Mohon tunggu...
Drs. Komar M.Hum.
Drs. Komar M.Hum. Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Al-Izhar dan Fasilitator Yayasan Cahaya Guru

Berbagi dan Menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Adversity Quotient" dan "Amorfati" di Masa Pandemi

3 Mei 2020   08:22 Diperbarui: 3 Mei 2020   08:18 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Find your voice and inspire others to find theirs."

Stephen R. Covey, The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness.

Sudah hampir dua bulan, sejak pertengahan Maret hingga awal Mei ini kita melakukan "Pekerjaan dan Belajar di Rumah" bagi para guru maupun peserta didik. Untuk mengukur daya tahan dan daya juang kita, diksi-diksi apa yang cenderung lebih banyak Anda gunakan selama dua bulan terakhir ini? 

Apakah Anda cenderung memilih kata-kata, jenuh, bingung, menyesali, panik, putus asa, kesal, tersiksa, menyerah, atau tantangan, menarik, peluang, kesempatan, kreatifitas, merdeka, refleksi, bersemangat, dan seterusnya. 

Jika Anda sebagai guru, lebih banyak menggunakan rangkaian kata yang pertama, maka akan sulit diharapkan terjadi proses pembelajaran mandiri di rumah yang menantang, menggairahkan, dan bermakna bagi proses tumbuh kembang peserta didik, karena disadari atau tidak, apa yang Anda rasakan dan alami akan menular terhadap anak didik Anda. 

Mereka akan menyikapi semua ini dengan "perspektif negatif" dan akan menjadi manusia yang oleh Paul G. Stoltz sebagai Quitters (orang yang berhenti melakukan pendakian) atau Campers (orang yang berkemah). 

Namun, jika ingin mengembangkan spirit anak didik Anda sebagai Climbers, manusia yang sepanjang hidupnya tidak pernah lelah untuk melakukan pendakian tantangan kehidupan, maka upayanya cuma satu, Anda harus menggunakan kacamata dan pilihan-pilihan kata yang lebih positif, yang akan terus menjadi pupuk pertumbuhan bagi jiwa dan kehidupan anak didik Anda secara menyeluruh.

Tantangan bagi setiap pendidik pada masa sulit dan darurat saat ini adalah bagaimana menumbuhkan Adversity Quotient(AQ), kecerdasan dalam merespon kesulitan dan Amorfati, kecintaan terhadap kehidupan secara menyeluruh apapun yang terjadi. 

Karena secara esensial, setiap kesulitan merupakan tantangan, setiap tantangan adalah peluang, dan setiap peluang harus disambut. Hanya dari para guru Climbers-lah kita bisa berharap para peserta didik juga dapat tumbuh menjadi manusia-manusia Climbers dengan tingkat Adversity Quotient tinggi dan Amorfati yang kokoh. 

Guru-guru model inilah yang akan mampu merancang proses pembelajaran yang dinamis, menarik, menyenangkan, dan bermakna bagi para peserta didik, karena akan melibatkan dan menyentuh pengalaman paling personal setiap anak.

Lakukanlah kegiatan bersama keluarga yang belum pernah kalian jalani selama ini. Mengapa memilih aktivitas tersebut? Apa maknanya bagi kalian dan anggota keluarga lainnya? Atau, coba amati isi lemari pakaian, lemari buku, lemari mainan, dan sebagainya. 

Pakaian, buku, mainan, atau barang-barang apa saja yang ada di rumah kalian, yang selama ini cenderung terabaikan namun masih bisa dimanfaatkan oleh orang lain? Tetapkan siapa saja orang yang akan diberikan barang-barang tersebut dan bagaimana mengirimkannya? Apa yang kalian harapkan dari kegiatan berbagi tersebut? 

Bisa juga penugasan berupa analisis dampak positif pandemi Covid-19 ini bagi anak-anak secara personal, adakah pertumbuhan positif yang mereka alami? Bagaimana dampaknya bagi keluarga, masyarakat sekitar, bangsa Indonesia, masyarakat dunia, kondisi ekologi global, dan seterusnya. 

