Seperti yang kita ketahui, Indonesia memiliki permasalahan serius di bidang literasi yang dibuktikan oleh indeks minat baca masyarakat yang rendah. Berdasarkan data UNESCO pada tahun 2012, hanya 0,001% masyarakat Indonesia yang memiliki minat baca. Jika diibaratkan, dari 1000 orang, hanya satu orang yang memiliki minat dan aktif dalam membaca. Empat tahun setelahnya, pada 2016, Central Connecticut State University pun merilis hasil riset berjudul World's Most Literate Nations Ranked yang menempatkan Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei, berada sangat jauh dari negara tetangga, seperti Singapura (36), Malaysia (53), dan Thailand (59). Data terbaru dari Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 pun menunjukkan skor literasi Indonesia masih relatif rendah dari negara lain.Â
Pertanyaannya adalah, benarkah minat baca masyarakat Indonesia saat ini benar begitu rendah?
Mari kita lihat data menurut survey yang telah dilaksanakan Perpustakaan Nasional Indonesia pada tahun 2023 mengenai tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia. Dapat diperoleh kenaikan tingkat kegemaran membaca tahun 2023 naik sebesar 3,19 dan berada pada angka 66,77 jika dibandingkan dengan indeks pada tahun 2022 yang sebesar 63,58Â
Pada tahun 2022, angka kegemaran membaca sebesar 63,90 (tinggi), tahun 2021 sebesar 59,52 (sedang), tahun 2020 sebesar 55,74 (sedang), tahun 2019 sebesar 53,48 (sedang), tahun 2018 sebesar 52,92 (sedang), dan tahun 2017 sebesar 36,48 (rendah). Data tersebut menunjukkan bahwa ada peningkatan minat baca masyarakat Indonesia dari tahun 2017 hingga tahun 2023.
Jika tingkat minat membaca masyarakat Indonesia kian membaik, mengapa kemampuan literasi Indonesia masih relatif rendah?
Ada beberapa faktor yang dapat menjawab pertanyaan di atas. Minimnya motivasi diri, pengaruh penggunaan perangkat pintar, lingkungan yang tidak mendukung, dan yang terpenting adalah terbatasnya akses terhadap buku.Â
Memang sebagian masyarakat memiliki hak istimewa untuk mendapatkan akses buku dengan membeli buku cetakan orisinil. Namun, bagaimana dengan sebagian lainnya yang bahkan kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan perutnya sendiri?Â
Bagi sebagian masyarakat, buku merupakan barang mewah yang tak jarang membuat mereka enggan membeli. Mahalnya harga buku di Indonesia menjadi satu hambatan bagi masyarakat untuk mengakses bacaan berkualitas. Harga sekarang saja daya beli buku masih relatif rendah, apalagi jika PPN 12% diterapkan? Buku yang bukan bahan pokok tentu saja akan terdampak oleh kenaikan pajak dan menyebabkan tercekiknya pelaku industri penerbitan dan juga masyarakat yang terkena dampaknya. Karena itu, perlu pertimbangan untuk kebijakan terhadap pajak buku. Setidaknya, buku referensi, ilmu pengetahuan, dan bacaan literasi dasar memiliki pajak lebih ramah, sehingga masyarakat dapat tetap membeli dengan harga yang terjangkau.
Dalam permasalahan ini, memang perpustakaan dapat menjadi jawaban. Namun, apakah ketersediaan perpustakaan sudah merata di seluruh daerah? Jawabannya tidak.Â