Upaya untuk memajukan sebuah bangsa adalah melalui pendidikan yang diselenggarakan dengan semua stakeholder yang berkompeten dan mendukung kemajuan pendidikan. Pengajaran dan pelatihan dilakukan oleh mereka yang profesional dibidangnya dalam memanage peserta didik. Mencetak para akademisi yang memiliki kemampuan dan kompetensi serta memiliki daya saing.Â
Secara umum kemampuan seorang pelajar tidak murni berasal dari dalam diri individu, tetapi lebih ke bagaimana seorang pendidik melakukan perannya dengan baik sehingga dapat memunculkan bakat yang dimiliki anak didiknya. Seorang guru bertugas dan bertanggung jawab atas keberhasilan peserta didik dalam menempuh pendidikan disektor formal. Serta bertanggung jawab atas apa yang menjadi hasil dari interaksi pembelajaran yang telah dilakukan selama kurun waktu tertentu.
Keberhasilan dalam bidang akademis adalah dengan adanya bukti hasil belajar yang mereka raih. Nilai akademik dan prestasi menjadi salah satu acuan atau tolok ukur keberhasilan belajar seorang siswa melalui bangku pendidikan.
Pelaku utama dalam pendidikan adalah peserta didik itu sendiri dan guru yang secara langsung berinteraksi dengan siswa. Pendidik (guru) adalah mereka yang mampu mengajarkan hal baru, memberikan pengetahuan, menanamkan konsep hingga membentuk karakter peserta didik. Kurikulum hanyalah sebatas instrumen tertulis yang disusun oleh pemerintah dengan tujuan menyelaraskan sistem pendidikan nasional di tanah air, hingga tidak ada gap yang muncul dari daerah ataupun sekolah terkait standarisasi pendidikan.
Guru merupakan salah satu faktor terpenting sebagai upaya untuk mensukseskan pendidikan. Tidak hanya sebatas memberikan ilmu dan pengetahuan kapada siswa, tetapi menjadi orang tua bagi siswa selama di sekolah. Orang tua yang mampu memahami siswa, mengerti potensi-potensi dan kelemahannya, mampu mengoptimalkan dan ‘momong’ siswanya. Guru adalah mereka yang memiliki kemampuan lebih dalam mengelola kelas, mengelola peserta didik dengan segala instrumen pembelajaran yang melekat didalamnya.
Guru merupakan sebuah profesi, tidak hanya sebatas pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh sembarang orang. Memang kelihatanya mudah untuk menjadi seorang guru, tetapi apakah kompetensi yang dimiliki sesuai dengan yang dipersyaratkan? Maksudnya, apakah setiap orang yang menjadi guru memiliki kemampuan pedagogik dan profesional yang merupakan jiwa atau ruh yang harus dimiliki oleh seorang pendidik.
Bagaimana kemampuan itu didapatkan? Dari pengalaman selama menjadi guru tentunya. Apakah itu menjamin seorang guru yang telah berpengalaman tadi memiliki kemampuan pedagogik? Bisa jadi iya, tetapi apabila hingga masa pengabdianya selesai tetap tidak memiliki jiwa/kemampuan pedagogik, apa yang mungkin terjadi? Dan ironisnya, banyak dari para guru yang tidak memiliki kemampuan pedagogik. Tidak akan terjadi apapun pastinya (iya kepada seorang guru itu, tetapi jadi masalah bagi siswa). Kenapa?
Singkatnya, kemampuan pedagogik merupakan kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Mental mereka ditempa sedemikian rupa, juga secara psikis maupun mindsetnya untuk dapat memiliki kemampuan pedagogik melalui program pendidikan keguruan.
Tidak hanya sebatas bagaimana menerima ilmu pengetahuan dalam perkuliahan, tetapi juga treatment bagaimana menangani permasalahan peserta didik, mengelola kelas dengan metode dan model pembelajaran yang sesuai hingga bagaiman mengkomunikasikan pelajaran kepada siswa dan sebagainya.
Apabila seorang pendidik tidak memiliki kemampuan pedagogik, maka permasalahan siswa tidak dapat terurai dan potensi yang dimiliki akan mati karena ketidakmampuan guru untuk membaca karakter dan kebutuhan siswanya.
Bagaimana jika seorang pengajar yang berasal dari rumpun ilmu murni? Yang mana selama menempuh pendidikan strata, 4 kompetensi yang harus dimiliki guru tidak diajarkan dan ditekankan kepada para mahasiswa non kependidikan (kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial).
Menyampaikan materi hanya sebatas transfer ilmu dari buku kepada siswa. Atau tentang dari apa yang telah mereka dapatkan selama sekolah dan selanjutnya ditransferkan lagi ke peserta didiknya, semua orang bisa tentunya. Lalu bagaimana seorang pendidik mampu memahami karakteristik peserta didiknya? Bagaimana seorang guru mampu memberikan solusi atas permasalahan siswanya dalam mengikuti kegiatan pembelajaran yang diampunya.
Mengajar tidak hanya sebatas berbicara kepada para audience layaknya berpidato dengan naskah yang telah tersusun rapi. Mengajar memerlukan metode dan model yang cocok untuk setiap mata pelajaran dan perlu adanya adaptasi dari model dan metode pembelajaran untuk mengakomodasi siswa agar kegiatan pembelajaran dapat terlaksana dan tercapai tujuanya.
