2) kebebasan lembaga pendidikan untuk melakukan Ujian Sekolah melalui berbagai model, seperti portofolio, karya tulis, atau bentuk penugasan lainnya
3) penyederhanaan Rencana Pembelajaran menjadi satu halaman sehingga lebih banyak waktu bagi para guru untuk meningkatkan kompetensi dan mendampingi murid-muridnya
4) penyempurnaan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang lebih berkeadilan dengan mempertimbangkan berbagai variabel.
Tidak bermaksud pesimis terhadap gebrakan Mas Menteri, kemudian muncul pertanyaan, bisakah gagasan cemerlang merdeka belajar terwujud, ketika guru-gurunya belum merdeka? Jika mentalitas budaya minta petunjuk, mengharapkan format baku dan seragam, kecanduan Permen (Peraturan Pemerintah, yang sering diguyonkan sebagai permen gula) dan berorientasi pada kekurangan fasilitas sekolah masih menjadi ciri guru-guru kita, bagaimana merdeka belajar bisa terlaksana?
Pengalaman saya berinteraksi dengan para guru dari berbagai wilayah di Tanah Air, pertanyaan dan keluhan itulah yang sering kali terucap dari mereka. Sebagian guru cenderung melihat dengan kacamata kekurangan, sehingga berdampak munculnya rasa putus asa, pasif, dan miskin kreativitas. Mereka menjalankan tugas keseharian hanya sebagai pemenuhan kewajiban agar mendapat gaji untuk menafkahi keluarga. Jika kondisinya demikian muram, apakah bisa diharapkan lahir ide-ide cemerlang, inovasi pembelajaran menarik dan menyenangkan, karya serta prestasi peserta didik, buah dari proses pembelajaran tersebut?
Lalu, strategi apa yang harus dilakukan agar para guru mampu mengubah paradigma, bukan lagi berpusat pada kekurangan, tetapi pada potensi lingkungan yang ada di sekitar sekolah. Sawah, sungai, rawa, kali, tambak, bukit, gunung, hutan, dan sebagainya adalah sumber-sumber belajar yang sangat kaya, jauh lebih lengkap dari pada sekedar ruang laboratorium biologi, kimia atau fisika.
Langkah sederhana yang bisa dilakukan adalah mengajak para guru untuk mengidentifikasi potensi lingkungan di sekitar sekolah, menggunakannya untuk kebaikan dan perbaikan bersama. Dengan cara itulah maka akan menumbuhkan rasa percaya diri, rasa syukur, kreativitas, inovasi, dan semangat untuk terus tumbuh, berkarya serta berbagi dari para guru. Inilah modal paling fundamental dalam mewujudkan merdeka belajar.
3 Mantra: Belajar, Berkarya, dan Mewariskan
Saya merasa sangat beruntung bersama Yayasan Cahaya Guru memiliki ruang-ruang perjumpaan yang kaya dan beragam kesempatan berdiskusi dengan berbagai kalangan, sehingga bisa terus saling belajar dan menginspirasi satu sama lain. Hari ini, Sabtu 7 Maret 2020, saya bersama para peserta Sekolah Guru Kebinekaan mendapat kesempatan berdiskusi dengan Ahmad Bahruddin, penggagas Komunitas Belajar Qaryah Tayyibah di Salatiga, yang mendapat banyak penghargaan dari dalam maupun luar negeri, karena terobosan alternatifnya dalam dunia pendidikan. Beliau datang jauh-jauh dari Salatiga sambil membawa oleh-oleh untuk kami yaitu 20 buku "Pendidikan yang Memerdekakan", yang baru terbit bulan Februari lalu. Yang sangat menarik dari obrolan santai beliau dan isi buku tersebut adalah bagaimana komunitas ini menyiasati "keterbatasan" fasilitas yang mereka miliki, justru menjadi modal untuk merdeka belajar. Anak-anak bisa belajar di manapun, serambi rumah warga, serambi masjid, tempat pertemuan warga desa, bahkan gubuk di pinggir sawah. Terobosan ini hanya bisa dilakukan oleh guru merdeka, mereka hanya fokus pada apa yang dimiliki dan menggunakannya secara optimal dengan segudang kreativitas, inovasi, dan karya yang bisa diwariskan tidak hanya untuk warga Desa Kalibening tempat sekolah ini berada, tetapi untuk dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya.
Dari hasil diskusi tersebut, saya menemukan 3 mantra yang harus saya pegang teguh untuk menjawab pertanyaan dan kegelisaan di atas, yaitu Belajar, Berkarya, dan Mewariskan hingga akhir hayat.
Beberapa tahun menjelang purnabakti di Al-Izhar, saya merasakan betapa pertanyaan "apa yang sudah kamu wariskan?" semakin lantang berkumandang di lubuk hati terdalam. Jika menengok 25 tahun ke belakang, saya menemukan butiran-butiran warisan tersebut, berupa berbagai program sekolah dan metode pembelajaran yang saya rancang dalam mewujudkan merdeka belajar. Penelitian Lingkungan Aspek Sosial dan Alam (PLASA) yang bertujuan untuk melatih keterampilan meneliti, menumbuhkan wawasan kebangsaan dan nilai-nilai kemanusiaan, adalah satu diantaranya.Â