Mohon tunggu...
Drs. Komar M.Hum.
Drs. Komar M.Hum. Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Al-Izhar dan Fasilitator Yayasan Cahaya Guru

Berbagi dan Menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Marshmallow Test: Pengendalian Diri dan Makna Puasa

21 Desember 2023   09:09 Diperbarui: 21 Desember 2023   18:54 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah Anda mengetahui tentang  Marshmallow Test?  Marshmallow Test dilakukan oleh psikolog Walter Mischel dan timnya dari Stanford University pada 165 anak balita di akhir 1960-an dan awal 1970-an. Tujuannya adalah meneliti konsep kontrol diri pada balita usia 3-5 tahun dengan menerapkan teori delay of gratification (penundaan gratifikasi).

Setiap anak ditinggalkan di sebuah ruangan dengan dua piring berisi marshmallow dan camilan lain. Isi piring pertama lebih sedikit dari piring kedua. Sebelum meninggalkan ruangan, peneliti mengatakan bahwa Si Kecil boleh memakan isi piring pertama kapan saja. Namun, kalau ia sabar menunggu peneliti kembali, ia boleh menikmati isi piring kedua yang lebih banyak.

Peneliti lalu memperhatikan tingkah si kecil lewat cermin dua arah dan mencatat seberapa lama Si Kecil bisa tahan sebelum akhirnya memakan camilan tersebut. Hasilnya, hampir 30% anak memakan camilan dalam 30 detik setelah peneliti keluar ruangan. Lebih dari 30% anak berhasil menunggu selama 10 menit. Namun, kebanyakan anak akhirnya menikmati camilan dalam waktu enam menit. Mischel mempelajari bahwa anak yang paling sabar seringkali menggunakan strategi kreatif untuk menghindari godaan. Misalnya, menganggap bahwa marshmallow di hadapannya tidak ada.

Penelitian lanjutan yang dilakukan Mischel pada akhir 1980-an dan awal 1990-an menemukan bahwa anak yang lebih sabar menunggu demi hadiah yang lebih besar menunjukkan performa lebih baik di sekolah. Mereka juga memiliki SAT score (nilai untuk masuk perguruan tinggi) lebih tinggi. Selain itu, anak-anak tersebut mempunyai kepercayaan diri lebih tinggi dan keterampilan emosi lebih baik. Bahkan, penelitian menyebutkan bahwa mereka cenderung terhindar dari penyalahgunaan obat-obatan.

Bagaimana dengan anak yang tidak tahan godaan? Beberapa penelitian menyebutkan bahwa mereka lebih berisiko gemuk atau obesitas 30 tahun kemudian dan memiliki kesehatan umum yang lebih buruk saat dewasa.

Meski sangat terkenal, Marshmallow Test balita mendapat banyak kritik hingga bertahun-tahun kemudian. Salah satu kritik terbesar adalah delayed gratification hanya bisa diterapkan untuk anak dari kalangan menengah dan atas. Apakah masuk akal jika anak-anak yang hidup dalam kemiskinan menunda gratifikasi di saat mereka terbiasa dengan ketidakstabilan?

Sebuah studi oleh peneliti New York University berjudul "Revisiting the Marshmallow Test" pada 2018 juga meragukan bahwa kesuksesan dan karakter seseorang bisa diprediksi dengan sikapnya ketika ditinggalkan bersama permen saat berumur empat tahun. Lagi pula, bisa jadi anak-anak tadi tidak terlalu suka marshmallow dan camilan lain yang disuguhkan.

Meski demikian, Mischel menerima kritik-kritik tersebut. "Gagasan bahwa Si Kecil akan sial jika ia tidak sabar memakan marshmallow adalah misinterpretasi yang serius," kata Mischel.

Mischel dan rekan-rekan penelitinya mengakui kemungkinan bahwa dengan ukuran sampel yang lebih besar, korelasinya bisa berkurang. Mereka juga menyebut bahwa stabilitas lingkungan rumah bisa jadi memainkan peranan yang lebih penting daripada Marshmallow Test.

Bagaimana kita memaknai ibadah puasa?

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana ibadah puasa selama bulan suci Ramadan ini bisa dijadikan sebagai momentum latihan untuk meningkatan pengendalian diri setiap umat Islam? Apakah kita melakukan puasa hanya sebagai gugur kewajiban sesuai fiqih, atau ada nilai-nilai mendalam yang ingin kita dapatkan? Pertanyaan inilah yang harus kita ajukan kepada diri kita masing-masing, agar puasa kita bukan sekedar mendapatkan haus dan lapar, tetapi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas diri baik secara fisik, emosional, intelektual, maupun spiritual.

Puasa merupakan ibadah jasmaniyah sekaligus ruhaniyah. Ibadah jasmaniyah artinya ibadah yang pelaksanaannya membutuhkan kinerja fisik, sedangkan ibadah ruhaniyah berarti ibadah yang menuntut adanya keterlibatan sisi ruhaniyah dalam menjalaninya. Jadi, ibadah puasa adalah ibadah yang tidak hanya melulu berurusan dengan fisik saja, tapi juga menekankan aspek non fisik, yakni mental dan spiritual. Orang yang berpuasa tidak hanya dilatih agar kuat dan tahan secara fisik, tapi juga dilatih untuk menata jiwanya agar kuat dan tahan dari segala godaan nafsu duniawi.

Dalam istilah jawa, puasa atau "poso" berarti ngeposno roso yang berarti berusaha menghentikan segala nafsu dan hasrat lahir batin. Dalam literatur fiqih, puasa diartikan dengan imsak yang berarti menahan atau mengendalikan. Yang dimaksud adalah mengendalikan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan dan minum, dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Tapi yang diharapkan tentunya puasa tidak sebatas mengendalikan diri secara lahiriah, melainkan juga secara rohaniah. Jadi bisa dipahami bahwa puasa menyasar semua dimensi dalam diri manusia, baik fisik dan non fisik.

Berpuasa berarti mengendalikan diri, baik dimensi jasmani maupun ruhani. Sebagaimana arti kata puasa itu sendiri, pengendalian diri merupakan inti ajaran puasa. Dengan perintah puasa, sejatinya Allah menghendaki agar manusia mampu mengendalikan diri, karena di sinilah letak kelemahan terbesar manusia. Hal ini telah digambarkan dengan jelas oleh Al-Quran lewat kisah Nabi Adam AS (Q.S, 20:115). Kisah indah Nabi Adam dan istrinya di surga harus berakhir tragis. Mereka berdua terusir dari surga dan diasingkan ke bumi karena tidak mampu mengendalikan diri dari dorongan hasrat memakan buah terlarang. Kisah nabi Adam AS ini merupakan "drama kosmis" yang memberikan pelajaran berharga bahwa "segala permasalahan manusia sejatinya bermula dari ketidakmampuan mengendalikan diri."

Pengendalian diri atau self control, dalam kamus psikologi didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah lakunya sendiri dan kemampuan untuk menekan atau menghambat dorongan yang ada. Disebutkan bahwa orang yang mampu mengontrol dirinya adalah orang yang rela menunda kepuasan sesaat demi manfaat yang lebih besar dan menahan diri dari keinginan atau tindakan yang merugikan. Adanya kemampuan pengendalian diri mendorong seseorang untuk membuat keputusan yang lebih baik sehingga tidak mudah terjatuh dalam kesalahan. Pengendalian diri yang baik, juga dapat menghindarkan seseorang dari segala dorongan dan tindakan yang dapat memicu konflik, baik pribadi maupun dengan orang lain.

Bahkan, berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa kemampuan self control ternyata menjadi salah satu kunci untuk menjalani kehidupan yang bahagia. Hal ini karena orang yang mampu mengendalikan diri akan berpikir jauh sebelum bertindak. Ia tidak akan bersikap gegabah dan serampangan sehingga tidak akan melakukan tindakan yang merugikan. Dengan begitu, kehidupan akan terhindar dari berbagai masalah sehingga hati dan pikiran menjadi lebih tenang dan hidup pun lebih bahagia.

Puasa Ramadhan adalah momentum untuk memperkuat kemampuan mengendalikan diri kita. Dalam ibadah puasa, kita dibiasakan untuk menahan segala dorongan dan keinginan untuk sementara, tidak sepanjang waktu. Hal ini dimaksudkan untuk mendidik manusia agar mampu mengelola keinginan dan hasratnya dengan baik. Mengerti kapan harus menahan keinginan dan kapan menyalurkan keinginan sesuai ajaran Allah Swt. Dengan kata lain, puasa tidak meredam keinginan manusia, tapi mendidik manusia agar memiliki kemampuan pengendalian diri yang proporsional. Dengan pengendalian diri yang kuat, niscaya kita tidak akan mudah terjatuh dalam tindakan kesalahan dan senantiasa berjalan lurus di jalan Allah Swt. Kehidupan yang lurus inilah yang akan menghantarkan manusia menggapai kebahagiaan lahir dan batin, dunia serta akhirat.

Bahan bacaan lanjutan: 

Mischel, Walter (September 2014). The Marshmallow Test; Understanding Self Control and how to master It. Little, Brown.

Mischel, W; Shoda, Y; Rodriguez, M. (26 May 1989). "Delay of gratification in children". Science. Page 933--938.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun