"We who live in concentration camps can remember the men who walked througth the huts comforting others, giving away their last piece of bread. They may have been few in number, but they offer sufficient proof that everything can be taken from a man, but one thing: the last of the human freedoms, to choose one's attitude in any given set of circumtances, to choose one's own way."
Viktor E. Frankl, Man's Search for Meaning, hlm. 75.
"Kami yang hidup di kamp konsentrasi dapat mengingat ketika orang-orang yang berjalan melalui gubuk-gubuk untuk menghibur orang-orang yang lain, mengorbankan potongan roti mereka yang terakhir. Jumlah mereka mungkin sedikit, tetapi itu sudah cukup bukti bahwa segala sesuatu dapat direnggut dari manusia kecuali satu hal, kebebasan terakhir manusia; kebebasan untuk memilih sikapnya sendiri dalam keadaan apapun, kebebasan untuk memilih caranya sendiri."
----------------------------------
Saya mengawali tulisan ini dengan kutipan tersebut bukan karena ingin dianggap sebagai orang terpelajar dan keren, karena membaca buku filsafat eksistensial karya tokoh logoterapi paling terpandang, tetapi dalam rangka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sering menghujam ke lubuk hati paling dalam menjelang tidur. Pertanyaan tersebut terus-menerus menghantui saya berhari-hari, yang menyebabkan sulit tidur atau terbangun tiba-tiba di kesunyian malam. Saya mengalami guncangan eksistensial, karena pertanyaan itu menggugat keberadaan diri saya selama ini. Apa yang sudah kamu lakukan untuk keluargamu, untuk murid-muridmu, untuk lembaga tempat kamu bernaung, untuk masyarakat banyak, dan untuk bangsa ini? Apa yang akan kamu wariskan kepada mereka semua?
Mungkinkah ini semacam fenomena lazim yang dialami oleh manusia yang sudah melewati setengah abad perjalanan hidupnya? Atau hanya saya sendirian yang mengalaminya, sebagai kutukan pengembaraan intelektual?
Membaca lembar demi lembar buku Viktor Frankl, membuat saya tersentak kaget karena menemukan momentum menakjubkan, bagaimana orang yang sedang berada di penghujung kehidupannya, karena menjadi tahanan di kamp konsentrasi NAZI yang paling mengerikan dalam sejarah pun, bisa berbuat sesuatu bagi orang lain, walaupun hanya sekedar bertegur sapa dengan sesama tahanan, menghibur mereka dan memberikan potongan roti terakhir yang ia miliki. Kebermanfaatan bagi sesama itulah yang akan melahirkan kebermaknaan dalam kehidupan seseorang, profesi dan peran apapun yang ia jalani.
Pertanyaannya kemudian mengerucut, dalam kaitannya dengan pengabdian saya sebagai guru di Al-Izhar, karya apa yang akan saya wariskan setelah saya memasuki masa pensiun? Karena generasi seusia saya, "Angkatan tahun 90-an" secara bertahap mulai memasuki masa purnabakti, perlahan namun pasti, karena ini merupakan sebuah proses alamiah yang tak terhindarkan. Kami berharap walaupun nantinya sudah tidak berada di Al-Izhar, semoga segenap karya, gagasan, harapan, dan sipirit kami, tetap mewarnai lembaga ini, tempat kami bertumbuh dan melakukan pengabdian bagi generasi penerus bangsa.
Merdeka Belajar, antara Harapan dan Kenyataan
Pada penghujung tahun 2019, Mas Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makariem yang merupkan alumnus SD Al-Izhar, mencanangkan program Merdeka Belajar yang mencakup empat pilar kebijakan yaitu:
1) perubahan Ujian Nasional menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan observasi karakter peserta didik