Mohon tunggu...
Drs. Komar M.Hum.
Drs. Komar M.Hum. Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Al-Izhar dan Fasilitator Yayasan Cahaya Guru

Berbagi dan Menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bagaimana Kita Memahami Alam Semesta?

2 Desember 2017   11:15 Diperbarui: 2 Desember 2017   22:19 1888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tuhan", kata antelope, "adalah pelari, gesit dan merdeka, yang suka melompat dan berpacu dengan angin."

"Ia adalah pohon besar,'' gumam pohon dedalu, bagian dunia yang senantiasa tumbuh dan selalu memberi..."

"Ia adalah pemburu handal," aum singa.

"Tuhan itu lembut," kicau burung robin.

"Ia sangat perkasa," geram beruang.

"Hentikanlah...." Seru gunung, lembah dan bebatuan.

Lalu suasana cukup lama menjadi hening dan mencekam.... Mereka terdiam, dan akhirnya bisa mendengar.... dan melihat Tuhan di antara satu sama lain. Dalam keindahan seisi bumi. (Douglas Wood)

Sebuah kesempatan yang berharga bagi saya karena beberapa waktu yang lalu  bisa mengikuti kuliah umum dari Prof. Brian P. Schmidt, pemenang penghargaan Nobel tahun 2011 untuk bidang  kajian Supernova dan Alam Semesta Mengembang.

Bagi saya yang tidak memiliki latar belakang pendidikan formal Fisika dan Astronomi, kuliah umum ini sangat membuka wawasan baru dalam memahami Alam Semesta yang bermuara pada pemahaman siapa sesungguhnya diri kita. Pemahaman tersebut akan selalu tumbuh, seiring dengan semakin kayanya sudut pandang yang kita gunakan. Karena "kebenaran absolut" tidak akan pernah kita raih, maka keterbukaan untuk selalu memperkaya perspektif dalam memahami realitas merupakan suatu keharusan.

Sebagian dari kita yang sangat berambisi untuk mencapai "kebenaran absolut" tersebut,  menyandarkan dirinya pada konsep yang disebut dengan "Tuhan". Padahal jika kita mau jujur, konsep tersebut sebenarnya lebih banyak menimbulkan pertanyaan dan membuka kotak pandora daripada memberikan jawaban dan solusi dari rangkaian masalah yang kita hadapi.  "Tuhan" dijadikan sebagai pelarian dari kemalasan dan ketidak berdayaan kita dalam menjawab rentetan pertanyaan yang sering  membuat frustasi. Ada implikasi yang mengerikan jika sudut pandang ini mengeras dan menjadi dogma beku yang menolak adanya perspektif lain diluar konsep "Tuhan". Ini yang kita sebut sebagai "fundamentalisme" yang tidak jarang tampil dengan wajah beringas dan penuh kekerasan.

Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa beberapa ayat pada kitab suci (misalnya Al-Qur'an) terdapat kajian tentang sains. Tetapi itu harus dipahami secara metaforik, karena sebagian dari ayat tersebut memliki makna yang berlapis (ayat-ayat mutasyabihat). Penafsiran yang tekstual tidak hanya akan mempersempit pemahaman, tetapi juga sering kali menimbulkan kebingungan sipenafsir karena realitas di luar sana terus berkembang. Bagi saya, ayat-ayat tentang sains tersebut, bukan merupakan substansi tentang sainsnya, tetapi merupakan spirit agar manusia terus melakukan pembacaan, pengkajian dan penelitian tentang fenomena alam yang maha luas ini.

Kebenaran Perspektif dalam Proses Inquiry Learning

Beberapa tahun yang lalu dewan kota Monza, Italia, melarang warganya memelihara ikan emas di dalam toples lengkung. Penjelasannya adalah kejam memelihara ikan di dalam toples lengkung karena, ketika menatap ke luar toples, ikan akan mengalami pembelokan pandangan mengenai kenyataan. Namun apakah  kita mengetahui bahwa kita mempunyai gambaran kenyataan yang benar dan tidak terbelokkan? Tidak mungkinkah kita sendiri sedang berada dalam  toples ikan raksasa dan pandangan kita terbelokkan oleh lensa-lensa yang sangat besar? Apakah yang kita lihat, rasakan dan alami benar-benar nyata? Sehingga filosof David Hume (1711-1776) memiliki pandangan  bahwa meskipun kita tidak mempunyai alasan kuat untuk memercayai kenyataan obyektif, kita tidak mempunyai pilihan selain bertindak seolah-olah itu ada.

