Mohon tunggu...
uci ayu
uci ayu Mohon Tunggu... Novelis - penulis

mimpi yang membuatku bertahan mimpi menjadi penulis.......

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Harga Sepotong Kaki

30 November 2022   20:27 Diperbarui: 30 November 2022   20:50 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah dengan bersekolah setinggi-tingginya, pergi ke luar negeri, memiliki ribuan ilmu pengetahuan, lalu duduk di bangku parlemen, sudah cukup untuk mengatakan perempuan sudah merdeka seutuhnya? Sudah merdeka sepenuhnya?

Mengapa setiap kekerasan yang selalu jadi korban melulu perempuan? Adakah laki-laki ketakutan ketika berjalan seorang diri dalam hening malam? Adakah laki-laki menganggap biasa ketika perempuan mengenakan rok mini? Adakah lelaki tak mau tahu lagi tentang isi selangkangan perempuan? Bisakah wanita merdeka untuk bicara apapun tentang tubuhnya, memamerkan tubuhnya tanpa embel-embel hasrat atau berahi?

Persoalan wanita dan pakaiannya kerap dijadikan sebab. Kemudian korban pelecehan seksual atau pemerkosaan yang kebetulan korbannya adalah perempuan, lagi-lagi yang disalahkan adalah tentang pakaiannya. Lalu, beramai-ramai orang berkomentar "Masa gadis baik-baik pulang dini hari" "Gimana ga nafsu penjahat lihat paha bertebaran begitu?" dan gunjingan-gunjingan lain yang melulu menyalahkan perempuan. 

Bahkan perempuan sendiri tak berpihak pada korban pelecehan atau pemerkosaan yang masih kaumnya. Mereka meyakini jika lelaki hanya akan datang ketika diundang. Salah satunya, diundang lewat pakaian "seksi" itu.

Apakah perempuan sudah sepenuhnya merdeka dari ektremisme ini? Kita hampir gila memerangi ini. Indonesia dengan jumlah perempuannya yang lebih banyak tak pernah cukup untuk membungkam aksi kekerasan dalam bentuk apapun terhadap perempuan. Belum lagi, perempuan-perempuan lainnya ikut merundung kaumnya dengan terbuka dan sadar. Sekali lagi, kita hampir gila.

Saat berkendara, naik angkot, mengantri, tubuh perempuan menjadi hal lain yang nikmat sebagai pelampiasan. Sebegitu menawankah tentang punggung, bokong, pinggang, panggul atau aroma rambut wanita, hingga lelaki mesti melakukannya saat itu juga, dalam diam, juga disaksikan puluhan orang hanya untuk meyakini hal itu?

Haruskah perempuan tinggal dalam hunian tak berpenghuni atau tinggal dalam satu koloni yang isinya melulu perempuan agar terhindar dari kekerasan yang ekstrem ini? Sebegitu peliknya soal kekerasan itu. Namun Indonesia kurang garang menuntaskannya. Begitu ada korban, peraturan, kebijakan, dan tulisan media ramai-ramai membahasnya agar terlihat paling mahir. Setelah itu, perempuan apalagi korbannya akan kembali terasing atau malah sengaja diasingkan.

Ketika saya menulis ini, saya mengingat kisah tragis yang terjadi tahun 2017 di Bali pada seorang perempuan yang juga seorang istri. Tahun pasti berganti, tetapi luka fisik dan batin perempuan penyintas yang kehilangan satu kakinya akibat kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya akan tetap membekas. Mungkin, perempuan itu saat ini masih kesakitan karena kakinya ditebas dengan parang hingga putus oleh suaminya sendiri. Suaminya sendiri. Kejadian naas itu terjadi di bulan September tahun 2017. 

Kejadiannya itu memang berlalu, namun batin perempuan itu belum mampu memaafkan. Kisah penyintas kekerasan dalam rumah tangga ini harus berbicara lagi mengenai kejadian yang membuatnya trauma. Baginya tak apa untuk mengingat luka sebab ia tak mau ada perempuan-perempuan lainnya yang turut menjadi korban kengerian ini. Setiap perempuan harus berdaya. Perempuan harus punya insting terhadap hal-hal yang mungkin saja melukainya. Perempuan juga harus kuat menghadapi kenyataan hidup. Menerima bahwa orang yang paling dicintai atau orang yang paling mencintainya, mungkin saja bisa berubah menjadi orang paling menyakiti.

Entah apa yang terjadi di tahun 2017 silam. Alasannya, hanya karena cemburu buta, lalu sang suami bisa melakukan apapun. Termasuk memotong kaki istrinya sendiri dengan sadar. Pemotongan disertai kekerasan ini dilakukan di depan matanya sendiri bahkan disaksikan oleh anak-anaknya. Sungguh, luka batin yang tidak mudah untuk disembuhkan. Pernah sebelumnya, Putu Kariani disulut lehernya menggunakan puntung rokok sebab emosi. Pernah pula suaminya melakukan simulasi menyayat kaki dan perut Kariani. Kariani sempat merasa takut jika hal itu sungguhan terjadi padanya. 

Namun, Kariani berpikir bahwa itu suaminya. Tak mungkin melakukan perbuatan sekeji itu padanya. Tragisnya setelah kedua kaki Putu Kariani tersayat, bersimbah darah, nyaris putus, suaminya berteriak seolah perbuatan itu tidak pernah dilakukannya. Dengan sadar sang suami pun membonceng istrinya dan mengantarnya ke rumah sakit sambil terus melontarkan rasa bersalahnya. Apakah semua kekerasan yang harus ditanggung perempuan ini bisa diselesaikan dengan kata maaf?

Harga sepotong kaki Putu Kariani ini adalah cerita pilu seklaigus cerita mahal yang harus dimaknai oleh setiap perempuan. Cerita ini tentu membuat perempuan lain harusnya terdasar bahwa cinta, kasih sayang, logika, soal masa depan bisa dipikirkan kemudian ketika kekerasan dalam rumah tangga itu nyata dialami. Setidaknya yang terpikirkan yaitu lari dari kekerasan sebab setiap perempuan, apapun statusnya memiliki hak hidup tenang, nyaman, merdeka.

Seorang istri harus memenuhi kebutuhan makan, minum, juga batinnya sendirian di kondisi tanpa kaki sedang sang suami yang seharusnya bertanggung jawab malah di penjara untuk mempertanggung jawabkan hal lain yang tidak ada dalam kesepakatan pernikahan. Ia berusaha memulihkan dirinya sendiri meski banyak bantuan datang padanya. Putu Kariani harus berdamai dengan dirinya sendiri. Ia harus menjalani kehidupan sebagai seorang orang tua tunggal dengan segala konsekuensinya. Ia berani untuk memilih pilihan itu padahal Ia tahu bahwa tidak mudah bagi seorang untuk bekerja hanya dengan satu kaki saja.

Seorang perempuan yang berpikir dulunya bahwa keadaan mati akan lebih baik ini tetap dipaksa hidup untuk "mengingatkan" setiap perempuan bahwa orang yang paling dicintainya bisa saja berubah menjadi paling menyakiti juga. Ni Putu Kariani ingin sekali bicara pada suaminya tentang kaki-kakinya yang telah lebih dahulu meninggalkan tubuhnya sendiri. Kaki-kaki yang seharusnya menopangnya lebih kuat. Kaki-kaki yang diharapkannya dari seorang laki-laki yang menikahinya penuh janji kebahagiaan.

Apakah kaki-kaki itu setara dengan rasa cemburu tak beralasan itu? Masih saja ada yang menyalahkan Kariani yang dianggap sebagai awal sebab suaminya bisa nekat. Dalam kasus Kariani, kekerasan telah dia alami selama bertahun-tahun dan pihak keluarga selalu meminta untuk bersabar.

Putu Kariani pernah pulang dengan kepala benjol berisi cairan dan akhirnya harus dioperasi, contoh lain tubuh disundut rokok, memar-memar, itu terjadi bertahun-tahun tapi dari pihak keluarga menyarankan bertahan dengan harapan suaminya bisa berubah.

Kariani masih mengigau bagaimana parang tajam itu membelah kaki-kakinya hingga terputus dari tubuhnya. Ia memungut lagi air matanya. Sebanyak apapun air mata itu tak akan mampu mengembalikan kaki-kaki yang dulunya kuat bahkan alat mencukupi hidup Kariani dan keluarga. Perempuan tanpa lelaki masih berarti, lantas, perempuan tanpa kaki, bagaimana? Tentang batinnya yang akan terluka ribuan tahun, siapa yang mengobati? Luka psikis ini juga turut membawa separuh hidupnya seperti hilang.

Terlepas dari hal yang dia alami ini, Putu terus berusaha untuk bangkit, semangat lagi, dan kembali menjalani hidupnya bersama kedua anaknya.

Saya tak hendak menakutimu yang telanjur terlahir sebagai perempuan. Tulisan ini hanya ingin membuka mata juga telinga bahwa tidak mudah menjadi perempuan di negeri dengan riwayat kekerasan yang tinggi ini. Yang bisa menolong perempuan terhadap kekerasan yang kerap menimpanya, tiada lain hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang bernama "perempuan" itu sendiri. Mari mengikat diri, saling menyemangati dan melindungi agar kekerasan tak lagi menghantui.

Putu Kariani adalah penyintas kekerasan dalam rumah tangga yang merelakan satu kakinya sebagai ganjaran untuk terlepas dari sebuah hubungan yang toxic. Pengorbanan kaki Putu Kariani memberikan semangat bagi setiap perempuan yang melihatnya, mendengar ceritanya, bahkan perempuan-perempuan terdekat yang mungkin ingin melepaskan diri dari sbeuah hubungan yang bak benalu, tetapi maish berpikir untuk "lari." 

Kisa nyata ini memberi perempuan pemahaman sekaligus kekuatan bahwa perempuan bisa berdiri di atas kakinya sendiri, menghidupi diri, memerdekakan diri serta bisa kuat menghadapi terpaan kehidupan yang lebih sering tidak sesuai dengan yang diharapkan. Semua perempuan bersiap untuk itu dan bersiasat untuk hidup yang tak melulu menawarkan kebahagiaan.  

Lewat narasi yang menyedihkan sekaligus menguatkan dari kisah Putu Kariani ini, perempuan di luar sana, khususnya saya, bisa mengetahui bahka kita (perempuan) memiliki hak dan kewajiban saat mengalami kekerasan.

"Wanita berada di tempat di mana banyak keputusan dibuat. ... Wanita bukan seharusnya menjadi pengecualian." (Ruth Bader Ginsburg)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun