Indonesia merupakan negara hukum dengan sistem hukum yang dimiliki berupa Undang-Undang. Undang-Undang yang ada ini digunakan sebagai dasar untuk pelaksanaan keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang digunakan oleh Indonesia selama beberapa waktu merupakan suatu warisan dari masa kolonial Belanda. KUHP tersebut dikenal dengan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie, yang mana masa berlakunya mulai dari tahun 1918. Namun, KUHP yang telah diberlakukan dari masa kolonial tersebut, dirasa tetap tidak relevan dengan konteks sosial, budaya, serta politik di Indonesia modern meski sudah dilakukan penyesuaian setelah Indonesia merdeka. Dalam upaya untuk menggantikan sistem hukum kolonial Belanda tersebut, akhirnya pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP. Adanya Undang-Undang tersebut akhirnya dijadikan oleh Indonesia sebagai tonggak sejarah penting dalam pembaruan hukum pidana nasional
Perbedaan paling mendasar yang terlihat dari KUHP kolonial dengan UU2023 adalah perbedaan filosofi dasar, pengakuan terhadap hukum adat, pidana alternatif, pengaturan pasal-pasar, hingga pendekatan hukum yang digunakan. Perbedaan pertama terletak pada filosofi dasarnya, di mana hukum pidana pada zaman kolonial berorientasi pada pendekatan represif yang memfokuskan pada penghukuman sebagai alat kontrol sosial. KUHP pada zaman tersebut disusun berdasarkan kebutuhan pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan menjaga stabilitas kekuasaan penjajah. Sedangkan, UU KUHP 2023 sendiri filosofi yang digunakan berlandaskan pada nilai-nilai keadilan restoratif dan reintegratif.
Perbedaan kedua terletak pada pengakuan terhadap hukum adat. KUHP zaman kolonial pada saat itu diketahui mengabaikan hukum adat yang telah hidup lebih lama di masyarakat. Tentunya hal tersebut menjadi pertentangan dengan kenyataan yang ada, bahwa banyak komunitas lokal masih mempraktikkan norma hukum adat dalam kehidupan sehari-harinya.
Perbedaan ketiga terletak pada pidana alternatif, di mana pada KUHP zaman kolonial hukum pidana alternatif tersebut tidak diberlakukan karena pada zaman tersebut hanya ada pidana penjara, denda, dan juga hukuman mati sebagai bentuk utama dari sanksi pidana. Sedangkan, UU KUHP 2023 sendiri mulai menggunakan pidana alternatif seperti pidana kerja sosial dan pidana pengawasan dengan  tujuan memberikan efek jera tanpa harus mengorbankan masa depan dari pelaku.
Perbedaan keempat terletak pada dekriminalisasi dan reformulasi pasal kontroversial. Pada KUHP zaman kolonial terdapat beberapa pasal, seperti Pasal134 tentang Penghinaan terhadap penguasa yang dianggap tidak sesuai dan pada akhirnya dihapuskan serta tidak dipergunakan lagi pada UU KUHP 2023. Sedangkan, pada UU KUHP 2023 sendiri mengatur ulang mengenai delik penghinaan dengan pendekatan yang lebih jelas untuk menjaga kebebasan berekspresi tanpa harus mengorbankan kepentingan dari negara.
Perbandingan antara KUHP peninggalan zaman kolonial dan UU KUHP 2023 menunjukkan perubahan mendasar dalam hal filosofi, pengakuan hukum adat, pidana alternatif, pengaturan pasal, dan juga pendekatan hukum. KUHP kolonial lebih berorientasi pada pendekatan represif dengan tujan utamanya untuk menjaga kekuasaan penjajah, sementara UU KUHP 2023 mengungsung filosofi keadilan restoratif dan reintegratif yang mengutamakan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat.UU KUHP 2023 juga membawa perubahan yang signifikan dalam reformulasi pasal-pasal kontroversial dan pendekatan hukum yang lebih multidimensi. Pasal-pasal seperti penghinaan terhadap penguasa direformulasi untuk menjaga keseimbangan antara kebebas berekspresi dan kepentingan negara, serta delik-deliknya seperti perzinahan dan kohabitasi kini diatur dengan lebih jelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H