Lalu bagaimana kita melakukan pembacaan terhadap "teks suci"? Dalam konteks praktik dan pembacaan kultural teks keagamaan, ada dua orientasi, yaitu: 1) Orientasi vertikal transenden teologis (orientasi makna ke arah yang dianggap asli), dikenal sebagai interpretasi retrospektif, yang cenderung tertutup. 2) Orientasi horisontal imanen humanistik, yang secara kultural dibangun dalam kehidupan sehari-hari, disebut dengan istilah interpretasi prospektif, yang lebih terbuka. Meski teks keagamaan adalah produk "sabda Tuhan", sabda itu sendiri terbuka untuk diinterpretasikan dan digunakan oleh komunitas tertentu, berdasarkan kondisi sosial dan kultural yang ada.
Dalam lingkungan sosial dan kulturalnya itulah teks suci menjadi sistem teks terbuka untuk terus menerus diinterpretasi. Secara kultural, ia terbuka terhadap berbagai model pembacaan sesuai dengan beragam kondisi, kebiasaan, dan idiologi kultural yang berkembang pada masyarakat tersebut. Di dalamnya proses pengodean, pemahaman kode, dan pengodean ulang sering dilakukan. Teks-teks keagamaan direkontekstualisasikan pada situasi dan lingkungan baru. Rekontekstualisasi mengandung arti bahwa teks suci dapat ditempatkan di dalam konteks pembacaan yang plural sesuai dengan pluralitas konteks sosial ketika teks itu diinterpretasikan dan dipraktikan.
Sebuah teks diciptakan bukan di dalam ruang hampa, melainkan pada sebuah konteks ruang dan waktu konkret. Karena itu, mesti ada relasi antara sebuah teks dengan teks lain di dalam relasi yang meruang dan mewaktu. Intertekstualitas adalah kondisi kesalingbergantungan sebuah teks dengan teks lain. Dengan cara seperti inilah kita bisa mengharapkan kondisi keagamaan yang dinamis, terbuka, dan membentuk pribadi-pribadi umat yang kreatif. Pribadi yang kreatif adalah pribadi cerdas, terbuka, disiplin, penuh imajinasi, memiliki rasa bangga, penuh gairah, kritis, dan mencintai apa yang mereka kerjakan.Â
Agama dapat dipandang sebagai sebuah medan atau domain yang struktur dan sifat-sifatnya bisa mendorong atau menghambat kreativitas. Medan keagamaan yang konservatif akan menghambat pertumbuhan imajinasi, pembaruan, ide-ide baru, dan terobosan yang mencerahkan. Sebaliknya, medan keagamaan yang progresif akan memberi ruang hidup bagi berbagai imajinasi dan kreativitas yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Karena itu, ketertutupan, kebekuan perspektif dan kedangkalan wawasanlah yang menjadi sumber berbagai masalah serta kedunguan tindakan sebagian kalangan dalam masyarakat kita selama ini. Maka, satu-satunya jalan keluar dari pusaran kebodohan tersebut adalah membaca, membaca, dan membaca. Iqra!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H