Sebagai contoh bagaimana keragaman perspektif perlu kita tumbuhkan dalam dunia pendidikan, pada awal pertemuan pembahasan materi "Tata Surya dan Jagat Raya" untuk kelas X (sepuluh) SMA,  saya mengajukan pertanyaan: "Apakah Alam Semesta ini abadi atau berawal dan berakhir?" Sebagian besar siswa menjawab: "berawal dan berakhir". Sebagian kecil yang menjawab: "abadi". Ketika saya meminta penjelasan lebih lanjut mengapa menjawab Alam Semesta berawal dan berakhir? Secara umum  jawabannya adalah karena dijelaskan pada kitab suci (Al-Qur'an), di mana ada proses penciptaan dan ada proses penghancuran. Sedangkan yang menjawab: abadi, mereka menjelaskan bahwa awal Alam Semesta kita merupakan akhir dari Alam Semesta sebelumnya, dan akhir dari alam semesta kita merupakan awal Alam Semesta berikutnya. Jadi, Alam Semesta merupakan serangkaian proses tanpa akhir.

Kisah tersebut mencerminkan dua sudut pandang yang berbeda dalam memahami Alam Semesta yang misterius ini, Yang satu mewakili sudut pandang "linear" dalam memahami proses sejarah. Ada masa penciptaan dan ada saat penghacuran. Mirip seperti kita menyaksikan teater, ada saat di mana tirai panggung dibuka sebagai awal pertunjukan dimulai, dan ada saat tirai ditutup sebagai tanda akhir pertunjukan, Yang lainnya mewakili sudut pandang "sirkuler" dalam memahami proses sejarah, di mana awal dari sesuatu, merupakan akhir dari sesuatu sebelumnya.

Permasalahannya adalah, bagaimana kita bisa memahami perbedaan sudut pandang tersebut sebagai bagian dari kekayaan pemahaman kita terhadap realitas? Apakah kita menutup diri atau terbuka terhadap beragam perspektik? Ini adalah sebuah kesadaran yang harus ditanamkan kepada para seserta didik dan merupakan esensi dari proses "Inquiry Learning", di mana setiap siswa diberikan kebebasan untuk menggunakan sudut pandang yang beragam dalam memahami setiap permasalahan, dan membangun pemahaman yang bermakna bagi dirinya. Karena kebermaknaan wawasan pengetahuan harus muncul dari dalam diri  setiap siswa, bukan didoktrinkan dari pihak luar.

Brian P. Schmidt dan Perluasan Perspektif

"Dan tidakkah kalian perhatikan bahwa sesungguhnya langit dan bumi itu pada asal mulanya merupakan sesuatu yang satu dan padu.  kemudian kami pisahkan antara keduanya?" (Q.S. Al-Anbiya: 30)

Prof. Schmidt  (lahir 24 Pebruari 1967)  adalah seorang guru besar Astronomi pada Australian Nationan University (ANU) yang memenangkan  hadiah Nobel tahun 2011 untuk  kajian Percepatan Ekspansi Alam Semesta (Expansion of the Universe is Accelerating).

Saya tidak akan terlalu jauh masuk ke masalah teknis ilmiah kajian Astronomi/ Astrofisika, tetapi paling tidak menurut pemahaman saya, ekspansi Alam Semesta  merupakan implikasi dari Dentuman Besar (Big Bang) yaitu peristiwa yang menyebabkan pembentukan Alam Semesta kita sekitar 13,7 miliar tahun lalu, yang pada awalnya dalam keadaan sangat panas dan padat, mengembang secara terus menerus hingga hari ini. Secara sederhana, pengembangan ruang semesta yang mengandung galaksi-galaksi dianalogikan seperti roti kismis yang mengembang, atau balon yang permukaannya kita beri titik-titik hitam (sebagai simbol galaksi-galaksi) yang terus ditiup sehingga membesar. Maka secara otomatis jarak titik-titik ini akan terus saling menjauh.