Jika guru merupakan sebuah profesi, maka haruslah profesi tadi diisi oleh seorang yang benar-benar berkompeten dibidangnya. Seorang lulusan yang berasal dari rumpun pendidikan, bukan rumpun ilmu murni. Sebagai komparasinya adalah seorang dokter. Jika dokter merupakan profesi, yang mewajibkan setiap individu yang disebut dokter adalah lulusan dari sekolah kedokteran begitupun guru, seharusnya dan memang harus dari rumpun kependidikan. Secara keilmuan lulusan ilmu murni memang lebih menguasai salah satu disiplin ilmu yang menjadi konsentrasinya. Tetapi tidak memiliki kemampuan pedagogik yang menjadi ruh seorang guru.
Kebijakan yang menurut saya tidak bijak dan sedang diterapkan oleh pemerintah saat ini adalah tentang sertifikat bagi lulusan keguruan yang kini tidak lagi menerima sertifikat itu. Akta mengajar, adalah sebuah sertifikat profesional yang memberikan keistimeaan kepada lulusan rumpun kependidikan untuk dapat menjadi guru. Dan kini tidak lagi dikeluarkan oleh universitas pendidikan di seluruh indonesia.
Sebagai ganti dari sertifikat profesional itu adalah setiap lulusan yang ingin menjadi guru harus mengikuti PPG (profesi pendidikan guru). Sebuah kebijakan yang bagus ketika PPG diperuntukan hanya untuk lulusan kependidikan. Tetapi ironisnya PPG merupakan program yang dapat diikuti oleh semua jenis lulusan, termasuk rumpun ilmu murni.
Kekhawatiran saya akan ‘jiwa/ruh pendidik’ yang dimiliki oleh lulusan ilmu murni tidak dapat muncul hanya dari program PPG yang diikuti. Seperti yang telah saya jabarkan di atas, terdapat perbedaan yang signifikan mengenai pendidik dari lulusan ilmu murni dengan rumpun kependidikan, mulai dari mereka menempuh pendidikan saat kuliah.
Untuk mengikut program PPG, juga tidak dengan biaya yang murah. Sedangkan gaji bagi para guru mengabdi? yaaa tau lah berapa besarnya (kecuali SMA dengan syarat-syaratnya). Jika semua lulusan dapat mengikuti program PPG, di mana letak keistimewaan gelar S.Pd yang lulusannya jelas lebih siap dan lebih berkompeten dalam bidang keguruan.
Menilik saat ini, lembaga-lembaga non kependidikan (departemen, BUMN, lembaga swasta) memandang sebelah mata gelar S.Pd, sehingga sangat susah dan beberapa sudah menutup akses bagi para S.Pd untuk dapat mengais rejeki di instansi tersebut. Apakah semua lulusan S.Pd harus berwirausaha? Apakah harus menjadi marketing (yang notabenya mereka tidak mendapatkan mata kuliah pemasaran secara mendetail)? Apakah harus menjadi pengamat pendidikan (sebenarnya lebih ke pengangguran yang harus iklas merelakan lahannya dikuasai oleh lulusan ilmu murni).
Saya masih teringat instruksi yang disampaikan oleh Presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu. Bahwa seseorang sarjana haruslah bekerja sesuai dengan bidang keilmuan yang mereka dapatkan dari bangku kuliah. Jika PPG dibuka untuk umum, bukankan ini mencederai bagi mereka yang bergelar S.Pd.
Bukankah mereka juga anak bangsa yang berhak untuk mendapat penghidupan dan kehidupan yang layak dengan gelar (profesi) yang dimilikinya. Bukankan ini tidak etis memberikan lahan yang seharusnya menjadi milik para S.Pd kepada para lulusan ilmu murni? Yang sekali lagi rumpun ilmu murni memiliki kesempatan yang lebih luas untuk berkarier dan berkarya di berbagai instansi, tidak seperti mereka penyandang gelar S.Pd yang ironis nasibnya.
Lalu pendidikan macam apa yang hendak dicapai oleh pemerintah bangsa ini? Katanya pendidikan karakter, karakter siswa yang berkepribadian dan berakhlak mulia. Bagaimana karakter ini bisa ditanamkan jika permasalahan fundamental yang terletak didalam diri siswa tidak mendapatkan solusi dan potensi yang dimiliki tidak dapat dikembangkan dikarenakan pendidiknya tidak memiliki memampuan pedagogik memang tidak semua).
Orientasi semua orang adalah bagaimana dapat meraih masa depan cerah, ini akan mengarah kepada bagaimana kebutuhan ekonomi seseorang terpenuhi. Berbagai cara akan dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonomi tentunya. Jika tidak dapat menumbuhkan karakter siswa yang berakhlak mulia lalu untuk apa pendidikan diselenggarakan?
Lha wong nyatanya orang-orang Indonesia pintar-pintar, namun saat ini lebih kearah adanya degradasi moral anak banga. Itulah realitanya, geng motor, tawuran, seks bebas, hingga narkoba, jika dewasa dan bekerja praktik KKN pasti akan menjadi candu yang menantinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H