Saya yakin, masih banyak metode pembelajaran yang menantang dan bermakna bagi anak didik kita. Semua itu tergantung pada kreativitas kita yang pasti tanpa batas, jika kita mau sejenak mengidentifikasinya dengan kacamata positif yang penuh harapan. 

Dengan demikian kita akan bermetamorfosis menjadi guru inspiratif, manusia yang menurut Stephen Covey mampu "find your voice and inspire others to find theirs".

Pembaruan Paradigma, "Aku Bisa!"

Menurut Paul Stoltz, hidup ini seperti mendaki gunung. Kepuasan dicapai melalui usaha yang tak kenal lelah untuk terus mendaki, meskipun kadang-kadang langkah demi langkah yang ditapaki terasa lambat dan menyakitkan. 

Namun ketika sudah mencapai puncak gunung yang dituju, semua derita itu akan terbayar oleh rasa puas, damai, dan bahagia yang sulit diungkapkan dengan untaian kata. Hanya sesama pendaki yang bisa memahami dan merasakan pengalaman itu. 

Bukankah seluruh rangkaian hidup kita adalah proses pendakian yang tidak akan pernah usai, sejak bangun tidur hingga tidur kembali? Bukankah menjadi guru juga merupakan serangkaian pendakian agung, karena puncak gunungnya adalah masa depan anak didik dan bangsa kita yang lebih baik? 

Warisan apa lagi yang lebih indah yang bisa kita tinggalkan, selain ketika kita mampu membimbing anak-anak didik kita bisa tumbuh dewasa secara fisik, mental, intelektual dan spiritual, sehingga mampu berperan positif bagi bangsanya dan umat manusia secara luas?

Mungkin akan muncul pertanyaan, bagaimana kita melakukan perjalanan pendakian panjang tersebut? Sulitkah itu dilakukan? Tidak bermaksud menggurui sama sekali, bagi saya jawabannya sangat sederhana, yaitu selalu perbarui niat Anda, komitmen Anda, integritas Anda, cara pandang Anda, paradigma Anda. 

Itulah senjata ampuh dalam menghadapi pasang surut kehidupan yang tak terprediksi. Kita harus memulainya dari lubuk terdalam diri kita yang paling fundamental, yang oleh Stephen Covey disebut Inside-Out, gerak dari dalam ke luar. 

Mulailah dari paradigma kita. Menurut Covey, "Paradigms are powerful because because they create the lens through wich we see the world. The power of a paradigm shift is the esential power of quantum change, whether that shift is an instaneous or a slow and deliberate process".

Dalam dunia spiritual, kita mengenal istilah dzikir, yang secara etimologis berarti "menyebut", "mengingat", secara terus menerus. Dalam konteks pembaruan paradigma kita terhadap diri sendiri, dzikir bisa dimaknai mengingat, menyebut, meneguhkan hal-hal positif tentang diri sendiri, "Aku Bisa!" 

Mantera itulah yang jika ditindaklanjuti dengan langkah-langkah nyata setiap hari, akan mampu mengubah Anda dari sosok Quitters dan Campers, menjadi manusia Climbers. 

Karena kita secara kodrati dilahirkan dengan satu dorongan inti untuk terus "mendaki", yang bisa dimaknai secara luas dan dinamis. Mendaki secara filosofis yaitu menggerakan tujuan hidup Anda ke depan, ke arah hal-hal positif dan berguna bagi diri Anda dan masyarakat luas, apapun tujuan itu. 

Setiap orang yang sukses sama-sama memiliki dorongan yang mendalam untuk berjuang, untuk maju, untuk meraih cita-cita, dan mewujudkan impian mereka. Langkah pertama yang bisa kita lakukan sangat sederhana, perbarui paradigma Anda. Teguhkan dalam batin dan tindakan Anda, "Aku bisa!"

Daftar bacaan:

Covey, Stephen R. The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness. New York: Simon & Schuster, 2004.

Stoltz, Paul G. Adversity Quotient: Tunrning Obstacles into Opportunities. John Wiley and Sons Inc., 1997.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun