Mohon tunggu...
Drs. Komar M.Hum.
Drs. Komar M.Hum. Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Al-Izhar dan Fasilitator Yayasan Cahaya Guru

Berbagi dan Menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bagaimana Kita Memahami Alam Semesta?

2 Desember 2017   11:15 Diperbarui: 2 Desember 2017   22:19 1888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebenaran Perspektif dalam Proses Inquiry Learning

Beberapa tahun yang lalu dewan kota Monza, Italia, melarang warganya memelihara ikan emas di dalam toples lengkung. Penjelasannya adalah kejam memelihara ikan di dalam toples lengkung karena, ketika menatap ke luar toples, ikan akan mengalami pembelokan pandangan mengenai kenyataan. Namun apakah  kita mengetahui bahwa kita mempunyai gambaran kenyataan yang benar dan tidak terbelokkan? Tidak mungkinkah kita sendiri sedang berada dalam  toples ikan raksasa dan pandangan kita terbelokkan oleh lensa-lensa yang sangat besar? Apakah yang kita lihat, rasakan dan alami benar-benar nyata? Sehingga filosof David Hume (1711-1776) memiliki pandangan  bahwa meskipun kita tidak mempunyai alasan kuat untuk memercayai kenyataan obyektif, kita tidak mempunyai pilihan selain bertindak seolah-olah itu ada.

Sebagai contoh bagaimana keragaman perspektif perlu kita tumbuhkan dalam dunia pendidikan, pada awal pertemuan pembahasan materi "Tata Surya dan Jagat Raya" untuk kelas X (sepuluh) SMA,  saya mengajukan pertanyaan: "Apakah Alam Semesta ini abadi atau berawal dan berakhir?" Sebagian besar siswa menjawab: "berawal dan berakhir". Sebagian kecil yang menjawab: "abadi". Ketika saya meminta penjelasan lebih lanjut mengapa menjawab Alam Semesta berawal dan berakhir? Secara umum  jawabannya adalah karena dijelaskan pada kitab suci (Al-Qur'an), di mana ada proses penciptaan dan ada proses penghancuran. Sedangkan yang menjawab: abadi, mereka menjelaskan bahwa awal Alam Semesta kita merupakan akhir dari Alam Semesta sebelumnya, dan akhir dari alam semesta kita merupakan awal Alam Semesta berikutnya. Jadi, Alam Semesta merupakan serangkaian proses tanpa akhir.

Kisah tersebut mencerminkan dua sudut pandang yang berbeda dalam memahami Alam Semesta yang misterius ini, Yang satu mewakili sudut pandang "linear" dalam memahami proses sejarah. Ada masa penciptaan dan ada saat penghacuran. Mirip seperti kita menyaksikan teater, ada saat di mana tirai panggung dibuka sebagai awal pertunjukan dimulai, dan ada saat tirai ditutup sebagai tanda akhir pertunjukan, Yang lainnya mewakili sudut pandang "sirkuler" dalam memahami proses sejarah, di mana awal dari sesuatu, merupakan akhir dari sesuatu sebelumnya.

Permasalahannya adalah, bagaimana kita bisa memahami perbedaan sudut pandang tersebut sebagai bagian dari kekayaan pemahaman kita terhadap realitas? Apakah kita menutup diri atau terbuka terhadap beragam perspektik? Ini adalah sebuah kesadaran yang harus ditanamkan kepada para seserta didik dan merupakan esensi dari proses "Inquiry Learning", di mana setiap siswa diberikan kebebasan untuk menggunakan sudut pandang yang beragam dalam memahami setiap permasalahan, dan membangun pemahaman yang bermakna bagi dirinya. Karena kebermaknaan wawasan pengetahuan harus muncul dari dalam diri  setiap siswa, bukan didoktrinkan dari pihak luar.

Brian P. Schmidt dan Perluasan Perspektif

"Dan tidakkah kalian perhatikan bahwa sesungguhnya langit dan bumi itu pada asal mulanya merupakan sesuatu yang satu dan padu.  kemudian kami pisahkan antara keduanya?" (Q.S. Al-Anbiya: 30)

Prof. Schmidt  (lahir 24 Pebruari 1967)  adalah seorang guru besar Astronomi pada Australian Nationan University (ANU) yang memenangkan  hadiah Nobel tahun 2011 untuk  kajian Percepatan Ekspansi Alam Semesta (Expansion of the Universe is Accelerating).

Saya tidak akan terlalu jauh masuk ke masalah teknis ilmiah kajian Astronomi/ Astrofisika, tetapi paling tidak menurut pemahaman saya, ekspansi Alam Semesta  merupakan implikasi dari Dentuman Besar (Big Bang) yaitu peristiwa yang menyebabkan pembentukan Alam Semesta kita sekitar 13,7 miliar tahun lalu, yang pada awalnya dalam keadaan sangat panas dan padat, mengembang secara terus menerus hingga hari ini. Secara sederhana, pengembangan ruang semesta yang mengandung galaksi-galaksi dianalogikan seperti roti kismis yang mengembang, atau balon yang permukaannya kita beri titik-titik hitam (sebagai simbol galaksi-galaksi) yang terus ditiup sehingga membesar. Maka secara otomatis jarak titik-titik ini akan terus saling menjauh.

Teleskop Space Hubble (1998) menyaksikan bahwa pengembangan ini mengalami percepatan dari waktu ke waktu. Pertanyaannya adalah: apakah yang menyebabkan percepatan pengembangan  ini? Padahal energi gravitasi yang dimiliki oleh planet-planet dan bintang-bintang justru bekerja sebaliknya, menarik benda-benda semakin merapat. Ada kekuatan misterius, yang jauh lebih besar daripada gravitasi, yang menarik batas Alam Semesta sehingga semakin meluas. Kekuatan misterius ini disebut Dark Energy.

"Dan, langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan (Kami) benar-benar meluaskannya." (Q.S. Adz-Dzariyat: 47)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun