Revolusi Sistem Ekonomi (Bagian Ketiga)
Revolusi Mekanisme Siklus Kekuasaan (Pemilu)
Posisi pemerintah (eksekutif dan legislatif) dalam Sistem Ekonomi Pancasila bukan sekedar administrator dan fasilitator (policy maker) semata, melainkan juga sebagai bagian integral dari "pasar" NKRI. Shifting posisi a quo melahirkan konsekuensi perubahan dalam hal mekanisme siklus kekuasaan, dari tingkat pusat hingga daerah (desa), baik eksekutif maupun legislatif.
Dalam perjalanan mekanisme siklus kekuasaan, Indonesia telah 11 kali menyelenggarakan pemilu. Pemilu 1955 diikuti 172 parpol, pemilu 1971 diikuti 10 parpol, 1977-1997 di"sederhana"kan menjadi 3 parpol, pemilu 1999 (48 partai, hanya 21 partai lolos senayan), pemilu 2004 (24 partai dengan sistem electoral threshold), pemilu 2009 (38 partai, 9 partai lolos parliamentary threshold), pemilu 2014 (12 partai, 10 partai lolos parliamentary threshold) dan pemilu 2019 (14 partai nasional dan 4 partai lokal Aceh, 9 partai lolos parliamentary threshold). Â
Pemilihan presiden (eksekutif) juga mengalami perubahan dari masa ke masa. Presiden pertama, Bung Karno  dipilih oleh sidang musyawarah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanpa batas waktu bahkan sempat di"angkat" menjadi presiden seumur hidup. Hingga akhirnya pada tahun 1967, Sukarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Seoharto. Pengangkatan Soeharto sebagai presiden kedua RI disahkan melalui sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mekanisme pemilihan presiden melalui MPR RI bertahan pada periode presiden ketiga (B.J. Habibie), presiden keempat (Gus Dur), presiden kelima Megawati Soekarno Putri. Periode presiden kelima dan keenam, SBY (2004-2009 dan 2009-2014) hingga Joko Widodo, pilpres dilakukan secara langsung. Â
Pemilihan eksekutif di tingkat daerah (kepala daerah) mengalami 5 kali perubahan mekanisme. Pertama, sistem penunjukan atau pengangkatan oleh pusat berdasarkan UU 1/1945, UU 22/1948, dan UU 1/1957. Kedua, sistem penunjukan. Sistem ini digunakan berdasarkan Penetapan Presiden atau dikenal dengan era Dekrit Presiden. Ketiga, sistem pemilihan perwakilan. Sistem ini merupakan perwujudan UU 5/1974. Dengan sistem ini, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh lembaga DPRD. Selanjutnya, presiden akan menentukan calon kepala daerah terpilih. Keempat, sistem pemilihan perwakilan (murni, yaitu kepala daerah dipilih secara murni oleh lembaga DPRD tanpa intervensi pemerintah pusat. Kelima, pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung berdasarkan UU 32/2004 dengan dua kali perubahan (UU /8/2005 dan UU 12/2008.
Dari perjalanan perubahan mekanisme siklus kekuasaan (eksekutif dan legislatif) di Indonesia, ada satu irisan yang tidak berubah, yaitu peran partai politik sebagai organisasi nasional yang memproduksi pemimpin (eksekutif) maupun perwakilan (legislatif). Meskipun berbeda tupoksi, baik kekuasaan legislatif maupun eksekutif memiliki kuasa mayor membikin aturan (kebijakan publik) khususnya kebijakan anggaran. Kuasa inilah yang memiliki korelasi kuat dengan sistem ekonomi.
Mekanisme siklus kekuasaan berbasis partai sebagai penelur kuasa bukanlah sistem asli Indonesia. Sistem ini diadopsi dari sistem kekuasaan yang jamak digunakan oleh negara demokrasi lain di dunia yang menganut konsep pembagian kekuasaan (trias politica). Fakta ini semakin mempertegas ketiadaan makna, tafsir dan haluan Pancasila di bidang politik yang menyebabkan perubahan UUD 1945 terkait sistem politik NKRI bergulir "liar". DNA sistem politik Indonesia yang berbasis kerajaan di"lepas" begitu saja. Padahal, nilai tersebut telah dipraktikan selama ribuan tahun. Bukan berarti Indonesia harus kembali ke jaman kerajaan, melainkan nilai-nilai tersebut bisa dijadikan pedoman dalam menjalankan negara RI. Perubahan merupakan hal yang mutlak dalam peradaban manusia, namun jangan sampai mengubah atau menghilangkan "akar" dari peradaban itu sendiri termasuk saat Indonesia mengembangkan peradaban demokrasinya.
Secara sederhana, sistem politik Indonesia, termasuk tidak terbatas mekanisme siklus kekuasaan bersifat dependen terhadap sistem ekonomi liberal yang dijalankan oleh Indonesia. Sistem ekonomi liberal sudah memang dirancang sebagai sistem independen dengan "topeng" negara sebagai pemanis. Mekanisme siklus kekuasaan berbasis partai (Pemilu dan Pilkada) memang sudah terkondisikan untuk memuluskan praktik ekonomi liberal di Indonesia. Konsep sistem politik berdaulat hanyalah bayang-bayang yang tak akan pernah jadi nyata.
 Â
Pada bagian menimbang huruf a. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan bahwa pemilu sebagai mekanisme siklus kekuasaan dimaksudkan untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Faktanya, kekuasaan yang lahir dari proses pemilu berbasis parta politik mustahil melahirkan penyelenggaraan kekuasaan yang berdaulat. Padahal, pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk melahirkan kekuasaan yang berdaulat dengan tujuan sebagaimana menimbang huruf a. UU 7/2017.
Kekuasaan eksekutif {Presiden RI dan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota)} dan legislatif (DPR RI/DPD RI/DPRD Tk. I/D Tk. II) yang lahir dari proses pemilu hanya mampu menghasilkan kewenangan mengelola keuangan negara (fiskal) nir kewenangan moneter sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d UU 17/2003 tentang Keuangan Negara bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara yang dipegang oleh Presiden tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang. Pun demikian dengan kewenangan DPR RI sebagaimana Pasal 69 ayat (1) huruf b jo Pasal 70 ayat (1) dan (2) UU 17/2014 yang hanya sebatas kewenangan fiskal.
Di sisi lain, kewenangan moneter dikendalikan oleh lembaga negara yang independen, yaitu Bank Indonesia sebagaimana Pasal 9 TAP MPR RI No. XVI/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi ekonomi, Â "Dalam rangka pengelolaan ekonomi keuangan nasional yang sehat, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak luar lainnya dan kinerjanya dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan". Bagaimana mungkin, pemerintah (eksekutif) yang lahir dari kedaulatan rakyat tak punya kuasa untuk menjangkau kewenangan moneter ? Mandat kedaulatan siapa yang dijalankan BI selaku pelaksana kewenangan moneter, sementara Gubernur BI dipilih oleh DPR RI dan dilantik oleh Presiden RI yang notabene pelaksana kedaulatan rakyat ? Lantas, kepada siapa Bank Indonesia mempertanggungjawabkan pengelolaan kewenangan moneternya ? Â
Katakanlah, DPR RI selaku anggota MPR RI bisa mengubah  TAP MPR RI dan UU terkait kewenangan Bank Indonesia (BI) sehingga dapat dikembalikan di bawah kendali negara (pemerintah). Kepada siapa BI bertanggungjawab, sementara Presiden RI dan DPR RI yang mengubah aturan tersebut telah terikat oleh aturan yang sedang berlaku. Apakah boleh membuat aturan (hukum) dengan cara melanggar hukum ? Katakanlah, ada kondisi force major (keadaan memaksa/ kebuntuan absolut), bagaimana regulasi baru moneter yang berdaulat ? Bagaimana proses pertanggungjawaban transisi dari moneter yang berlaku saat ini menuju pengelolaan moneter baru yang berdaulat ? Tanpa kemampuan menjawab seluruh pertanyaan tersebut, maka mekanisme siklus kekuasaan (pemilu) hanya akan melanggengkan status quo perbudakan uang terhadap rakyat Indonesia atas nama pengelolaan moneter. Kalau sudah begini, beri saya satu alasan untuk percaya bahwa mekanisme siklus kekuasaan (pemilu) dapat menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan bernegara !
[bersambung]
-QFA-
#RepublikasiDamai
#RevolusiSahdanDamai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H