Teleskop Space Hubble (1998) menyaksikan bahwa pengembangan ini mengalami percepatan dari waktu ke waktu. Pertanyaannya adalah: apakah yang menyebabkan percepatan pengembangan  ini? Padahal energi gravitasi yang dimiliki oleh planet-planet dan bintang-bintang justru bekerja sebaliknya, menarik benda-benda semakin merapat. Ada kekuatan misterius, yang jauh lebih besar daripada gravitasi, yang menarik batas Alam Semesta sehingga semakin meluas. Kekuatan misterius ini disebut Dark Energy.

"Dan, langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan (Kami) benar-benar meluaskannya." (Q.S. Adz-Dzariyat: 47)

Ini adalah perspektif baru dalam memahami Alam Semesta kita, karena sebelumnya yang menjadi rujukan adalah Teori  Keadaan Tetap yaitu model asal usul alam semesta di mana materi baru terus menerus dibuat ketika alam semesta mengembang. Akibatnya, walaupun Alam Semesta mengembang, alam semesta tidak berubah dan tidak ada awal ataupun akhir. Walaupun populer pada awal abad ke-20, teori ini kini ditolak oleh sebagian besar astronom profesional dan ilmuwan lain karena bukti pengamatan menunjukkan kebenaran model ledakan dahsyat dan usia alam semesta yang terbatas. Bukti yang dianggap meruntuhkan teori ini adalah radiasi latar gelombang mikro-kosmik yang diprediksi oleh model ledakan dahsyat.

Kajian tentang percepatan pengembangan Alam Semesta terkait erat dengan Energi Gelap (Dark Energy) yaitu suatu bentuk hipotesis dari energi yang mengisi seluruh ruang dan memiliki "tekanan negatif" yang kuat. Menurut  teori relativitas umum, efek dari adanya tekanan negatif secara kualitatif serupa dengan memiliki gaya pada skala besar yang bekerja secara berlawanan terhadap gravitasi. Menggunakan efek seperti itu sekarang merupakan cara yang sering dilakukan untuk menjelaskan pengamatan mengenai pengembangan Alam Semesta yang dipercepat dan juga adanya bagian besar dari massa yang hilang di alam semesta.

Berikutnya adalah apa yang disebut dengan Materi Gelap (Dark Matter) yaitu materi yang tidak dapat dideteksi dari radiasi yang dipancarkan atau penyerapan radiasi yang datang ke materi tersebut, tetapi kehadirannya dapat dibuktikan dari efek gravitasi materi-materi yang tampak seperti bintang dan galaksi. Perkiraan tentang banyaknya materi di dalam Alam Semesta berdasarkan efek gravitasi selalu menunjukkan bahwa sebenarnya ada jauh lebih banyak materi daripada materi yang dapat diamati secara langsung (Ordinary Matter).

Pemahaman saya selama ini terhadap ruang antar planet dan antar galaksi adalah ruang hampa dari materi dan energi, ternyata dalam kajian Kosmologi terkini, tidak ada ruang di seluruh alam semesta ini yang hampa dari materi dan energi. Jadi kemanapun kita memalingkan wajah, di situlah terdapat "energy" dan "materi". Disinilah pentingnya keterbukaan untuk menerima beragam perspektif dalam memahami berbagai realitas yang ada, mulai dari partikel sub atomik hingga bentangan Alam Semesta yang maha luas ini. Tanpa kerendahan hati untuk membuka diri, maka kita akan terkurung oleh dogmatisme beku yang berakar dari keyakinan yang sering kali tidak merujuk pada bukti-bukti yang meyakin

"Kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu berpaling di situlah wajah Allah." (QS. Al-Baqarah:115)

Sebagai penutup, izinkanlah saya mengutip ungkapan yang sangat indah dari seorang fisikawan Amerika yang memenangkan penghargaan Nobel tahun 1979, yaitu Steven Weinberg, sebagai berikut:

"Some people have views of God  that are so broad and flexible that it is inevitable that they will find God wherever they look for him. One hears it said that 'God is the ultimate' or 'God is our better nature' or 'God is the universe'. Of course, like any other word, the word 'God' can be given any meaning we like. If you want to say that 'God is energy', then you can find God in a lump of coal." (Steven Weinberg)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun