Singaraja -- Selama kehamilan, seorang wanita akan rentan terhadap penyakit. Penyakit yang dialami akan menimbulkan kekhawatiran, apalagi jika dialami selama kehamilan.Â
Salah satu gangguan kesehatan yang perlu diwaspadai adalah tumor rahim saat hamil. Tentunya penyakit ini akan terkait dengan kesehatan janin dalam kandungan yang membuat seorang Ibu khawatir.
Hal ini pun terjadi pada seorang wanita. Sebut saja namanya Mirna. Sore itu, Mirna yang awalnya kelihatan sangat bahagia hendak memeriksa awal kehamilannya ke dokter spesialis kandungan yang dekat dengan rumahnya.Â
Mirna sudah 4 minggu tidak menstruasi. Ia yakin dirinya hamil. Pada saat itu Mirna masih bisa tertawa dan tersenyum. Kebahagiannya membuncah menyambut calon anak keduanya. Anak pertamanya sudah berumur 4 tahun saat ini. Â Jadi tentu saja kehadiran anak kedua sangat dinanti-nantikan oleh Mirna dan keluarga.
Tak dinanya, Mirna dan suami malah mendapatkan berita yang membuat dunia kecil mereka runtuh seketika. Mirna memang hamil. Namun nyawa si jabang bayi dan Ibunya terancam, lantaran terdeteksi benjolan yang terletak persis disebelah rahim.
Dokter melakukan ultrasonografi (usg) eksternal dan internal agar lebih memastikannya. Setelah melakukan ke dua ultrasonografi (usg), barulah Dokter mendiagnosa bahwa Mirna memiliki tumor solid ovarium. Pada saat Dokter memberikan vonis tersebut wajah Mirna terlihat pias sekali. Beragam skenario buruk terus muncul dalam otaknya tanpa bisa dihentikan.
Dengan tenang Mirna bertanya kepada Dokter bagaimana langkah selanjutnya. Dokter pun mengatakan untuk melakukan obsevarsi selama satu bulan. Bila tumor solid ovarium tersebut semakin membesar,mau tidak mau Mirna harus dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar untuk penanganan lebih lanjut.
Keluar dari ruangan pemeriksaan, Mirna tidak henti-hentinya menangis. Menangisi si bayi yang bahkan belum tumbuh sempurna itu dengan pilu.Â
Mirna merasa dunia tidak adil karena memberinya cobaan yang tidak sanggup ia tanggung. Mengapa harus dirinya? Mengapa disaat hamil ada penyakit yang menyertai kehamilannya? Kasihan si bayi malang. Dihantui oleh masa depan yang suram, ketakutan akan kenyataan yang akan datang, pikiran-pikiran negatif pada akhirnya membuat Mirna stress, uring-uringan.
Sesampainya pulang dari dokter kandungan saat itu, Mirna segera saja berjibaku dengan ponsel pintarnya sambil tak henti menangis. Bolak-balik membuka laman halodoc, mencari tahu tentang penyakit yang ia derita. Yang ada dipikirannya saat itu hanya si bayi.
Belum lagi Mirna mengalami fase ngidam yang bisa dibilang cukup parah. Mual terus menerus sampai membawa ember kemana-mana karena tidak bisa menolak keinginan ingin muntah.Â
Tenggorokannya seakan enggan untuk menahan salivanya. Ngidamnya juga membuat ia tak nafsu makan. Mengakibatkan kurangnya nutrisi yang masuk ke tubuh. Berat badan Mirna seketika menurun dratis.
Awalnya Mirna cenderung tidak bisa menerima keadaannya saat itu. Pikirnya, hasil diagnosis dokter bisa saja ada kesalahan. Namun hati kecilnya yang menangis pun tahu yang sebenarnya terjadi.Â
Perasaan frustasi, pilu, marah, sedih, tidak bisa Mirna bendung. Namun sosok-sosok disekitarnya tidak membiarkan Mirna terus merongrong kesedihannya seorang diri. Â Beruntungnya, selalu ada sang suami, keluarga dan orang-orang terdekat memberikannya dukungan dan menguatkan Mirna. Â
Di bulan berikutnya, Mirna dan suami melakukan kontrol kehamilan sekaligus mengecek observasi tumor solid ovarium apakah membesar atau mengecil. Mirna bahagia jabang bayinya tumbuh dengan sehat sesuai dengan tumbuh kembangnya, akan tetapi ternyata tumor solid ovariumnya juga ikut semakin membesar. Mirna merasa semakin tidak berdaya.
Pikiran negatif kembali menghantui Mirna. Memikirkan masa depan anaknya akan bagaimana jadinya. Apakah janinnya akan baik-baik saja? Pikiran-pikiran yang buruk yang mungkin terjadi kembali muncul.Â
Pikiran akan kematian selalu menghantui. Bagaimana kalau ia meninggal? Bagaimana nasib anak pertama mereka? Itulah yang selalu ia pikirkan. Ingin mengiklaskan dan mempasrahkan keadaannya tetapi apalah daya Mirna juga manusia biasa. Ia tidak bisa seketika mengikhlaskan segalanya seperti manusia suci. Mirna hanya manusia biasa yang juga takut akan kematian.
Singkatnya, Mirna akhirnya harus dirujuk ke rumah sakit pusat Sanglah Denpasar. Selama dalam perjalanan dari Buleleng ke Denpasar itu, pikiran Mirna melanglang buana. Tak henti-hentinya memikirkan nasib yang akan dijatuhkan untuk dirinya dan calon bayinya.
Belum lagi memikirkan anak pertamanya yang terpaksa ia titipkan ke Kakak perempuannya. Takut anak pertamanya itu rewel, tidak betah jauh dari Ibu Bapaknya. Mengingat umur anak pertamanya juga masih kecil. Masa pemeriksaannya juga membutuhkan waktu yang mengharuskan Mirna dan Suami untuk menginap di Denpasar. Mirna merasa sedih lagi.
Mual-mual yang dirasakan Mirna selama masa perjalanan ke Denpasar membuatnya sangat tersiksa. Kemana-mana harus membawa ember. Tidak kuat menahan perasan ingin muntah. Biarpun merasa tersiksa akan mual yang dideritanya tetapi Mirna berusaha menahan semua itu demi janin yang dikandungnya.
Selama pemeriksaan ini, Mirna dan Suami bolak-balik Buleleng-Denpasar hampir tiap seminggu sekali. Awalnya semua ini terlalu berat untuk Mirna tanggung. Tapi ia mewanti-wanti dirinya untuk tidak menyerah.Â
Dukungan emosional dari keluarga, terutama Suaminya sangat membantunya di masa-masa terberat dalam hidupnya. Suaminya selalu menghibur diri Mirna disaat ia sudah tak mampu untuk berpikir dengan tenang. Suaminya selalu menasehatinya untuk memasrahkan semuanya kepada para ahli.
Dimulailah tahapan baru pemerikasaan untuk Mirna. Para dokter dari berbagai spesialis bidang mengerubunginya. Jelas Mirna takut sekali. Perasaan Mirna berkecamuk, raut mukanya kentara sekali tegang. Salah satu dokter yang menyadari gelagat anehnya, menanyai Mirna dengan santai berusaha membuatnya rileks.Â
Dalam hatinya perasaan takut itu masih ada. Namun berkat dukungan moril dari orang-orang terkasih, Mirna merasa bisa melalui semua ini. Mirna yakin perasaan sabarnya akan berbuah suatu saat nanti. Orang-orang yang membantunya melewati semua ini, memberinya energi positif untuk bisa berpikir dengan lebih tenang.
Tahapan demi tahapan pemeriksaan sudah Mirna lalui. Ultrasonograf (usg), Magnetic Resonance Imaging (mri), pemeriksaan dalam yang tidak cuma sekali. Sering membuat Mirna mengeluh sakit, tapi ia sangat tabah. Kemudian pada akhirnya para dokter memutuskan tumor solid ovariumnya harus segera diangkat. Mirna harus segera dioperasi.
Kabut hitam ketakutan itu mengerubungi Mirna lagi. Kali ini kabut itu makin pekat. Dokter yang sangat menyadari kondisi mental Mirna, menceritakan segala resiko yang kemungkinan akan terjadi selama operasi.Â
Bukannya membuat hatinya nyaman, justru membuat Mirna makin gamang. Ia menanyakan apakah ada resiko besar akibat operasi ini? Mencelus hatinya saat Dokter memberitahunya bahwa kemungkinan keguguran bisa saja terjadi.
Apa yang harus Mirna lakukan sekarang? Suaminya selalu menasehatinya untuk memasrahkan semuanya. Suaminya tidak ingin Mirna banyak berpikir. Baginya kesembuhan Mirna yang utama. Antara lega tapi juga sedih, Mirna bersiap menanggung segala resiko yang akan ia hadapi kedepannya. Ia tidak boleh terpuruk terus. Bukan demi dirinya seorang. Tapi juga demi calon buah hatinya dan juga orang-orang yang selama ini selalu mendukungnya.Â
Ya, Mirna bisa bertahan untuk orang-orang yang mencintai dan menyayanginya. Saat ini kesembuhan adalah goalnya yang utama. Mirna menyadari hampir tidak ada yang bisa menghentikannya saat itu. Mirna membuang segala perasaan negatif yang masih bersisa itu jauh-jauh kebelakang kepalanya.
Jadwal operasi sudah ditetapkan. H-2 operasi Mirna sudah harus dirawat inap di rumah sakit Sanglah. Ia pun mengikuti segala prosedur yang berlaku. Perasaan Mirna tidak enak. Sebelumnya dalam perjalanannya ke Sanglah, Mirna sempat meminta restu kepada Yang Kuasa, dengan memanjatkan doa di salah satu Pura besar yang ia lewati. Firasatnya jelek lantaran sepulang dari memanjatkan doa, Mirna terjatuh. Siku tangan dan kakinya terluka. Tangisannya tak bisa dibendung. Perasaan tegang nan was-was itu kembali menghampirinya. Apalagi yang bisa ia pikiran memangnya? Mirna takut ini sebuah pertanda.
Hari operasi pun tiba. Saat itu Mirna tidak tahu operasinya akan sepagi ini. Tangan kirinya sudah tertancap infus sejak kemarin. Lalu diboyonglah ia ke ruang operasi. Sekelinting pikiran negatif masih ada.Â
Para dokter yang menanganinya meyambutnya dengan ramah. Mengajaknya bercanda agar Mirna merasa santai dan tidak berat hati. Mengakui dirinya tidak akan bisa menghadapi ini semua dengan mudah, Mirna mensugesti dirinya terus menerus agar tetap kuat. Meyakini dirinya sendiri kalau ia bisa menghadapi ini. Mirna mulai memasrahkan dirinya.
Kini ada berbagai jenis selang kecil yang menancap ditubuhnya. Mulai dari tangan, sampai ke tulang belakang. Mirna tidak tahu apa itu. Tapi kata salah satu dokter yang menanganinya, selang kecil yang menembus 10 cm ke tulang belakangnya itu katanya untuk nutrisi sang bayi. Mirna kembali ingat. Dirinya yang ada di meja operasi saat ini adalah seorang Ibu yang ingin mempertahankan bayinya. Seorang Ibu yang ingin menyelamatkan bayinya. Mirna bertahan karena itu.
Pasca operasi, lautan kesakitan langsung menghantamnya. Tumor itu berhasil diangkat. Mirna bersyukur, tapi efek dosis bius yang sedikit membuat kesakitan yang timbul akibat daging yang hilang itu datang lebih cepat.Â
Mirna tak kuat menahan tangis. Sungguh menyiksa rasanya. Tak henti Mirna mengeluh merasa sangat panas dan juga sakit. Suaminya setia selalu menemaninya di sampingnya. Menghiburnya dengan kata-kata manis yang sama sekali tidak bisa menghilangkan rasa sakit yang dideritanya.
Setelah sehari yang rasanya seperti selamanya, kesakitan itu berkurang. Mirna baru bisa berpikir dengan jernih. Dengan banyak mengucap kata syukur, Mirna berhasil melalui hari paling menakutkan sekaligus paling menyakitkan dalam hidupnya dengan tabah.Â
Semua ini berkat orang-orang yang menyayanginya. Yang berkontribusi paling besar adalah bayinya. Mirna bisa melalui semua ini karena rasa kasih sayangnya yang tidak ingin kehilangan sang bayi. Mirna bersyukur melalui pemeriksaan panjang ini dengan berani. Walau awalnya ia sangat takut.
Penyakitnya tidak bisa melumpuhkan rasa cintanya ke sang bayi, tidak bisa mematikan harapannya dan tidak bisa memadamkan jiwanya. Mirna menyadari Tuhan tidak menjanjikan hari-hari tanpa rasa sakit, tawa tanpa kesedihan, atau matahari tanpa hujan. Tetapi Tuhan menjanjikan kekuatan untuk hari ini, penghiburan untuk air mata, dan terang untuk jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H