Fpi sebagai organisasi legal yang diakui pemerintah , setelah putus asa  karena berulang kali ingin menurunkan Presiden Jokowi tidak berhasil. 

Tagline perubahan juga sengaja diusung untuk mencari pembeda baik dengan presiden  Jokowi itu sendiri juga dengan pasangan Capres-Cawapres lainnya sehingga Anies dianggap antitesa Jokowi, yang akan merubah banyak hal ,padahal kalau kita cermati uraian diatas , perubahan dasar negara pancasila, IKN, menghidupkan lagi Hti dan Fpi peluangnya tertutup rapat.

kalau begitu , lalu perubahan apa lagi yang akan dilakukan Anies - Muhaimin seandainya terpilih menjadi Presiden - wakil presiden?. Mungkin lebih baik kita tidak usah berspekulasi ,kita tunggu saja tanggal mainnya, toh belum tentu juga mereka memenangkan pilpres 2024, karena nasib politik mereka cuma Allah yang tau,tidak siapapun termasuk Anies dan Gus Muhaimin sekalipun. Yang pasti Pancasila tetap Aman, NKRI harga mati.     Wallahua,lam bisshowab. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun