Mohon tunggu...
Drs. Komar M.Hum.
Drs. Komar M.Hum. Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Al-Izhar dan Fasilitator Yayasan Cahaya Guru

Berbagi dan Menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Agama Menutup Diri dari Imajinasi?

14 April 2018   09:04 Diperbarui: 13 Mei 2018   22:06 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi kaum "sumbu pendek" yang mudah tersulut api amarah, pemelihara dendam dan kebencian, kini saatnya kalian mengakhiri semua itu dengan cara lebih banyak "iqra", membaca dan terus membaca, sehingga menghasilkan perspektif dan kesadaran baru, perluasan horison pengetahuan, serta pendalaman pemahaman. Satu di antara buku yang saya anjurkan untuk kalian baca adalah "BAYANG-BAYANG TUHAN: AGAMA DAN IMAJINASI", karya Yasraf Amir Piliang.

Keluasan dan kedalaman pengetahuan akan mampu membuat kalian lebih jernih dalam berpikir, lebih bijak dalam berucap dan bertindak. Terlebih lagi dalam momentum peringatan Isra Mi'raj saat ini, yang sangat monumental dalam sejarah perkembangan Islam, welas asih dan kearifanlah yang seharusnya dipelihara dan ditumbuhkan.

Agar umat beragama dan bangsa ini tidak terperosok dalam kekonyolan demi kekonyolan yang menguras energi, sudah tiba waktunya kita membuka ruang-ruang interpretasi terhadap fenomena atau realitas keagamaan melalui beragam pendekatan, termasuk pendekatan kebudayaan.

Agama merupakan gerak pendulum antara kepatuhan dan aturan, antara hasrat dan pembatasan, antara doktrin dan kreativitas, antara ajaran dan imajinasi.

www.goodreads.com
www.goodreads.com
AGAMA MEMERLUKAN IMAJINASI, karena ia adalah proses "pembacaan" terhadap ayat atau tanda ketuhanan. Membaca tanda ketuhanan tidak mungkin tanpa kapasitas imajinasi, yaitu membayangkan realitas yang ditandai. Agama tidak bisa hidup tanpa peran imajinasi, termasuk imajinasi tentang yang transenden. Orang harus membayangkan Tuhan, malaikat, iblis, surga, neraka, dan tidak dianjurkan memanifestasikannya ke dalam wujud-wujud konkret.

Oleh karena itu agar telaah agama dan realitas keberagamaan menjadi sebuah kajian yang hidup, dinamis, dan produktif, diperlukan keberanian untuk mengubah sudut pandang, menggeser teropong epistimologis, dan mengganti pisau analisis, sehingga  bisa membentangkan panorama yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Agama selama ini selalu dikaitkan dengan dunia kepatuhan, kebiasaan, pengulangan, tradisi atau sesuatu yang "a taken for granted". Seolah-olah tidak ada ruang bagi daya kritis, reinterpretasi, dan kreativitas. Tidak ada celah bagi terobosan, kebaruan, inovasi, dekonstruksi, dan diversifikasi. Sehingga bagi sebagian kalangan, atmosfer keagamaan seperti ini sangat memenjarakan dan membosankan.

Dalam kondisi seperti ini, ketika muncul gerakan alternatif agama, cara baru dalam ritual, metode baru dakwah, semua itu menimbulkan masalah, kontradiksi, bahkan konflik, karena dianggap menunjukan sifat-sifat ketidaktetapan, penyimpangan, abnormalitas, ketidakpatuhan, dan pengingkaran. Segala kebaruan itu dipandang sebagai produk angan-angan, khayalan, dan imajinasi artifisial manusia semata yang bertentangan dengan "kehendak Tuhan".

Pandangan di atas mengundang pertanyaan, apakah imajinasi, reinterpretasi, dan kreativitas tidak memiliki tempat di dalam kehidupan beragama? 

Jika dikaji dengan cermat, sejarah kenabian, diwarnai dengan lukisan imajinatif, tentang sebuah "umat terbayangkan" yang berupaya diwujudkan melalui perjuangan sungguh-sungguh, konsisten, berkelanjutan, pantang menyerah, dan bahkan dengan pengorbanan diri. Itulah yang dimaksud dengan "imajinasi kerasulan", yaitu sebuah bayangan masa depan umat yang berdasarkan wahyu Tuhan.

Dalam peradaban Islam, kekuatan imajinasi bahkan hidup dalam dunia keseharian, terutama pada zaman kejayaan peradaban Islam. Pada waktu itu imajinasi tentang jagat raya, dunia fisika bahkan metafisika, mewarnai kesadaran kolektif umat, sehingga mampu menghasilkan banyak gagasan dan penemuan besar bagi dunia pemikiran, filsafat, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Penemuan aljabar, astronomi, dan kedokteran adalah beberapa di antara produk kekuatan imajinasi umat.

Imajinasi adalah mekanisme psikis dalam melihat, melukiskan, membayangkan, atau memvisualkan sesuatu di dalam struktur kesadaran, yang menghasilkan sebuah citra pada otak. Namun, apa yang kita bayangkan dapat berasal dari dunia luar atau di dalam dunia mental itu sendiri. Imajinasi adalah struktur mental mengenai bagaimana seseorang membuat potret dunia, yaitu konsepsi, representasi, dan makna dunia, dengan sudut pandang, perasaan, logika, dan keyakinan tertentu. Jadi secara sederhana imajinasi dapat disimpulkan sebagai proses kreatif dalam memaknai diri dan dunia sekitar kita.

Lalu bagaimana kita melakukan pembacaan terhadap "teks suci"? Dalam konteks praktik dan pembacaan kultural teks keagamaan, ada dua orientasi, yaitu: 1) Orientasi vertikal transenden teologis (orientasi makna ke arah yang dianggap asli), dikenal sebagai interpretasi retrospektif, yang cenderung tertutup. 2) Orientasi horisontal imanen humanistik, yang secara kultural dibangun dalam kehidupan sehari-hari, disebut dengan istilah interpretasi prospektif, yang lebih terbuka. Meski teks keagamaan adalah produk "sabda Tuhan", sabda itu sendiri terbuka untuk diinterpretasikan dan digunakan oleh komunitas tertentu, berdasarkan kondisi sosial dan kultural yang ada.

Dalam lingkungan sosial dan kulturalnya itulah teks suci menjadi sistem teks terbuka untuk terus menerus diinterpretasi. Secara kultural, ia terbuka terhadap berbagai model pembacaan sesuai dengan beragam kondisi, kebiasaan, dan idiologi kultural yang berkembang pada masyarakat tersebut. Di dalamnya proses pengodean, pemahaman kode, dan pengodean ulang sering dilakukan. Teks-teks keagamaan direkontekstualisasikan pada situasi dan lingkungan baru. Rekontekstualisasi mengandung arti bahwa teks suci dapat ditempatkan di dalam konteks pembacaan yang plural sesuai dengan pluralitas konteks sosial ketika teks itu diinterpretasikan dan dipraktikan.

Sebuah teks diciptakan bukan di dalam ruang hampa, melainkan pada sebuah konteks ruang dan waktu konkret. Karena itu, mesti ada relasi antara sebuah teks dengan teks lain di dalam relasi yang meruang dan mewaktu. Intertekstualitas adalah kondisi kesalingbergantungan sebuah teks dengan teks lain. Dengan cara seperti inilah kita bisa mengharapkan kondisi keagamaan yang dinamis, terbuka, dan membentuk pribadi-pribadi umat yang kreatif. Pribadi yang kreatif adalah pribadi cerdas, terbuka, disiplin, penuh imajinasi, memiliki rasa bangga, penuh gairah, kritis, dan mencintai apa yang mereka kerjakan. 

Agama dapat dipandang sebagai sebuah medan atau domain yang struktur dan sifat-sifatnya bisa mendorong atau menghambat kreativitas. Medan keagamaan yang konservatif akan menghambat pertumbuhan imajinasi, pembaruan, ide-ide baru, dan terobosan yang mencerahkan. Sebaliknya, medan keagamaan yang progresif akan memberi ruang hidup bagi berbagai imajinasi dan kreativitas yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Karena itu, ketertutupan, kebekuan perspektif dan kedangkalan wawasanlah yang menjadi sumber berbagai masalah serta kedunguan tindakan sebagian kalangan dalam masyarakat kita selama ini. Maka, satu-satunya jalan keluar dari pusaran kebodohan tersebut adalah membaca, membaca, dan membaca. Iqra!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun