"Tuhan", kata antelope, "adalah pelari, gesit dan merdeka, yang suka melompat dan berpacu dengan angin."
"Ia adalah pohon besar,'' gumam pohon dedalu, bagian dunia yang senantiasa tumbuh dan selalu memberi..."
"Ia adalah pemburu handal," aum singa.
"Tuhan itu lembut," kicau burung robin.
"Ia sangat perkasa," geram beruang.
"Hentikanlah...." Seru gunung, lembah dan bebatuan.
Lalu suasana cukup lama menjadi hening dan mencekam.... Mereka terdiam, dan akhirnya bisa mendengar.... dan melihat Tuhan di antara satu sama lain. Dalam keindahan seisi bumi. (Douglas Wood)
Sebuah kesempatan yang berharga bagi saya karena beberapa waktu yang lalu  bisa mengikuti kuliah umum dari Prof. Brian P. Schmidt, pemenang penghargaan Nobel tahun 2011 untuk bidang  kajian Supernova dan Alam Semesta Mengembang.
Bagi saya yang tidak memiliki latar belakang pendidikan formal Fisika dan Astronomi, kuliah umum ini sangat membuka wawasan baru dalam memahami Alam Semesta yang bermuara pada pemahaman siapa sesungguhnya diri kita. Pemahaman tersebut akan selalu tumbuh, seiring dengan semakin kayanya sudut pandang yang kita gunakan. Karena "kebenaran absolut" tidak akan pernah kita raih, maka keterbukaan untuk selalu memperkaya perspektif dalam memahami realitas merupakan suatu keharusan.
Sebagian dari kita yang sangat berambisi untuk mencapai "kebenaran absolut" tersebut,  menyandarkan dirinya pada konsep yang disebut dengan "Tuhan". Padahal jika kita mau jujur, konsep tersebut sebenarnya lebih banyak menimbulkan pertanyaan dan membuka kotak pandora daripada memberikan jawaban dan solusi dari rangkaian masalah yang kita hadapi.  "Tuhan" dijadikan sebagai pelarian dari kemalasan dan ketidak berdayaan kita dalam menjawab rentetan pertanyaan yang sering  membuat frustasi. Ada implikasi yang mengerikan jika sudut pandang ini mengeras dan menjadi dogma beku yang menolak adanya perspektif lain diluar konsep "Tuhan". Ini yang kita sebut sebagai "fundamentalisme" yang tidak jarang tampil dengan wajah beringas dan penuh kekerasan.
Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa beberapa ayat pada kitab suci (misalnya Al-Qur'an) terdapat kajian tentang sains. Tetapi itu harus dipahami secara metaforik, karena sebagian dari ayat tersebut memliki makna yang berlapis (ayat-ayat mutasyabihat). Penafsiran yang tekstual tidak hanya akan mempersempit pemahaman, tetapi juga sering kali menimbulkan kebingungan sipenafsir karena realitas di luar sana terus berkembang. Bagi saya, ayat-ayat tentang sains tersebut, bukan merupakan substansi tentang sainsnya, tetapi merupakan spirit agar manusia terus melakukan pembacaan, pengkajian dan penelitian tentang fenomena alam yang maha luas ini.