Membicarakan budaya korupsi sepertinya tidak akan pernah habis. Maklum saja, sepertinya masyarakat kita sudah sepakat bahwa korupsi adalah budaya yang harus terus dipertahankan mengingat banyaknya budaya kita yang sudah lenyap di telan masa.
Saya tidak ingin mengkaji hubungan korupsi dengan kemiskinan, korupsi dengan perpolitikan, atau korupsi yang berimbas pada turunya anggaran pemerintah yang disunat untuk rakyat. Itu diluar kemampuan saya untuk menelusuri korupsi secara objektif. Saya lebih tertarik untuk menyuarakan “korupsi yang dibudayakan tapi ingin di musnahkan”.
Bagaimana tidak, tindakan kita sehari-hari seolah mencerminkan “Kita Penikmat Korupsi”. Saya masih melihat ada pak polisi menilang pelanggar lalu lintas dan uangnya masuk ke saku sendiri. Saya juga masih melihat betapa rumitnya birokrasi yang ada jika tanpa dimuluskan oleh uang pelicin. Jangankan membasmi para koruptor di kalangan elit politik, menghapus korupsi lingkungan kelurahan saja bisa dibilang mustahil.
Dengan bermodal pemikiran tempe, saya langsung menelusuri budaya yang tidak pernah sengaja dibudayakan oleh masyarakat Indonesia ini. Sebagai Negara Terkorup no. 1 di asia, tentulah hal tersebut bukan prestasi yang patut dibanggakan. Bagaimana tidak, ditengah kelaparan, kerusuhan, dan tragedi bencana alam seperti saat ini, pelaku korupsi seolah melenggang bebas mematikan hati nurani untuk kepentingan diri sendiri. Cerdasnya lagi, pelakunya adalah kalangan elit pemikir bergelar sarjana, professor, bahkan mungkin title akhirat seperti Kyai Haji pun tidak lepas dari kata korupsi.
Menanggapi fakta-fakta diatas, Hukum tidak tinggal diam begitu saja. Undang-undang diperketat, aturan diberlakukan dan ekspektasi publik pun melambung tinggi. Banyak kasus korupsi terungkap. Banyak siding-sidang digelar. Namun pada akhirnya masyarakat pun tidak lagi berharap pada hukum melihat kenyataan pahit bahwa hukum pun telah berpartisipasi mendukung budaya korupsi .
Mengetahui hukum telah terbawa arus budaya korupsi, agama pun tidak tinggal diam. Para pemuka agama mulai memberikan ceramah agama tentang dampak-dampak buruk budaya korupsi di negeri ini. Mulai dari dampak negative sosial bagi pelaku dan keluarga mereka, hingga masalah kehidupan setelah kematian. Tapi korupsi dengan segudang iming-imingnya mampu menutup telinga para koruptor di seluruh negeri ini. Mereka seolah menulikan diri dan tidak peduli dengan itu semua. Pemuka agama yang tadinya menolak adanya korupsi akhirnya terpaksa terdiam dengan mulut terbuka. Parahnya lagi, pemuka agama yang diharapkan mampu memberikan kesejukan malah ikut-ikutan dunia politik. Dunia para koruptor. Dunia yang berlabel “uang adalah segala-galanya”. Masyarakat pun sekali lagi terdiam.
Kini masyarakat yang sudah menyerah berpaling ke arah ilmu pendidikan. Mereka secara kolektif menekankan kejujuran pada setiap hal pada generasi muda kita. Rencananya dengan pendidikan kejujuran sejak dini, setidaknya generasi mendatang bisa melupakan budaya yang satu ini. Tapi apa daya, pendidikan pertama yang didapatkan generasi muda adalah “jangan berharap bisa menikmati pendidikan jika tanpa uang”. Dan masyarakat pun mulai menyerah.
Kekecewaan masyarakat akan ketidakmampuan menghentikan korupsi menyebabkan mereka mendramatisir keadaan dan menyatakan motto baru “Saya juga bisa melakukan korupsi”. Dan akhirnya terciptalah budaya korupsi yang terus dibudayakan hingga saat ini.
Saya kemudian mulai berpikir lebih jauh, mungkin jika ada kesempatan untuk melakukan korupsi, saya akan dengan senang hati melakukannya. Toh,semua masyarakat kita sudah membudayakannya. Adapun yang belum pernah korupsi, itu hanya masalah waktu. Sampai mereka mendapatkan kesempatan untuk ikut meramaikan budaya korupsi.
artikel tersebut juga bisa anda lihat di : kolom-kolom penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H